Kabar Bima

Posko dan Baligho Menjamur, Akademisi Buka Suara

275
×

Posko dan Baligho Menjamur, Akademisi Buka Suara

Sebarkan artikel ini

Kota Bima. Kahaba.- Baligho dan posko dukungan terhadap pasangan calon Walikota Bima bukan sebuah jaminan kemenangan Pemilukada Kota Bima. Sejumlah akademisi mengungkapkan tidak ada korelasi yang kuat antara jumlah baligho dan posko itu terhadap elektabilitas para calon. Selain sarat pembodohan, bentuk sosialisasi semacam itu juga rawan memicu konflik horizontal.

Ilustrasi
Ilustrasi

Akademisi Bima, M. Irfan M.Si memaparkan, menurutnya, banyaknya posko dan baligho beberapa calon Walikota dan Wawali Bima, tidak sepenuhnya dapat dijadikan jaminan calon tersebut akan menang pada pertarungan pemilukada Mei mendatang. Berbeda dengan pemilih di daerah lain, angka pemilih rasional di Kota Bima diperkirakannya mencapai 80 persen.

Posko dan Baligho Menjamur, Akademisi Buka Suara - Kabar Harian Bima

Karenanya ia mengingatkan kepada para pemilik posko agar jangan terlalu berbahagia dan membahagiakan diri. Karena belum tentu banyaknya posko yang muncul menandakan banyaknya jumlah orang-orang yang benar-benar memberikan dukungan sesuai hati nuraninya. “Pilihan para pemilih praktis akan terlihat di hari pemilihan nanti, tidak dapat dibaca dari menjamurnya posko dan baligho dukungan,” jelasnya ketika dihubungi pada hari Minggu (24/2/2013).

Menurut analisanya, sesungguhnya hari ini, konstalasi politik masih tersisa waktu dua sampai tiga bulan kedepan. Dari rentang waktu tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadi berubah peta politik dari pemilih. Dengan dibangunnya banyak posko pemenangan seperti yang terjadi saat ini, dikhawatirkannya lebih menonjolkan adanya kompetesi yang dinilai secara finansial semata.

Sementara itu peneliti otonomi daerah dan kandidat doktor Ilmu Politik di  Swinburne University of Technology Australia, Honest Dody Molasy yang dihubungi Kahaba secara  terpisah menyikapi bentuk sosialisasi dan cara kampanye yang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia sebagai bentuk demokrasi yang kebablasan. “Sekarang di Indonesia, yang terjadi adalah pseudo democracy (demokrasi semu) bukan real democracy,” ujarnya.

Lanjut Honest, pelaksanaan demokrasi itu bukannya tanpa kontrol. Menjalankan demokrasi pun tidak bisa copy paste dari negara lain. Untuk menerapkan sistem demokrasi ala barat itu tak boleh instan, perlu dan harus beradaptasi dengan kultur dan kearifan lokal kita. “Kita inginnya membangun demokrasi ala Amerika di Indonesia. Tapi perlu diingat bahwa amerika butuh ratusan tahun dalam menjalankan demokrasi hingga nampak seperti sekarang,” ujarnya.

Terkait konteks pesta demokrasi Kota Bima, dosen FISIP Universitas Negeri Jember ini mengungkapkan bahwa euforia demokrasi yang berlebihan dari para bakal calon yang jor-joran memasang wajah di baligho serta membangun posko pemenangan di hampir seluruh sudut kota selain bentuk kampanye yang ‘membodohi’ pemilih, juga memiliki konsekuensi buruk.

Bentuk kampanye politik dengan mengedepankan pencitraan melalui wajah dan warna partai dikatakannya tidak menyentuh esensi dari demokrasi yang sesungguhnya. Pemilih cenderung memilih  karena person, bukan karena program. “Bahkan calon yang diusung barangkali juga tidak tahu seperti apa program kerja yang ditawarkannya,” ujarnya.

Selain baligho yang kosong makna, harus disadari bahwa pendirian posko-posko pemenangan yang sedang marak sekarang memiliki dampak negatif berupa munculnya konflik antar pendukung. Karenanya, peneliti muda ini pun menyarankan agar KPUD Kota Bima memberikan kebebasan kepada para bakal calon yang akan berlaga dalam Pemilikada, namun dengan pembatasan. Hal ini harus dilakukan agar pihak yang berkompeten dapat melakukan kontrol agar konflik yang ditakutkan itu tidak terjadi.

“Yang perlu dilakukan adalah memaksa para calon untuk melakukan kampanye program serta memperketat dan membatasi kampanye hura-hura,” saran Honest. [BS/BQ]