Kabar Bima

Kasus Dua Sertifikat di Atas Satu Lahan

613
×

Kasus Dua Sertifikat di Atas Satu Lahan

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.-Kasus sertifikat ganda, muncul di Kelurahan Rontu Kecamatan Raba Kota Bima. Dalam satu lahan, terdapat dua sertifikat dengan kepemilikan yang berbeda. Kendati persoalan dua sertifikat tersebut telah dicairkan secara kekeluargaan oleh dua kelompok keluarga yang masing-masing mengelaim sebagai pemiliknya, namun sempat dipermasalahkan hingga melibatkan unsur aparat Kelurahan Rontu. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bima pun dipertanyakan, karena merupakan pihak yang berwenang menerbitkan sertifikat tanah.

Ilustrasi
Ilustrasi

Kasus dua sertifikat ganda itu terungkap ketika Kantor Kelurahan Rontu ramai didatangi oleh sejumlah warga yang ribut soal sertifikat sebidang tanah yang diperkirakan seluas 3 are tersebut, Jumat (4/10/13). Tanah itu statusnya saat ini dipinjamkan ke orang lain. Diduga, pihak peminjam memanfaatkan keadaan

Kasus Dua Sertifikat di Atas Satu Lahan - Kabar Harian Bima

Menurut pengakuan anak pertama almarhum Abdul Latif, Junaidin, sekitar tahun 1995 lalu, orang tuanya (saat Abdul Latif masih hidup) tinggal di atas tanah keluarga Abdurrahman, warga RT 01 Kelurahan Rontu. Tanah itu statusnya pinjam-pakai. Saat itu, karena pemilik tanah butuh untuk dimanfaatkan sendiri, akhirnya disampaikan ke Abdul Latif untuk mencari tanah lain sebagai tempat tinggal.

Karena Abdul Latif butuh tempat tinggal, lanjut Junaidin, ditawari-lah oleh Samaila, juga warga Rontu, (sudah almarhum) tanah sawah untuk ditempati. Hanya saja, tanah sawah yang ditawari itu kondisinya masih digadai dan belum sempat ditebus. Oleh Samaila, akhirnya memberikan lahan pekarangan rumah miliknya untuk ditempati Abdul Latif.

Karena Samaila butuh uang untuk menebus tanah sawah yang digadainya, tanah pekarangan seluas 3 are yang sebelumnya diberikan ke Abdul Latif untuk ditempati sementara, dijual ke Abdul Latif. “Orang zaman dulu tidak tidak memiliki bukti surat pembelian tanah, hanya ada saksi. Orangnya pun masih hidup, atas nama M. Saleh,” terang Junaidin.

Singkat cerita, karena sudah lama ditempati, sekitar tahun 2010 lalu tanah disertifikat dan akhirnya muncul persoalan. Oleh pihak keluarga Samaila, mengklaim tanah itu masih status pinjaman. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya pemberitahuan kepada pihak kelurga Samaila, jika tanah itu sudah dijual. “Tanah itu sudah disertifikat atas nama Abdul Latif, bapak saya. Bukan tanah pinjaman, tapi sudah dibayar,” tegas Junaidin.

Kata dia, saat diukur untuk pembuatan sertifikat, tetangga tidak ada yang protes. Warga juga mengakui memang tanah itu sudah menjadi miliki bapaknya (Abdul Latif). “Menurut pihak Samaila sertifikat awalnya ada, tapi hingga saat ini tidak bisa ditunjukan,” sorotnya.

Cerita berbeda malah disampaikan oleh pihak keluarga Samaila. Melalui menantu Samaila, Lutfi alias Bofin, Persoalan tanah ini ada dasarnya. Sekitar tahun 1996 lalu, ceritanya, Abdul Latif yang tinggal menumpang di lahan milik keluarga istrinya itu, diusir oleh pihak keluarga istri Bofin. Karena bingung mencari tempat tinggal, Abdul Latif mendatangi Samaila dan meminta pinjam lahan. “Disuruh lah oleh Samaila mengambil rumah dan menempati sebagian lahan milik Samaila,” tutur Lutfi.

Setelah lama memanfaatkan sebagian lahan seluas 3 are tersebut, lanjutnya, Abdul Latif pun meminta lagi lahan yang tersisa untuk dimanfaatkan sebagai ternak ayam. “Tak lama kemudian, pihak Abdul Latif justru membuat sertifikat seluruh lahan tersebut, tanpa sepengetahuan pihak kami,” terangnya.

Menurut Lutfi, transaksi jual-beli itu tidak memiliki bukti yang jelas. Saksi yang disebutkan oleh pihak keluarga Abdul Altif tidak ada. Pihaknya pun mengetahui tanah tersebut telah disertifikat saat pihak Abdul Latif ingin bangun rumah. “Kami tidak pernah diberitahu oleh Lurah dan BPN, mengenai pembuatan sertifikat itu. Cerita pihak Abdul Latif itu omong kosong semua,” tudingnya.

Ditanya mengenai sertifikat, Lutfi mengaku memiliki sertifikat tanah tersebut sejak awal. “Siapa bilang kami tidak memiliki sertifikat, ini sertifikat lahan milik Samaila. Pihak Abdul Latif ini telah membuat sertifikat di atas sertifikat,” tudingnya sembari menunjukan sertifikat milik Samaila.

Dari persoalan tersebut dan tidak ingin ribut, pihaknya mencoba mengikhlaskan tanah seluas satu are lebih yang digunakan untuk membangun rumah itu menjadi milik pihak Abdul Latif. Namun, lahan seluas satu are setengah lagi, tidak rela diberikan. “Karena sudah lama ini dipinjam, kami ikhlaskan. Tapi jangan lagi mengambil lahan satu are lebih yang ada disebelahnya, karena kami pemilik tanah juga butuh,” tambahnya.

Sementara itu, Lurah Rontu, Ihwan, SE, mengatakan masalah sengketa tanah tersebut sudah selesai, dan tak ada tuntutan dari kedua belah pihak. “Semua sudah dibicarakan baik-baik. Karena Samaila dan Abdul Latif ini sudah meninggal, jadi lahan yang sudah di bangun rumah diikhlaskan untuk pihak Abdul Latif. Lalu lahan yang tersisa, menjadi milik Samaila kembali,” tuturnya.

BPN Kota Bima melalui Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (HTPT), Iksan, SH, mengaku, tidak mengetahui ada persoalan sertifikat ganda tersebut karena tidak ada laporan atau keberatan dari pihak yang bersengketa. Jika ada keberatan maka BPN Kota Bima akan memanggil yang bersangkutan. “Kita belum tahu ada masalahnya, karena belum ada keberatan. Kalau ada keberatan baru kita panggil yang bersangkutan, prosedurnya memang demikian,” ujarnya di BPN Kota Bima, Senin (07/10/13).

Menurut Iksan, jika ada persoalan terkait sertifikat, maka para pihak dipersilahkan datang ke BPN untuk klarifikasi. Tentunya dengan membawa bukti-bukti sertifikat agar bisa ditindaklanjuti.

Mengenai pengukuran sertifikat baru terkait hal itu, BPN Kota Bima tidak mengetahuinya, apakah melalui Prona atau pengukuran rutin.  “Kalau Prona, memang harus melibatkan pemerintah kelurahan dan lebih aktif. Rutin pun demikian,” pungkas Iksan. [BK]