Opini

Klise, Lelucon, dan Kemunafikan Seputar Kenaikan Harga BBM

680
×

Klise, Lelucon, dan Kemunafikan Seputar Kenaikan Harga BBM

Sebarkan artikel ini
Oleh: M. Chairil Akbar

Kebetulan gairah menulis sedang sedikit membaik, saya putuskan untuk kembali corat-coret. Kebetulan juga banyak lelucon dan kekacauan bertebaran akhir-akhir ini. Rencana pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM adalah episode hits untuk beberapa pekan ini dan yang akan datang. dalam pemerintahan yang bergaya sinetron seperti sekarang, rakyat perlu belajar terbiasa dengan manipulasi dan kebohongan. belum lagi watak munafik yang rajin dipertontonkan.

BBM naik lagi dan kebijakan tersebut kemungkinan besar akan direstui oleh aliansi politik tak bermutunya di parlemen. aahh, siapa sih yang bisa melupakan rentetan kebijakan pro modal plus lawakan-lawakan konyol penguasa di republik ini? akan tetapi, ada sejumlah hal menarik yang dapat ditelaah lebih jauh menyangkut subsidi BBM yang diamputasi oleh pemerintahan yang berpura-pura tidak neo-liberal ini.

Klise, Lelucon, dan Kemunafikan Seputar Kenaikan Harga BBM - Kabar Harian Bima

Presiden kembali berdalih tentang fluktuasi harga minyak dunia sebagai faktor determinan kenaikan harga BBM. Dikatakan bahwa   goncangan eksternal dari harga minyak dunia otomatis akan membawa ekonomi negara kedalam jurang krisis. justifikasi yang sudah dua kali dilancarkan sejak 2008 lalu. Skenario ini tak pelak menyulut kontroversi dari berbagai pihak. rakyat kelas menengah kebawah terutama rakyat miskin untuk kesekian kali mesti bersabar,bagi yang ingin bersabar tentu saja, menjadi tumbal. lalu beberapa pengamat ekonomi, politik, hingga sejumlah partai politik yang turut menyerang rencana kenaikan harga BBM, terlepas apakah bentuk oposisinya orisinal atau palsu. Dan hari-hari ini perlawanan berkobar dibanyak daerah diseantero negeri.

Klise, Lelucon, dan Kemunafikan Seputar Kenaikan Harga BBM - Kabar Harian Bima
Topeng Kepalsuan (sumber:borg.com)

Ditengah kondisi runyam dan chaos politik, terbelahnya kepentingan merupakan sesuatu yang niscaya. Cukup mudah untuk melihat alasan dan rasionalisasi dari orang atau pihak-pihak yang memilih setuju, menolak, setuju dengan syarat, sampai posisi paling absurd sedunia yakni netral. Toh, semuanya dibenarkan setidaknya dalam iklim demokrasi liberal hari ini. Bahkan memutuskan menjadi iblis pun wajar-wajar saja begitupun bagi mereka yang memimpikan transformasi radikal terhadap imperium capital beserta turunannya. Dari sana akan terlihat jelas bagaimana kepentingan, sikap politik, dan garis ideologis yang dianut pihak-pihak tadi. Tapi, sudahlah, sekali lagi itu adalah realitas yang niscaya walaupun setiap dari kita pasti saling menabrak pada akhirnya.

Saya menemukan atau lebih tepatnya menjaring kembali beberapa detail klasik yang sangat penting, terlalu penting malah. Kesemuanya telah menjadi begitu klise sampai kita sendiri tidak perlu repot menghadirkannya lagi kedalam ruang diskusi atau di tulisan seperti yang anda baca sekarang. Namun, saya selalu yakin bahwa hal klise akan selalu krusial. Contoh paling sederhana, seperti ajaran guru-guru di sekolah dasar dulu mengenai sikap terpuji untuk saling tolong menolong atau saling menghargai. Ditengah keterjebakan kita pada penyakit “lupa”, klise-klise ini akan menjadi sedikit cahaya. Mungkin sebagai motivasi, gairah baru, atau sumber kemarahan baru, hehe. Tulisan ini tentang itu semua. Tentang sejumlah klise yang melingkupi fenomena kenaikan BBM. Juga tentang pandangan bahwa kenaikan harga BBM adalah tidak rasional, destruktif, dan cerminan sangat tegas bagaimana kebijakan berhaluan neoliberalisme masih menjadi kiblat pemerintah. Namun begitu, postingan ini tak akan menyajikan analisa teknis bagaimana perhitungan harga BBM ditetapkan. Tulisan dan ulasan dari Kwik Kian Gie seharusnya sudah cukup menjadi pijakan awal untuk menolak kebijakan pemotongan subsidi BBM. Belum lagi ditambah, analisis dari kelompok gerakan akar rumput (sektor buruh, tani, mahasiswa, dll) yang sudah pasti lebih jernih dan objektif ketimbang data-data BPS yang validitasnya ramai dipertanyakan. Sampel terdekat tentu saja jumlah dan kriteria rakyat miskin.

Klise pertama adalah klise paling klise dalam sejarah Negara politik modern. Ini tentang latar belakang, fungsi, dan proses terbentuknya Negara. Suatu hal paling fundamental yang telah banyak diketahui tetapi belum tentu dipahami, setidaknya dari perspektif yang berbeda. Negara itu mungkin selayaknya udara, ada di mana-mana. Tetapi ajaibnya Negara mampu tiba-tiba menghilang secara misterius (Negara yang tiba-tiba menghilang adalah tulisan cerdas dari Adhe, seorang penulis asal Yogyakarta, yang saya gemari). Keberadaan Negara tidaklah sepermanen perangkat dan instrumen-istrumen yang dihasilkannya. Kita melihat dan merasakan Negara ternyata hanya pada waktu tertetntu. Panca indera termasuk aspek ruhaniah kita merasakan eksistensi Negara secara sempurna pada saat kebahagiaan material menjadi lebih dominan dalam kehidupan harian kita. Uang, jabatan, hiburan, pendidikan,dan lain-lain merupakan konsumsi penting yang menggaransi betapa berterima kasihnya kita pada Negara. Entah diperoleh dengan kerja keras, tipu muslihat, eksploitasi, atau kecerdasan kesemuanya adalah opsi-opsi yang dapat ditempuh. Pada konteks ini Negara beserta pemerintah dibanjiri pujian dan pengakuan penuh atas legitimasinya. Di lain pihak Negara eksis kala tagihan air atau listrik menunggu. Panggilan pajak setia menanti disetiap momen terima gaji atau pada berbagai produk yang diproduksi maupun diperjualbelikan. Daftarnya akan bertambah panjang jika disertakan registrasi, sertifikasi, validasi,  biroktratisasi, dan berbagai bentuk pengaturan lain atas nama ketertiban beserta keamanan.

Seperti yang telah dikatakan diatas, pada keadaan lain Negara secara ajaib tiba-tiba menghilang. Sifat misterius hilangnya Negara tentu saja menggugurkan seluruh analisa menyangkut kredibiltas dan peran Negara yang wajib humanis, rasional, dan universal. Substansi dari Negara adalah otoritas. Otoritas Negara bersifat mutlak dan mengikat serta berlaku bagi setiap warga yang dinaunginya. Namun apa boleh buat, benda bernama otoritas ini ternyata sangat fluktuatif,bahkan lebih fluktuatif dari cuaca. Otoritas tidak berdiri independen karena dipengaruhi serta ditentukan oleh faktor-faktor diluarnya. Fluktuasi kekuasaan inilah yang sukses menghilangkan Negara secara misterius. Negara tidak terlihat kala upah rendah bin tidak manusiwai subur diberlakukan, kala biaya sekolah dan berobat semakin mahal, atau pada rencana kenaikan BBM belakangan ini. Ketika menghilang Negara lalu berevolusi menjadi ironi dan lelucon. Ironi paling klasik berupa pertanyaan-pertanyaan berikut ini, pemerintah kan dipilih secara demokratis, lantas kenapa sampai berpaling dari konstituennya? Bukannya wakil rakyat di DPR itu kepanjangan lidah dan aspirasi rakyat? Apa benar si beye itu orang yang tuli, goblok, jahat, dan tidak berperasaan? Setiap kali mengingat pertanyaan-pertanyaan ini saya selalu tersenyum, baik pada diri sendiri maupun pada orang yang jika kebetulan menanyakannya pada saya. Jawabannya sangat beragam dan sekali lagi secara ketat akan dipengaruhi oleh kerangka teoritis yang digunakan. Atau kalau tidak mau pusing dengan teori, filsafat, atau hal-hal rumit cukup dibenturkan saja dengan apa kepentingan (interest) orangnya. Klasifikasi kepentingan-kepentingan akan memandu pertanyaan tersebut ke jawaban yang paling objektif dan tepat sasaran. Si Ruhut Sitompul yang terkenal asal bin kacau bicara itu tak mungkin membusuki kebijakan Partai Demokrat dan si beye bukan???

Namun kita,terutama rakyat miskin, tidak perlu terlalu khawatir dan kebakaran jenggot menyikapi kenaikan harga BBM ini, setidaknya begitulah pemerintah berkilah. Si presiden malah turut mengakui penyesalan dan ketidakbahagiaannya pada kebijakan ini. Maka lahirlah lelucon. Bagaimana mungkin orang ini beserta para pendukungnya itu prihatin bila bahkan tidak ada sedikitpun yang mengganggu ketentraman hidup mereka ketika BBM naik??? Mengundang pers lalu menyebarkan penyesalan palsu yang pada prinsipnya mereka dapat menghindarinya sejak awal dan membatalkan kebijakan tersebut? Jika merujuk pada rasionalisasi versi pemerintah maka kenaikan harga BBM terdengar sangat masuk akal dan tak bisa dihindari. Namun anehnya sejumlah kejanggalan juga terlihat begitu kasat mata. Rezim ini telah berkuasa lebih dari 8 tahun namun tidak punya (meski lebih tepatnya memang tidak menghendaki) program jangka panjang tentang kedaulatan migas. Tentang lifting, tentang penemuan sumur baru, konversi ke gas, atau obral sumber minyak nasional kepada korporasi asing. Diluar itu,anggran belanja yang boros, plesiran ke luar negeri, kultus korupsi, yang kesemuanya menggerogoti struktur APBN Negara. Bahkan tanpa Kwik Kian Gie, manipulasi dan lelucon semacam ini cukup gampang ditelusuri. Tidaklah mengherankan lelucon ini menjadi semakin heboh lewat dalih kosong subsidi BBM yang beralih fungsi sebagai penyakit APBN. Pemerintah ini adalah kanker berikut sistemnya. Bukan subsidi. Bukan kita tapi segelintir orang-orang itu!

Ilusi inspeksi pasar

Meskipun begitu, saya masih punya satu lelucon yang jauh lebih dahsyat. Ini tentang ritual inspeksi mendadak terhadap pasar-pasar tradisional. Operasi pasar akan ramai pada setiap momen kenaikan harga BBM. Alasannya sederhana, jangan sampai terdapat praktik penipuan dan monopoli harga serta penimbunan bensin-solar. Dalam kondisi ekonomi yang tak menentu akibat inflasi yang cenderung naik maka penertiban harga merupakan langkah yang sangat rasional. Tetapi saya justru merasakan ada keganjilan yang luar biasa hebat. Lokasinya berada pada inkonsistensi logika pasar bebas (kapitalisme) dan watak pengecut Negara. Pertama, jika memang harga minyak dunia dibentuk oleh hukum pasar dan si beye mengamini itu, maka atas alasan apakah inspeksi pasar dijalankan? Meyakini fluktuasi harga minyak dunia juga berarti meyakini efek-efek yang akan ditularkannya. Beginilah semestinya ekonomi pasar berjalan. Sehingga pasang surut harga adalah niscaya alias takdir dari doktrin kapitalisme.

Lantas mengapa inspeksi pasar tetap dilakukan? Jawaban dari pertanyaan tersebut terlihat begitu terang dan jelas jika kita mengamati sikap pengecut Negara yang saya sebutkan tadi. Negara borjuis adalah tatanan sempurna, koheren, dan adaptasi bagi eksistensi kapitalisme. Pada konteks ini, Negara hanya berakhir sebagai hamba sahaya bagi kelangsungan akumulasi capital bagi kelas borjuasi. Tidak percaya? Pernah tidak melihat Negara borjuis melakukan inspeksi di NYMEX (tempat transaksi dan sumber penentuan harga minyak dunia)? Pernah tidak pemerintah merazia praktek spekulasi di pasar-pasar saham dimana korporasi migas raksasa terlibat penuh didalamnya? Bukankah finansialisasi adalah sebentuk judi berbentuk kasino? Negara tidak akan pernah melakukannya. Menempuh langkah ini sama saja tindakan makar atau mengganggu tidur nyaman para kapitalis. Perekonomian didunia dibangun oleh jaringan-jaringan capital beserta ekspansinya ke berbagai Negara dengan poros hukum pasar bebas. Pemerintah seharusnya berani secara lantang menyuarakan perlawanan monopoli dan control harga oleh mereka. Atau seharusnya bisa seperti sekarang, sekonyong-konyong menyerbu pasar-pasar tradisional. Bukankah bergerak langsung pada sumber primernya lebih efektif? Sekali lagi ini mustahil terjadi dalam kerangka Negara borjuis. Kita telah lama menelan kebohongan dan hidup dalam halusinasi. Inspeksi pasar tradisional dalam momen kenaikan harga BBM hanyalah ilusi murahan dari pemerintah atas nama stabilisasi ekonomi. Selama kapitalisme berkuasa maka tak pernah ada garansi atas stabilitas harga minyak dunia. Dengan demikian, tujuan sesungguhnya dari kenaikan harga BBM ialah pencabutan sistematis subsidi rakyat. Keberadaan dan peran subsidi sendiri merupakan konfrontasi terbuka atas mekanisme pasar! Beginilah cara mereka bekerja. Beginilah neo-liberalisme beroperasi. Aahh,rasa-rasanya si Marx itu begitu menjengkelkan karena sekali lagi tesisnya kembali terbukti relevan :)

Kemunafikan rutin “kelas menengah”

Sudah bukan rahasia lagi kalau kelas menengah terkenal oportunis dan pandai berubah layaknya bunglon. Mereka adalah sosok-sosok yang mengaku kreatif namun hobi mencibir jika ada gagasan dan arah perubahan sosial yang lebih radikal. Disamping itu, ada tipe berbeda yang tampak sangat “naïf”. Mereka terbiasa secara cekatan memvonis protes sebagai bentuk lain dari kebodohan. Tentang pernyataan sembrono yang muncrat di Facebook dan jejaring sosial lainnya bahwa kritisisme itu terlalu dekat dengan egoisme dalam kadar subjektifitas paling pekat.. dahulu saya berupaya lumayan keras untuk mengcounter pernyataan model begini namun sekarang “aneh”nya saya mampu lebih tenang. Termasuk pada sejumlah kesimpulan sembrono yang turut mewarnai aksi protes melawan kenaikan harga BBM seminggu terakhir ini.

Saya sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menghormati perbedaan pendapat meski terdengar perih bagi kuping saya. Namun pada titik tertentu, batas toleransi wajar untuk luluh. Saya kurang yakin dengan labelisasi bahwa orang-orang ini adalah kelas menengah karena anehnya cara berpikir dan logika yang dibangun justru berada pada level  tidak menengah sama sekali! Apa yang anda harapkan dari reaksi rakyat yang marah karena ditindas dan dibohongi? Apa reaksi yang anda harapkan pada pemerintah dan parlemen yang bebal dan despotic? Apa reaksi yang anda harapkan dari penguasa bermandikan kemewahan sementara rakyatnya terus terpojok karena melarat dan sakit? Apa hasil yang anda harapkan dengan status fesbuk dan twitter yang berisi cemoohan tentang kenaikan BBM?

Mungkin saja saya sendiri yang terlalu emosional. Tapi setidaknya saya tahu bahwa kemerdekaan dari belanda dan jepang itu tidak lahir dari acara seminar, dialog, surat kecaman, audiensi dan aksi damai. Atau ketika pemerintahan soeharto yang militeristik itu tidak kolaps karena karena negosiasi. Radikalisasi yang sedang berhembus kuat sudah pasti akan diterjang oleh status quo. Dan ini adalah hal yang alamiah dalam semua teori politik. Tapi kelas menegah ini, orang-orang ini terus saja mengoceh tentang demostrasi yang terlampau keras, tidak santun, dan merugikan masyarakat. semua orang jelas mengeluh ketika soeharto diprotes diberbagai provinsi karena macet dan fenomena kerusuhan. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Mereka justru memuji heroisme dan peran sentral mahasiswa atau kelompok gerakan lainnya. Bahwa karir, jabatan, dan kekayaan yang mereka banggakan ternyata buah dari kekacauan dan instabilitas yang sekarang mereka cibir tiap hari! Mereka yang gemar melecehkan metode kiri itu munafik. Pada prinsipnya mereka juga menyepakati model-model sabotase dan kekerasan. Apakah kita lupa revolusi borjuasi di perancis yang terkenal itu? Ketika mereka menyerang penjara bastille dan membungkan kekuasaan raja louise lalu berganti rezim liberal borjuis?
Aahh,sudahlah mereka ini memang tidak menengah…

***Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Gajah Mada – Jogjakarta