Opini

Keterangan Ahli dalam Sidang MK Perkara Saham PT NNT

290
×

Keterangan Ahli dalam Sidang MK Perkara Saham PT NNT

Sebarkan artikel ini
Oleh: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Keterangan Ahli dalam Sidang MK Perkara Saham PT NNT - Kabar Harian Bima
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Opini, Kahaba.- Setelah menyimak dengan seksama Permohonan Sengketa Kewenangan Antar Lambaga Negara yang dimohon oleh Presiden Republik Indonesia selaku Pemohon, membaca Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selaku Termohon I, dan membaca pula Keterangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia sebagai Termohon II, izinkanlah saya untuk menyampaikan Pendapat Ahli tentang perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara ini dari sudut perspektif hukum tatanegara, yang selama ini saya dalami. Analisis dari sudut hukum tatanegara adalah relevan untuk menerangkan berbagai hal terkait dengan perkara ini, oleh karena sengketa kewenangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sengketa antar lembaga negara “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.

Norma Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengandung makna limitataif, yakni hanya lembaga-lembaga negara yang kewenangannya secara langsung diberikan oleh undang-undang dasar saja yang jika terjadi konflik kewenangan, perkaranya dapat diajukan kepada Mahkamah Konstusi. Lembaga-lembaga lain, meskipun keberadaannya disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar, namun jika kewenangannya tidak diberikan secara langsung oleh undang-undang dasar, maka jika terjadi konflik kewenangan, sengketanya tidak dapat dimajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Fokus utama kajian hukum tatanegara (constitutional law atau staatsrechts) adalah terhadap konstitusi. Sementara konstitusi, pada umumnya akan mengatur keberadaan lembaga-lembaga negara beserta batas-batas kewenangannya. Karena itu, analisis dari sudut hukum tata negara, sangat mungkin dapat membantu menjernihkan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini.

Keterangan Ahli dalam Sidang MK Perkara Saham PT NNT - Kabar Harian Bima

Ketika Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945, maupun diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para ahli hukum tatanegara, seperti almarhum Professor Ismail Suny, mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara ketat, sebagaimana dikenal dalam doktrin “trias politica” Montesqeui. Sejauh mengenai kewenangan lembaga negara yang menangani kekuasaan kehakiman (yudikatif), pemisahan kekuasaan yang tegas antara lembaga ini dengan lembaga-lembaga lain memang telah dirumuskan sejak awal penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Namun dalam hubungan antara “eksekutif” dengan “legislatif” sejak awal tidaklah terjadi pemisahan kekuasaan, melainkan “pembagian kekuasaan” (division of powers). Dalam hal pembentukan undang-undang, DPR berbagi kewenangan dengan Presiden. Dalam hal menetapkan APBN, Presiden juga berbagi kewenangan dengan DPR, apalagi pengesahan APBN haruslah dilakukan dengan undang-undang, yang kewenangan Presiden dan DPR adalah sama kuatnya. Namun dalam melaksanakan undang-undang, termasuk dalam menggunakan seluruh anggaran negara yang telah disepakati dalam undang-undang tentang APBN, kewenangan Presiden tidaklah dibagi dengan DPR. Presiden melaksanakannya sendiri. Namun, dalam konteks pelaksanaan itu, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Presiden.

Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 memuat norma yang mengatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. Rancangan Undang-Undang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden menjalankan APBN tahun yang lalu. Hal-hal lain mengenai keuangan negara, termasuk pembahasan APBN, sebagaimana diatur dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 “diatur dengan undang-undang”. Undang-undang dimaksud, yang sekarang ini telah ada ialah Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Khusus mengenai prosedur pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN, norma yang mengaturnya terdapat dalam Bab III Pasal 11 sampai Pasal 15 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang dilakukan secara “terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja”. Dengan demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN, Presiden dan DPR, haruslah membahasnya sampai ke tingkat yang rinci seperti ini, karena penyusunan Rancangan Undang-Undang APBN haruslah “berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan negara”. Pembahasan ini telah dimulai dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN yang dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran yang harus menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya (Pasal 12 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 1 dan 4 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).

Dalam konteks normatif sebagaimana dikemukakan dalam paragraf di atas, Menteri Keuangan yang mewakili Presiden membahas RAPBN dengan DPR, bukan akan membahas keseluruhan materi RAPBN termasuk membahas anggaran Kementerian Keuangan sendiri. Rencana Pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara, untuk melakukan investasi adalah materi yang juga diajukan dalam RAPBN untuk dibahas bersama-sama dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan yang dilakukan secara terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanjanya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam hal Pemerintah melakukan investasi, Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo ayat (2) huruf h berwenang untuk menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi. Sedangkan pengelolaan investasi itu diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara, yang memuat norma yang mengatur bahwa (1) Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya. Investasi itu dapat dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 41 ayat 2 dan 3) dan “penyertaan modal pemerintah pusat pada perusahaan negara/daerah/swasta” yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 41 ayat 4).

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, memuat norma yang mengatur bahwa salah satu bentuk investasi Pemerintah ialah “investasi dengan cara pembelian saham” (Pasal 3 ayat 2 huruf a). Sedangkan sumber dana investasi itu antara lain dapat berasal dari APBN, keuntungan investasi terdahulu (Pasal 7 ). Investasi dengan cara pembelian saham dapat dilakukan atas saham yang diterbitkan oleh perusahaan (Pasal 15 ayat 1). Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.05/2008 mulanya menyebutkan bahwa saham perusahaan yang boleh dibeli itu terbatas hanya pada perusahaan terbuka. Namun Peraturan Menteri Keuangan No 44/PMK.05/2011 telah menghapuskan kata “perusahaan terbuka” tersebut, sehingga pembelian saham dapat dilakukan baik terhadap saham perusahaan terbuka atau perusahaan tertutup.

Investasi Pemerintah yang dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah (istilah yang digunakan dalam Peraturan Manteri Keuangan No 180/PMK.05/2008 dan diganti dengan istilah Pusat Investasi Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Manteri Keuangan, dan yang terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan No 135/PMK.01/2011) haruslah dilakukan secara tertencana yang disusun dalam Rencana Kegiatan Investasi (RKI), yang tertuang ke dalam dokumen perencanaan tahunan yang bersumber dari APBN, yang berisi kegiatan investasi dan anggaran yang diperlukan untuk tahun anggaran berikutnya (Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Keuangan No 180/PMK.05/2008). RKI juga harus memuat “rencana investasi pembelian saham” (Pasal 4 ayat 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan No 135/PMK.05/2008. Direktur PIP menyampaikan RKI kepada Dirjen Perbendaharaan untuk melakukan penilaian, yang selanjutnya disampaikan kepada Dirjen Anggaran, yang berisi usulan penyediaan dana investasi Pemerintah yang berasal dari APBN, untuk selanjutnya dibahas bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari pembahasan RUU APBN yang disampaikan Presiden kepada DPR.

Selanjutnya berapa besaran dana investasi Pemerintah melalui PIP yang disetujui oleh DPR diberitahukan oleh Dirjen Anggaran kepada Dirjen Perbendaharaan. Atas dasar itulah, Dirjen Perbendaharaan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/lembaga (RKA-K/L) kepada Dirjen Anggaran, yang selanjutnya menerbitkan SP-SAPSK (Surat Penetapan Satuan Anggaran Per Satuan Kerja, sesuai pagu anggaran dalam APBN. Dirjen Perbendaharaan selaku Pengguna Anggaran kemudian menanda-tangani konsep DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), yang selanjutnya disahkan oleh Dirjen Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan.

Dari uraian normatif hukum administrasi negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelaslah bahwa dalam melakukan investasi, Pemerintah harus melakukannya berdasarkan suatu perencanaan, termasuk rencana penyediaan anggarannya jika dana yang akan digunakan untuk melakukan investasi itu berasal dari APBN. Pembahasan rencana investasi itu harus dilakukan oleh Presiden, dalam hal ini Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dalam membahas RAPBN dengan DPR. Jika rumusan normatif ini dikaitkan dengan norma Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang No 17 Tahun 2003, maka APBN yang disetujui oleh DPR itu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanjanya. Dalam hal Investasi Pemerintah, maka rincian investasi itu haruslah menyebutkan unit organisasi mana yang akan melaksanakan investasi itu, apa fungsi investasi itu, apa program investasinya, apa bentuk kegiatannya dan apa jenis belanjanya. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2008 “unit pelaksana investasi sebagai satuan kerja yang mempunyai tugas dan tanggungjawab pelaksanaan investasi Pemerintah” dinamakan dengan istilah “Badan Investasi Pemerintah” yang dalam perkembangannya, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No 135/PMK.01/2011 disebut dengan istilah “Pusat Investasi Pemerintah” yang merupakan “unit organisasi non eselon di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan melalui Sekretaris Jenderal”.

Sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT NNT, kepemilikan saham-saham investor asing, setelah melewati jangka waktu tertentu setelah produksi, akan ditawarkan kepada Pemerintah Indonesia. Dalam hal Pemerintah RI tidak berminat, maka penawaran harus dilakukan terhadap perusahaan Indonesia atau perusahaan asing yang dikendalikan oleh warganegara Indonesia. Penawaran saham kepada pihak Indonesia ini (divestasi saham) akan dilakukan secara bertahap sehingga akhirnya pihak Indonesia akan menguasai 51 persen atau mayoritas kepemilikan terhadap PT NNT. Pemerintah RI yang mendapat prioritas pertama untuk membeli saham, ternyata mengundurkan diri (tidak jadi membeli), sehingga saham tersebut akhirnya oleh PT Maju Daerah Bersaing, sebuah konsorsium perusahaan daerah dan swasta), sejumlah 24 persen saham dalam proses divestasi yang dilakukan sejak tahun 2006-2009. Saham yang tersisa untuk didivestasikan sebanyak 7 persen, ditawarkan oleh PT NNT kepada pemerintah RI melalui Kementerian ESDM. Pada tanggal 16 Desember 2010, Menteri Keuangan menyampaikan surat kepada Menteri ESDM yang menyatakan minat Pemerintah RI untuk membeli saham divestasi Tahun 2010 sejumlah 7 persen itu. Tanggal 20 Desember 2010 Kepala PIP menyampaikan surat kepada Dirjen Kekayaan Negara minat untuk membeli saham divesasi tersebut. Menteri Keuangan, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 43/KMK.06/2011 tanggal 1 Februari 2011 menetapkan PIP sebagai pembeli saham divestasi PT NNT. Selanjutnya, setelah mengalami beberapa kali proses perpanjangan waktu pembelian, pada tanggal 6 Mei 2011 PIP dan Nusa Tenggara Partnership BV menandatangani Sale and Purchase Agreement atau 2010 Divestiture Shares Sale Agreement. Selanjutnya setelah penandatanganan perjanjian jual beli saham divestasi pada tanggal 6 Mei 2011 itu, Menteri Keuangan dengan surat No S-245/MK,06/2011 tanggal 9 Mei 2011 menyampaikan pemberitahuan pelaksanaan pembelian saham divestasi PT NNT tahun 2010 kepada DPR-RI. Menteri Keuangan memang tidak pernah mengajukan permintaan persetujuan DPR dalam membuat keputusan membeli 7 persen saham divestasi PT NTT, sekalipun hal itu telah diminta berulang-kali dalam rapat-rapat antara Menteri Keuangan dengan Komisi XI DPR. Sedari awal, dalam rapat-rapat tersebut telah terdapat gejala ketidaksetujuan Komisi XI apabila PIP membeli saham tersebut, untuk dan atas nama Pemerintah.

Keputusan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, untuk membeli saham divestasi PT NNT sebesar 7 persen itu dilakukan tanpa meminta persetujuan DPR RI, atau setidak-tidaknya meminta persetujuan Komisi XI DPR RI sebagai mitra kerja Menteri Keuangan, akhirnya menjadi polemik berkepanjangan antara kedua lembaga negara. Pemerintah berpendapat bahwa pembelian saham tersebut yang dilakukan oleh PIP, untuk dan atas nama Pemerintah RI, memang tidak memerlukan persetujuan DPR, karena hal itu merupakan kewenangan konstitusional Presiden dalam mengelola keuangan negara, yang pelaksanaannya telah dikuasakan kepada Manteri Keuangan. Sementara DPR berpendapat sebaliknya. Angka 2 Surat DPR kepada Menteri Keuangan dan Menteri ESDM yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Anis Matta, Nomor PW.01/9333/DPR RI/X/2011, tanggal 28 Oktober 2011 menyebutkan adanya perbedaan pandangan antara Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan. Perbedaan pandangan itu dikarenakan “Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 harus mendapat persetujuan DPR, sedangkan Manteri Keuangan berpendapat tidak perlu mendapat persetujuan DPR”. Karena perbedaan pandangan itu, Komisi XI DPR meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit untuk tujuan tertentu.

Setelah melakukan audit, ternyata BPK sependapat dengan DPR bahwa pembelian saham PT NNT itu harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu dengan merujuk Pasal 24 jo Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. BPK memahami pembelian saham divestasi PT NTT melalui PIP sebagai investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal Pemerintah pada perusahaan swasta, suatu pemahaman yang menurut hemat saya tidaklah tepat. Pembelian saham perusahaan swasta, bukanlah penyertaan modal. Karena ketiganya teguh pada pendirian masing-masing, maka Presiden membawa masalah ini sebagai sengketa kewenangan antar lembaga negara untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun BPK memberikan suatu pendapat setelah melakukan audit atas permintaan DPR, dan pendapat itu ternyata bersesuaian dengan pendapat DPR, namun pendapat BPK itu bukanlah pendapat hukum – sebagaimana pendapat Mahkamah Agung atas permintaan suatu lembaga negara/pemerintah atas suatu permasalahan hukum – melainkan pendapat lembaga audit setelah melakukan tugas pemeriksaan.

Titik tolak perbedaan yang kemudian melahirkan sengketa kewenangan antara Presiden dengan DPR adalah penggunaan dasar hukum dalam Pemerintah melakukan investasi, yang dalam pandangan Presiden, hal itu merupakan kewenangan konstitusional Presiden dalam mengelola keuangan negara yang bersumber dari normanya diatur Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh norma pasal tersebut Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No 1 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara. Namun, Pasal 23C tidaklah secara spesifik mengatur kewenangan konstitusional Presiden dalam pengelolaan negara, karena Pasal 23 yang menjadi induk dari Pasal 23C yang mengatur “Hal Keuangan”, jutru membagi kewenangan dalam hal keuangan negara kepada Presiden dan DPR. Pada prinsipnya pengaturan dan pengelolaan keuangan negara dilakukan melalui mekanisme APBN yang harus ditetapkan dengan undang-undang, yang harus dibahas bersama untuk mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.

Namun berbeda dengan kewenangan konstitusional untuk membentuk undang-undang, yang kekuasaannya ada pada DPR dengan persetujuan Presiden, khusus dalam menyusun APBN, secara eksplisit Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa rancangan undang-undang APBN harus diajukan oleh Presiden. DPR tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU APBN sebagaimana halnya pengajuan RUU pada umumnya. Seperti telah saya uraikan di awal uraian ini, dengan berlakunya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pembahasan APBN tidak lagi secara global seperti sebelumnya, melainkan secara lebih rinci sampai pada “unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanjanya”. Pada sisi inilah, setiap rencana kerja Pemerintah yang memerlukan pembiayaan APBN, termasuk melakukan investasi, harus harus dibahas bersama untuk disetujui oleh DPR sebelum disahkan menjadi undang-undang, sebagai pelaksanaan fungsi anggaran dan fungsi legislasi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah semua proses penetapan UU selesai, maka pada tahap pelaksanaan, yang sepenuhnya ada di tangan Presiden, fungsi DPR adalah melakukan pengawasan.

Perbedaan antara Presiden dengan DPR dalam pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT, ternyata dari perbedaan titik tolak memahami persoalan itu, karena DPR menggunakan dasar hukum merujuk pada Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang No 17 Tahun 2003 yang mengatakan “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR”. Sementara norma pasal 24 ayat (7) itu berada di bawah Bab VI yang berjudul “Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta serta Badan Pengelola Dana Masyarakat”. Penggunaan Pasal ini, pada hemat saya, tidak tepat dalam mendudukkan persoalan Investasi Pemerintah dalam bentuk pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT oleh PIP. Konteks pasal ini harus dikaitkan dengan Judul Bab VI sebagaimana telah dikutipkan tadi, yang pada intinya berkaitan dengan pemberian pinjaman dan penyertaan modal, yang dilakukan dalam konteks keadaan tertentu yakni “untuk penyelamatan perekonomian nasional” yang mungkin tengah menghadapi krisis. Pembelian saham divestasi PT NNT lebih tepat dipahami dalam konteks Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaraharaan Negara, yakni sebagai investasi pemerintah dalam keadaan normal, bukan sebagai “penyertaan modal Pemerintah” yang berakibat dipisahkannya kekayaan Pemerintah dengan kekayaan perusahaan tempat Pemerintah menyertakan modal itu.

Apabila dua lembaga negara saling berkeras mengatakan suatu bidang atau kegiatan terkait dengan penyelenggaraan negara adalah sepenuhnya kewenangan dirinya, sementara lembaga negara yang lain berpendapat bahwa bahwa bidang atau kegiatan itu tidaklah semata-mata kewenangan lembaga tersebut, melainkan berbagai dengan kewenangan dirinya, maka secara teori hukum tatanegara, hal itu adalah sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa kewenangan antar lembaga dapat muncul dari perbedaan penafsiran terhadap suatu norma konstitusi atau norma undang-undang. Apabila perbedaan tafsir itu terjadi pada tingkat pemahaman atau pemaknaan terhadap suatu norma yang mungkin disebabkan oleh sifat multi tafsir dari norma itu, maka perbedaan itu dapat dilesaikan melalui proses permohonan pengujian undang-undang, sehingga Mahkamah Konstitusi sebagai “the final interpreter of the constitution” dapat memberikan putusan penafsiran yang bersifat final dan mengikat. Namun apabila, perbedaan itu, meskipun berawal dari perbedaan penafsiran terhadap norma konstitusi atau norma undang-undang, terjadi pada tingkat pelaksanaan kewenangan dua atau lebih lembaga, maka pada hemat saya, hal itu sudah menjadi sengketa kewenangan yang perkaranya dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara.

Pada hemat saya, apa yang menjadi sengketa antara Presiden dengan DPR dalam perkara ini adalah apakah keputusan untuk membeli dan melaksanakan pembelian 7 persen saham divestasi PT NTT tersebut adalah semata-mata kewenangan Presiden (dalam hal ini Menteri Keuangan selaku Kuasa Presiden dan Bendahara Umum Negara) ataukah Prsiden baru dapat memutuskan dan melaksanakan pembelian itu setelah ada persetujuan dari DPR? Saya berpendapat, sejauh memutuskan untuk membeli saham dan melaksanakannya, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden dalam menjalankan kebijakan Pemerintah. Apa yang menjadi persoalan sesungguhnya adalah, dari manakah dana yang akan digunakan untuk membeli saham divestasi tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan oleh PIP? PIP bukanlah BUMN yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara karena didirikan dengan penyertaan modal Pemerintah yang pembentukannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. PIP adalah unit organisasi di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan.

Dengan demikian, seluruh dana PIP adalah dana Pemerintah yang sumbernya berasal dari APBN. Sementara keuntungan PIP juga seluruhnya adalah keuntungan Pemerintah. Jadi, jika Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara menyetujui rencana PIP untuk membeli saham perusahaan manapun dengan menggunakan alokasi dana investasi yang telah tertuang di dalam APBN, hal dibenarkan dan/atau dibolehkan berdasarkan norma Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan tidak lagi memerlukan persetujuan DPR. Namun sebaliknya, apabila alokasi dana investasi belum tersedia, atau telah tersedia namun belum mencukupi, maka penyediaan dana itu harus dibahas lebih dulu dengan DPR untuk disepakati bersama dan dituangkan ke dalam APBN atau APBN Perubahan.

Sumber: Keterangan Ahli Dalam Perkara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Antara Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Badan Pemeriksa Keuangan Mengenai Pembelian Saham PT Newmont Nusa Tenggara Pada Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 27 Maret 2011

 *Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…