Opini

Mewujudkan Tertib Politik Dan Tertib Sosial Dalam Pemilukada

402
×

Mewujudkan Tertib Politik Dan Tertib Sosial Dalam Pemilukada

Sebarkan artikel ini
Oleh: Andi Admiral

Opini, Kahaba.- Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Lombok Barat (Lobar), Provinsi NTB, diikuti 4 (empat) pasangan calon, yakni Nomor Urut I Dr. H Zaeny Arony, M.Pd – Faudzan Khalid, S.Ag, M.Si (AZAN), Nomor Urut 2 Zahrul Maliki – H Irwan (ZAHIR), No. Urut 3 Dr. H Mahrip, MM – Drs. TGH Munajib Khalid (MAJU) dan No. Urut 4 Drs. H Ridwan Hidayat dan Syaiful Akhyar, SE (RISA).

 
Ilustrasi
Ilustrasi
Fenomena Kampanye

Dari jadwal kampanye yang berlangsung sejak 6 s.d 17 September 2013, dari 4 (empat) pasangan calon peserta Pemilukada Lobar, termonitor 3 pasangan calon yang intensif melaksanakan kampanye dialogis maupun monologis, yakni AZAN sebanyak 8 kali, MAJU sebanyak 10 kali dan RISA sebanyak 5 kali. Meskipun Selama pelaksanaan kampanye tersebut, masih terdapat pasangan calon yang cenderung lebih mendominasi dukungan massa dan dengan melemparkan statemen yang saling mendiskreditkan dan mengarah pada black campaign.

Mewujudkan Tertib Politik Dan Tertib Sosial Dalam Pemilukada - Kabar Harian Bima

Pada sisi lain, kompetisi pasangan calon juga cenderung melibatkan kelompok massa dalam melakukan aksi unjuk rasa yang menyuarakan isu-isu kasus korupsi yang melibatkan pasangan calon Bupati. Hal ini terlihat pada 11 September 2013, di Kantor Kejati NTB, sejumlah aktivis Jaringan Anti Korupsi Lombok Barat yang melakukan aksi unjuk rasa mendesak Kejati NTB menuntaskan kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif dan pengelapan asset Lombok Barat yang diduga melibatkan salah satu pasangan calon. Sebelumnya, pada 5 September 2013, di Kantor Kejati NTB, juga sekitar 200 orang mengatasnamakan Gerakan Rakyat Lombok Barat Anti Korupsi (GERLAK), melakukan asi serupa mempertanyakan dugaan korupsi dan kejelasan penjualan aset, pengunaan Dana Bantuan Sosial (Bansos) dari pemerintah pusat.

Dari dinamika yang berkembang maupun eskalasi situasi politik dan keamanan selama pelaksanaan kampanye yang dimulai sejak 6 September 2013 dan dijadwalkan berakhir pada 19 September 2013, masih terdapat adanya indikasi pelanggaran, dugaan money politic, pelibatan PNS, saling mendiskreditkan di antara pasangan calon, serta kasus pengrusakan baliho milik pasangan calon.Kendati demikian, pelaksanaan kampanye secara umum berjalan tertib dan relatif kondusif.

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kab Lobarmemiliki modal untuk menuju tertib politik dan tertib sosial dalam mewujudkan Pemilukada berkualitasi, demokratis dan bermartabat. Modal ini juga dapat menjadi hipotesis untuk menghilangkan stigma negatif terhadap penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia yang selalu diwarnai anarkisme massa atau politik kekerasan.

Tertib Politik dan Tertib Sosial

Pemiluberkualitas, demokratis, dan bermartabat, baik dalam koteks Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasil yang dicapai. Dari sisi proses, Pemilu dinilai berkualitas jika berlangsung secara demokratis, aman, tertib dan lancar serta jujur dan adil.  Jika di lihat dari sisi hasil, Pemilu yang berkualitas harus dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara atau kepala daerah yang mampu mensejahterakan rakyat, serta dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia atau daerah di mata dunia internasional ataupemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita nasional. Pemilu atau Pemilukada seyogyanya bermuara pada upaya mewujudkan tertib politik maupun tertib sosial. Kedua hal tersebut bagaikan dua mata sisi uang yang tidak bisa dipisahkan agar tidak terjadi ketimpangan. Diperlukan keseimbangan langkah untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam bermasyarakat.

Dalam referensi ilmu politik, istilah “Tertib Politik” secara lengkap dan lugas digambarkan seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, kelahiran New York City pada 18 April 1927, Saumel Philips Huntington. Seorang Guru Besar sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Politik di Universitas Harvard dan Ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional dan Regional, di Weatherhead Center for International Affairs. Dalam bukunya Political Order in Changing Societiesyang ditulis tahun 1968, kerap dilihat sebagai cetak biru model demokratisasi yang mementingkan stabilitas. Bagian lain dari tesis Huntington dalam buku tersebut, bahwa bersama perubahan masyarakat tingkat partisipasi harus juga meningkat, yang perlu diperhatikan pula oleh para penyusun strategi politik di lapangan. Huntington juga menggambarkan upaya sekian banyak bangsa dan negara yang sedang berkembang dalam mencapai tatanan tertib politik. Hal mana dimaksudkan sebagai jembatan yang akan mendekatkan setiap negara dalam meraih cita-cita yang telah diikrarkan sejak awal, yaitu masyarakat yang makmur, sejahtera, aman dan sentosa.

Berangkat dari pemikiran tersebut, sistem politik melalui Pemilu maupun Pemilukada, pada kenyataannya adalah pemanfaatan gelombang massa oleh kekuatan politik tertentu. Karena itu, kualitas demokrasi harus dibangun lewat mekanisme konsensus kolektif, dimana rakyat harus menjadi subjek atau pelaku (bukan ojek) dalam setiap proses politik tanpa diskriminasi, karena demokrasi hanya mengenal hukum kolektivitas yang menganulir dominasi kelompok elite atas suara mayoritas.

Untuk menata demokrasi massa menuju tertib politik,Huntington merumuskan gagasannya dengan baik, bahwa gelombang massa, terutama di negara-negara demokrasi baru (the new democratic countries), memiliki dua efek sekaligus yang bisa bertentangan, yakni gelombang massa sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol atas sejumlah proses politik, atau justru merusak sistem yang tengah dibangun. Jika gelombang massa menjadi kekuatan penyeimbang dan pengontrol, menujukkan konsolidasi demokrasi dapat dicapai. Namun jika gelombang massa berubah menjadi kekuatan destruktif, rekayasa demokrasi berjalan macet dan tertib politik terganggu.

Dalam konteks Pemilukada Lobar, yang saat ini tengah memasuki masa kampanye,mobilisasi massa masih menjadi objek politik kepentingan politik pribadi dari pasangan calon atau Parpol pengusung. Seharusnya gelombang massa dalam masa kampanyeharus dimaknai sebagai kekuatan baru dalam mengawal proses politik di tingkat lokal, sehingga Pemilukada jauh dari praktek-praktek politik kotor dapat menguatkan demokrasi lokal menuju tertib politik. Di tengah situasi politik yang labil,mobilisasi massa menjadi ancaman untuk mewujudkan tertib politik. Ketika mobilisasi massa masih menjadi pilihan pasangan calon kampanye, maka perlu ditunjang pelembagaan politik, karena konsolidasi demokrasi meniscayakan pelembagaan politik melalui penetapan aturan main berpolitik (rule of the game) secara ketat, dari aturan yang mengatur kewenangan lembaga penyelenggara Pemilukada, mulai dari proses pendaftaran dan penetapan calon, proses kampanye, perhitungan suara, hingga penetapan pasangan calon yang berhasil.

Jika aturan main lemah, makan akan menjadi pintu masuk bagi munculnya gelombang kekerasan massa yang kecewa dengan sejumlah aturan main yang dianggap merugikan pasangan calon tertentu. Akibatnya, vandalisme publik menjadi puncak dari ketidakberesan proses Pemilukada, sehingga calon pasangan yang kalah tidak mau menerima hasil Pemilukada. Konsolidasi demokrasi hanya bisa dibangun ketika pelembagaan politik berlangsung baik dengan terpenuhinya beberapa syarat,di antaranya rule of the game yang tegas dan jelas, penegakan supremasi hukum, konsensus elite politik dalam menaati aturan main, dan cara berpolitik yang santun dan adab.

Sementara itu, istilah “Tertib Sosial” adalah istilah yang digunakan dalam ilmu sosiologi untuk menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang aman, dinamis, dan teratur, sebagai hasil hubungan yang selaras antara tindakan, nilai, dan norma dalam interaksi sosial. Beberapa referensi teroritis, antara lain pandangan Tomas Hobbes, Talcot Parson, dan Karl Marx. Pada intinya, mereka memandang masyarakat bertindak sesuai dengan status dan perannya masing – masing. Bentuk nyata keselarasan sosial adalah adanya keselarasan atau kerja sama dalam interaksi sosial kebudayaan dapat tergambar dari struktur sosial maupun proses sosial yang dinamis dalam masyarakat.

Dalam kaitan ini, tertib sosial dapat tercipta mengisyaratkan terdapat suatu system nilai dan norma yang jelas, individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, serta individu atau kelompok dalam masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku.Tertib sosial merupakan kondisi dinamis suatu masyarakat, dimana sendi-sendi kehidupan masyarakat berjalan secara tertib dan teratur sehingga tujuan kehidupan bermasyarakat dapat dicapai secara berdayaguna dan berhasilguna. Tertib sosial merupakan suatu kondisi  masyarakat yang sedemikian rupa tertib dan teraturnya, sehingga mampu menangkal segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan masyarakatnya. Tertib sosial dapat berwujud sebagai akibat adanya suatu system pengendalian sosial atau control sosial yang didasari oleh seperangkat nilai dan norma sosial yang disepakati dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat secara konsekuen.

 

Ancaman dan Solusi

Persaingan pasangan calon yang cenderung saling mendiskreditkan dalam pelaksanaan kampanye akan semakin meningkat dalam upaya menarik simpatik dan dukungan masyarakat menjelang Hari Pencoblosan pada 23 September 2013, dengan menerapkan berbagai upaya dan strategi masing-masing. Memasuki masa tenang pada 20 s.d 22 September 2013, potensi kerawanan, antara lain kampanye terselubung tim sukses atau pasangan calon yang kemungkinan dapat diwarnai dengan money politic, “serangan fajar”, atau kemungkinan aksi sweeping massa pendukung ditingkat desa yang dapat memicu bentrok fisik. Kerawanan lainnya adalah hambatan pendistribusian logistik (surat suara) ke tingkat PPS, munculnya kecurangan saat berlangsung perhitungan suara baik ditingkat PPS, PPK dan KPU hingga penetapan pasangan calon, karena pada tahapan ini diperkirakan akan diwarnai pengerahan massa, terutama dari pasangan calon yang kalah.

Dalam konteks ini, diperlukan sinergitas seluruh unsur dan komponen yang terlibat dalam lembaga kemasyarakatan dan tatanan politik. Meminjam teori Talcot Parson dalam bukunya The Social System (1937), ada 4 unsur untuk mewujudkan tertib politik dan tertib sosial, yakni Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance. Adaptationmemerlukan kemampuan dan sinergitas masyarakat, penyelenggara Pemilukada dan aparat keamanan, dan pemerintah daerahuntuk berinteraksi dengan lingkungan sosial dan politiknya dalam mentransformasikantertib dalam berpolitik dan selaras dalam bermasyarakat.Goal-Attainment adalah upaya mensinergikan seluruh stake holder dalam mencapai tujuan menuju tertib politik dan tertib sosial. Integration atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial dan sistem politik mengenai nilai-nilai atau norma pada masyarakat telah ditetapkan. Di sinilah peran nilai tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem social dan politik. Sementara Latency (Latent-Pattern-Maintenance) adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ini nilai- nilai kemasyarakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya dalam mengimplementasikan budaya dan perilaku politik tanpa kekerasan.

Solusi menuju tertib politik dan tertib sosial, maka perilaku individu-individu yang merupkan bagian dari masyarakat sangat menentukan keadaan masyarakat secara keseluruhan dalam membangun tertib politik yang berkualitas. Sebaliknya, tertib politik berupa kondisi di mana terjadi saling pengertian antara pelaku politik dengan kondisi sosial untuk menciptakan keamanan dan stabilitas. Tertib politik dalam kondisi sosial merupakan hubungan dan interaksi dalam masyarakat yang diinginkan tanpa dihiasi konflik dan kekerasan.

Semoga …

Wallahua’lam bissawab.

Mataram 17 September 2013.

* Penulis adalah Pemerhati masalah Sosial Politik, Dewan Pendiri dan Pembina LSM Bumi Gora Institut NTB dan Mantan Wasekjend Bidang Hubungan Internasional PB HMI periode 2004 s/d 2006
Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…