Opini

“Bima Membara” Dari Sisi Persoalan dan Tawaran Solusi

442
×

“Bima Membara” Dari Sisi Persoalan dan Tawaran Solusi

Sebarkan artikel ini
Oleh: Ridwan H. M. Said, SH, MH

Opini, Kahaba.-  “Bima membara“ itulah kata-kata yang tertulis di dinding FB teman saya, kata-kata ini sendiri mungkin bukan lagi menjadi kata yang sangat asing bagi penjelajah dunia maya, atau sebagian besar penyimak berita di Indonesia. Bima membara pernah menjadi headline hampir semua media ketika polisi mengambil tindakan represif, dengan memukul, menendang dan menembak para demostran yang menolak ijin pertambangan di wilayah Kecamatan Lambu. Kasus itu kemudian berujung pada pembakaran kantor pemerintahan, dan para massa demostran melakukan pembebasan paksa puluhan tahanan di Rutan Bima.

"Bima Membara" Dari Sisi Persoalan dan Tawaran Solusi - Kabar Harian Bima
Kondisi perang antara Samili-Godo. Foto: Cen

Dalam rentang satu bulan terakhir,  Bima kembali menjadi headline di berbagai media. Mulai dari kasus konflik antara Desa Roka vs Roi hingga menewaskan salah satu warga Roi dan melukai beberapa warga. Tak lama kemudian di susul konflik Desa Samili vs Godo,  yang berujung pada pembakaran pemukiman warga Godo. Hampir seratus rumah beserta isinya hangus terbakar, yang akhirnya membuat warga Godo memblokir satu-satunya jalan darat yang menghubungkan NTB dengan Pulau Flores-NTT, dan setelah dilakukan negosiasi oleh pemerintah daerah akhirnya kasus ini mereda.

"Bima Membara" Dari Sisi Persoalan dan Tawaran Solusi - Kabar Harian Bima

Namun, Selasa (18/10/2012) Godo vs Samili jilid II kembali membara. Saling serang, dengan niat melukai dan membunuh lawan masing-masing. Itulah mungkin yang ada dalam benak pikiran mereka yang terlibat perang saat ini. Walau sesungguhnya dalam arena konflik itu lebih banyak yang ikut-ikutan bahkan hanya sekedar menonton saja. Kasus Godo vs Samili berawal dari kematian warga Godo yang di curigai akibat di ‘sihir’ oleh warga Samili yang menikah dan berdomisili di Godo, lalu di bunuh oleh warga Godo, keluarga korban yang ada di Samili tidak menerima lalu membakar rumah warga Godo.

Sebenarnya kasus konflik terbuka (open conflict) antar desa seperti ini bukan sesuatu hal yang asing bagi masyarakat Bima. Sudah puluhan kali terjadi, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Bima pernah mengalaminya dengan tingkat eskalasi yang berbeda-beda. Sebelum kasus Roi vs Roka, Godo vs Samili, jauh hari sebelumnya ekslasi perang antara desa yang menewaskan banyak korban jiwa telah terjadi. Mulai dari Laju, Rupe vs Tanjung Mas yang menghanguskan seluruh pemukiman masyarakat Tanjung Mas. Juga Cenggu vs Renda, Renda vs Ngali, Ncera vs Lido, Ncera vs Soki, Karumbu vs Rupe, dan Sie vs Tangga, bahkan di kecamatan Sape, Lambu, Donggo dan Soromandi juga pernah terjadi. Dari sekian kasus konflik yang terjadi, yang terlama dan banyak memakan korban jiwa adalah kasus perang antara Desa Ngali vs Renda. Dulu, di sana ada adat yang bernama Ndempa (pertarungan antar jawara) usai masa panen tiba. Budaya itu teralienasi dan seakan perang hari ini bagai sebuah ‘permainan’ saja.

Hampir setiap konflik yang terjadi, selalu mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa, baik akibat langsung dari perang itu sendiri maupun akibat tindakan represif aparat keamanan yang jenuh melihat konflik itu. Sungguh, efek sosial dan ekonomi atas konflik itu sangat besar.

Pertayaannya kemudian! Kenapa konflik-konflik yang terjadi di Kabupaten Bima, dengan mudah merembet menjadi konflik komunal? Apakah di masing-masing desa tiada lagi tokoh-tokoh agama, pemuda dan masyarakat yang dapat memediasi setiap konflik yang terjadi agar tidak merambah pada konflik massa?, atau tiadakah aparat penegak hukum yang dengan segera dapat mencegahnya sesegera mungkin, dengan melakukan pendekatan persuasif dan juga bila perlu sekali dengan cara represif?

Berkaca dari pengalaman, konflik Ngali vs Renda dan sebagian besar konflik yang terjadi di Kabupaten Bima, Saya meyakini hampir semua konflik komunal yang terjadi di Kabupaten Bima, selalu di awali persoalan personal. Misalnya, permusuhan antara pemuda desa yang satu dengan desa yang lain. Salah satu pemuda kemudian membacok atau menganiaya pemuda desa lain, lalu pemuda yang terluka tadi melibatkan keluarga. Keluarga korban kemudian menghadang dan membacok bahkan membunuh warga yang desa yang sama dengan pelaku tadi. Akibat dari sikap keluarga korban pertama yang membabi buta kemudian memancing kemarahan warga desa lain (lawan), dan terjadilah konflik terbuka yang melibatkan seluruh warga.

Sebenarnya berbagai konflik-konflik yang terjadi tersebut dapat dengan segera diantisipasi. Bila saja, ada tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa maupun tingkatannya ke atas, dan yang lebih penting aparat penegak hukum segera menangkap dan mengadili pelaku pembacokan pertama/pemicu pertama.

Masyarakat Bima sangat mudah terprovokasi, sulit di jelaskan dari satu sudut pandang kenapa semua itu bisa terjadi dengan mudah. Teori konflik sosial menjelaskan, konflik itu bisa terjadi karena di picu oleh banyak hal, mulai dari tingkat pendidikan, ekonomi-kesejahteraan, sosial-budaya, politik dan penegakan hukum.

Saya melihat  mudahnya konflik pribadi beralih dengan mudah menjadi konflik komunal, di sebabkan oleh kondisi masyarakat yang sedang mengalami masa transisi dan juga remuknya pranata sosial. Setelah kejatuhan orde baru yang sangat otoritarian proteksionis lewat kekuasaan militer pada waktu itu, hadirnya reformasi membuat orang Bima mengekspresikan kebebasan itu dengan tidak mengindahkan pranata-pranata hukum.

"Bima Membara" Dari Sisi Persoalan dan Tawaran Solusi - Kabar Harian Bima
Lokasi perang antara Desa Samili dan Desa Dadibou, Kamis, 18/10/2012. Foto: Agus

Pada saat yang sama pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa-desa tidak lagi manjur dan di dengarkan setiap nasihat dan ucapannya. Aparat penegak hukum seperti kepolisian belum sepenuhnya matang dan profesional dalam melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Diperparah pula, citra buruk aparat penegak hukum di tengah masyarakat, yang akhirnya melahirkan ketidakpercayaan pada kredibilitas lembaga tersebut.

Masyarakat kemudian membuat asumsi bahwa menyelesaikan permasalahan pada lembaga hukum, justru sangat lamban, dan tidak memuaskan. Akhirnya. mereka mengambil jalan dengan main hakim sendiri yang melibatkan massa dalam frame ‘pengadilan jalanan’. Tak jarang kita mendengar massa yang membakar hidup-hidup pelaku, yang akhirnya perang antara kampung menjadi tontonan gratis.

Terlepas dari alasan masyarakat yang sedang mengalami masa transisi dan hancurnya pranata sosial terutama di tingkatan desa, maka aparat penegak hukum harus mengambil langkah dan tindakan yang nyata sebagi bukti masih adanya fungsi negara, mulai dari solusi jangka pendek sampai jangka panjang.

Solusi

Solusi jangka pendek yang bisa ditawarkan ialah aparat kepolisian harus menggalang koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait. Mulai dari tokoh masyarakat, korban, pemerintah daerah, dan ormas keagamaan. Koordinasi dilakukan untuk menangkap dan mengadili pemicu dan pelaku tanpa memandang kedudukan (law inforcement). Kemudian kalau tidak mau berhenti juga, maka biarkan saja mereka berkonflik sampai mereka sendiri tidak suka lagi atau jenuh, bila perlu para dalang konflik di tembak di tempat (tidak sampai mati). Dengan cara demikian mereka sendiri akan mengalami trauma dan berpikir berulang kali bila ingin melakukan perang di kemudian hari. Karena memang, konflik tidak selalu berdimensi negatif, namun bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342).

Solusi jangka panjang adalah, aparat penegak hukum harus lebih antisipatif, penegak hukum harus memperbaiki citranya, menjauhkan institusi itu dari miras, pemerasan, berkaloborasi dengan gembong penjahat, serta tidak bersikap diskriminatif, harus selalu menjunjung keadilan (justice for all). Ini demi tegaknya negara hukum (rule of law) di samping pemerintah daerah harus punya komitmen politik untuk tetap memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat dan juga ormas-ormas yang ada.

Masyarakat harus terus di beri bimbingan rohani lewat ormas dan tokoh masyarakat setempat. Pemerintah juga harus menyiapkan sarana umum seperti lapangan olah raga dan tempat ekspresi massa lainnya yang bernilai positif. Tanpa itu semua, omong kosong kesadaran hukum masyarakat dapat tercapai.

Selain itu pemerintah juga harus terus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemeberdayaan, pendidikan, dan pendekatan-pendekatan kesejahteraan yang jauh dari kepentingan ‘politis’ dan meraup kepentingan pribadi yang berpotensi melahirkan kecemburuan sosial.

*Penulis adalah  Aktivis Pemuda Muhammadiyah Bima, dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.