Opini

Cerita dari Kulonprogo

401
×

Cerita dari Kulonprogo

Sebarkan artikel ini

(Refleksi Perjuangan Melawan Penambangan Pasir Besi, 1 April 2012)

 

Oleh: Syaharuddin Idris*
Cerita dari Kulonprogo - Kabar Harian Bima
Demonstrasi PPLP KP di UGM / Sumber: kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com

 Lautan massa tumpah ruah di jalanan sempit sepanjang jalan menuju pantai Glagah, Kulonprogo pagi itu. Pawai manusia dan konvoi kendaraan tak teratur tapi saling mengiringi menuju satu titik acara di sebuah lahan kososng tepat di tepi jalan raya. Teriakan-teriakan saling bersahutan dengan deru suara knalpot mobil dan sepeda motor yang digas kencang. Orang-orang ini tampak sangat antusias dan bersemangat mengikuti acara itu.

Cerita dari Kulonprogo - Kabar Harian Bima

Semakin dekat dengan titik lokasi acara, sayup-sayup terdengar salawatan, ganti-gantian dengan lantunan ayat-ayat Al Qur’an yang dilagukan di sebuah panggung sederhana. Semakin dekat dengan titik acara, nampak lautan manusia yang semakin ramai pula. Ribuan orang melibatkan diri dalam acara besar di hari itu, menurut seorang tokoh pemuda. Sebuah perayaan, pesta rakyat, hari ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Yogyakarta.

Keriuh-ramaian itu seperti pesta rakyat biasa saja, jika melihat tampakannya. Tenda terpal yang luas mengatapi hamparan tikar pandan dan karpet-karpet pinjaman dari mesjid desa sebagai stage untuk peserta acara. Sebuah panggung kecil dan sederhana dengan latar spanduk kain bertulis huruf dari guntingan kertas.

Tapi, bagi masyarakat pesisir Kulon Progo, acara itu jauh lebih istimewa daripada sekedar pesta rakyat dan perayaan ulang tahun paguyuban biasa. Acara adalah panggung teriakan dan pekikan perjuangan masyarakat pesisir Kulon Progo yang terancam oleh penambangan pasir besi di sepanjang pesisir selatan Kulon Progo. Acara itu adalah panggung bagi tuntutan-tuntutan dan penolakan bagi beroperasinya perusahaan penambang pasir besi di daerah mereka.

Hari itu, 1 April 2012, enam tahun telah berjalan sejak pertama kali didirikannya Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Di tanggal yang sama pada tahun 2006, masyarakat di 4 kecamatan dan 10 desa di Kabupaten Kulon Progo menginisiasi dan membentuk organisasi perjuangan yang bersifat independen. Organisasi ini bertujuan dan berkepentingan untuk menjaga dan mempertahankan fungsi ekosistem dan mata pencaharian warga sebagai petani lahan pantai. Artinya, penolakan bagi aktivitas penambangan pasir besi di daerah mereka.

 Simbol dalam Coretan

Penolakan mereka tergambar dalam dari spanduk-spanduk yang terpajang di lokasi acara. Di Spanduk penyambutan, tertulis “Tolak Tambang Pasir Besi Kulon Progo Tanpa Kekerasan”. Masuk di pintu penyambutan terpampang sebuah lukisan yang berisi kritikan terhadap feodalisme dan kekuasaan di D.I. Yogyakarta yang tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan menjadi pintu masuk modal dan investasi untuk aktivitas penambangan.

Di panggung sederhana itu sendiri, selain ucapan selamat hari ulang tahun bagi PPLP Kulon Progo, sebuah tulisan yang mengukuhkan sikap mereka terhadap aktivitas penambangan mengikuti sebagai tema. Tulisan “Diam Menakutkan, Bergerak Mematikan; Bertani atau Mati” menegaskan pilihan mereka untuk bertani dan merdeka di atas tanah mereka sendiri daripada mati perlahan sebagai buruh pertambangan. Atau mati sekalian di ujung peluru aparat dan preman penjaga tambang itu.

Di sisi kanan panggung, satu lagi karya seni menggambarkan berbagai dampak aktivitas penambangan jika terus dilanjutkan. Rusaknya ekosistem di laut dan darat, memudarnya relasi sosial masyarakat, dan hilangnya kedaulatan mereka atas pangan. Di bagian atas karya itu tertulis kalimat “Berdiri Di Atas Kekuatan Pangan Sendiri” sebagai penegasan bahwa mereka tidak butuh pertambangan dan janji-janjinya akan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Hidup mereka telah terjamin dari lahan-lahan gersang yang mereka sulap menjadi produktif dan olah dengan kekuatan mereka sendiri. Kebutuhan hidup mereka telah lebih dari tercukupi.

Who Needs Mining???

Acara berjalan dengan susunan acara yang dipenuhi sambutan dan orasi-orasi yang bernada sama. Kepala Desa, Mahasiswa, Ustadz, Tokoh-Tokoh Masyarakat, dan Pemuda menyampaikan tuntutan yang sama. Mereka menolak dan melawan penambangan pasir besi tentu saja. Mereka menuntut pembebasan Tukijo, seorang tokoh masyarakat yang ditangkap dan dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik, yang bersama mereka memimpin penolakan tambang pasir besi. Bahwa mereka akan mempertaruhkan nyawa untuk bertahan dan dari penggusuran. Bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah-tanah yang diklaim penguasa feodal sebagai miliknya.

Mereka meneriakkan bahwa mereka hanya ingin hidup sederhana dan tidak terusik oleh apapun. Mereka sangat nyaman hidup seperti adanya, sebagai petani. Kebutuhan mereka terpenuhi, bahkan lebih dari cukup. Relasi sosial terjalin solid, kuat, dan semua orang nyaman berada di dalamnya. “Kami baik-baik saja dengan keadaan kami!!!” teriak seorang tokoh pemuda di atas panggung. So, who needs mining??

 Kapitalisme Lagi

Secara pribadi, yang menarik minatku adalah seorang ibu rumah tangga yang berteriak dan membicarakan kapitalisme dan neoliberalisme di atas panggung. Dia meneriakkan bahwa kondisi yang terjadi adalah akibat keserakahan kapitalisme dan pandangannya terhadap manusia yang hanya sebagai bagian dari factor produksi. Tidak berbeda dari mesin-mesin, modal, dan objek tambang itu sendiri.

Yaa.. semoga kita tidak melupakannya. Bahwa perlawanan ini terjadi secara esensial terhadap kapitalisme. Sejarah telah merekam tumpukan peristiwa di mana kapitalisme bisa melindas apa saja yang menghalanginya, tak terkecuali manusia dan peradaban. Sejarah juga telah merekam bahwa manusia telah melawan kapitalisme sejak masa-masa awal kelahirannya. Kapitalisme dilahirkan dengan perlawanan dan penolakan atas dirinya sendiri.

Cerita perlawanan penambangan pasir besi Kulon Progo sekali lagi menjadi bukti bahwa telah immanent di dalam tubuh kapitalisme, perlawanan itu pasti dan harus ada.


*penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…