Kabar BimaOpini

Citra Perempuan Dalam Cyberspace

200
×

Citra Perempuan Dalam Cyberspace

Sebarkan artikel ini

*Oleh: Iin Purnamasari

Ekspresi Perempuan Masa Kini

Citra Perempuan Dalam Cyberspace - Kabar Harian Bima

Hingga saat ini masyarakat masih memaknai eksistensi perempuan pada wilayah realitas fisik saja. Begitupun dalam keseharian kehidupan kita yang diberondong oleh produk-produk yang diarahkan terhadap kaum perempuan sebagai target media terbesar. Sebab media-media patriarki berpikir bahwa iklan atau tayangan-tayangan televisi lainnya, akan terasa hambar dan kehilangan segi estetikanya bila tidak menyisipkan objek perempuan. Seakan-akan perempuan sangat dituntut untuk menjadi seorang perempuan modern berparadigma feminis.

Ilustrasi
Ilustrasi

Nilai-nilai tersebut akhirnya terinternalisasi oleh perempuan masa kini yang berhasil disuntikkan media. Kepentingan komersialisme atau pengejaran rating tertinggi menjadi alasan utama mengapa perempuan dijadikan objek pelengkap. Namun saking seringnya dieksploitasi oleh media patriarki, perempuan tidak merasa tengah dijadikan objek fantasi lelaki.

Sebaliknya, mereka merasa lebih bebas untuk berekspresi dan mengaktualisasikan dirinya disegala sendi kehidupan, termasuk yang menjadi tren saat ini adalah melalui jaringan komunikasi instan (cyberspace).

Cyberspace dan Batas-Batas Sosial Budaya

Cyberspace, yang pada awalnya merupakan ‘saluran komunikasi’ antar manusia dalam skala global, pada perkembangan mutakhirnya telah menjelma menjadi sebuah ‘saluran raksasa’ dari hampir setiap aktivitas manusia. Perkembangan cyberspace merupakan kondisi yang tak dapat dielakkan didalam abad informasi dewasa ini, karena hampir tidak ada aktivitas manusia kini yang tidak memerlukan teknologi informasi seperti komputer dan internet.

Di samping berbagai sisi negatif, kelam dan merusak dari cyberspace, seperti cyberporn (pornografi lewat jaringan komputer) dan cybercrime (kriminalitas lewat jaringan komputer), ada berbagai keuntungan positif, konstruktif dan produktif yang dapat dibangun, bila ia dapat digunakan dengan benar. Sehingga, cyberspace tidak perlu ditolak sama sekali. Yang perlu dihindari adalah sisi-sisi kelam dari dunia virtual (maya) itu, khususnya dampak negatif yang ditimbulkan dari cyberporn. Beberapa ‘strategi kebudayaan’ dan ‘strategi keagamaan’ harus dapat disusun, untuk menghindari dampak-dampak yang lebih merusak dimasa depan.

Pertama, ‘penguatan komunitas nyata’ (real community), dimaksudkan untuk membangun kembali dan memperkuat rasa kebersamaan menyangkut tempat nyata (keluarga, desa, kota, negara) yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial secara tatap muka (face to face), yang karena sifatnya yang tak-anonim mendorong setiap orang untuk memperkuat landasan moral dan etik dari setiap tindakan.

Kedua, membangun ulang ‘budaya malu’ (shame culture), yang mulai terkikis di dalam dunia tanpa sekat dan telanjang. Ketiga, ‘penguatan budaya’ dan ‘penguatan spiritualitas’ (cultural-spiritual empowerment), dengan menciptakan mekanisme bagi penanaman kembali nilai-nilai luhur budaya dan keagamaan, melalui berbagai bentuk media komunikasi, promosi, jaringan dan sosialisasi.

Penguatan budaya dan spiritualitas dapat dilakukan; di satu pihak, dengan membuat berbagai aktivitas ‘budaya nyata’ dan ‘spiritualitas nyata’ sehari-hari agar lebih menarik, dengan memperkuat relasi ‘intimasi’ (intimacy) di dalamnya.

Keempat, membangun cyberwatch yang kuat, yaitu mekanisme ‘pengawasan’ dari komunitas itu sendiri terhadap efek-efek negatif dari cyberspace terhadap setiap warganya. Fungsi ‘pengawasan’ (watch) harus dibangun secara bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis (stratified watching system), mulai dari tingkat individu (self-watching), keluarga, rukun tetangga, sekolah, desa, kota, wilayah, dan negara.

Bila perlu dibuatkan semacam sistem ‘pemata-mataan’ (surveillance system), yang memungkinkan aktivitas melihat cyberporn dapat dideteksi lebih awal, terutama di tempat-tempat umum seperti warnet.

Perempuan dalam Cyberspace

Tanpa disadari kebanggaan diri sebagai sosok yang terkenal, dipajang dan berpenghasilan besar melalui kiprah dalam jaringan cyber sebenarnya merupakan eksploitasi dan komersialisasi besar-besaran, terutama bagi perempuan yang selama ini menjadi tumpuan dan harapan para produsen untuk menjual produknya. Atau bahkan tampilan iklan-iklan virtual yang menjadi tantangan karena pihak yang merespon tubuh-tubuh virtual tersebut berarti adalah orang yang menjawab tantangan kecabulan, terpesona dan menikmati sesaat terhadap kesempurnaan tubuh virtual yang tidak nyata, serta menghilangkan batas-batas sosial, kategori sosial yang sebelumnya membentuk masyarakat.

Jaringan informasi menjadi bersifat transparan dan virtual, tatkala tidak ada lagi kategori moral yang mengikatnya, tatkala tak ada lagi ukuran-ukuran nilai yang membatasinya, ketika segala sesuatunya berputar bebas dalam sirkuit global, di dalam cyberspace, maka hukum yang mengatur masyarakat bukan lagi hukum kemajuan melainkan hukum orbit, dimana segala sesuatu berputar secara global, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu teritorial ke teritorial lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Di dalam proses perputaran tersebut semuanya berubah wujud menjadi wujud virtual.

Dapat dibayangkan jika wujud tersebut adalah sosok tubuh perempuan, maka berarti tubuh tersebut akan beredar ke seluruh dunia dan tanpa batas siapa yang akan menikmatinya. Hal ini perlu disadari dan dipahami sehingga berbagai penafsiran terhadap citra perempuan yang hanya bisa dijadikan objek saja dapat diminimalisir. Hal lain yang juga diperlukan adalah kompetensi perempuan sendiri dalam melawan arus masyarakat cyber serta pola hedonis yang semakin marak sehingga tidak dengan mudah menerima berbagai tawaran menggiurkan bagi dirinya untuk tidak tenggelam dalam virtualitas sosial yang semu. Wallahualam bissaawab.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Semarang, pemerhati pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mahasiswa program doktor ilmu pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…