Opini

Seni dan Pendidikan (Bagian I)

553
×

Seni dan Pendidikan (Bagian I)

Sebarkan artikel ini
Oleh : Apen MAKESE

Di dalam seni
Semua orang adalah setara
Tidak ada hirarki

Opini, Kahaba,- Berbicara soal seni dan pendidikan sama seperti berbicara soal ayam dan telur. Karena merupakan hal yang sangat ambivalen jika kita menilik masing-masing secara spesifik dari kesaling-terkaitannya. Keterpisahan dari keduanya merupakan kemusykilan yang menghabiskan dimensi-energi antara isi dan juga bentuk dari sesuatu yang hidup. Lalu bagaimanakah seni dalam pendidikan itu sendiri dapat bercampur? Atau, adakah motif pendidikan yang terberi dari kreasi seni yang menyatu?

Seni dan Pendidikan (Bagian I) - Kabar Harian Bima
Seni dan Pendidikan (Bagian I) - Kabar Harian Bima
Apen Makese

Ada banyak hal yang harus dikupas-tuntaskan, salah satunya adalah keragaman budaya Indonesia yang menyebabkan kita mempunyai berbagai ragam bentuk karya seni yang tercipta dari perspektif primordial kita masing-masing, yang jarang dimiliki bangsa lain. Namun, kita tidak dapat mengesampingkan pembicaraan seni sebagai salah satu faktor pengubah zaman. Untuk itulah kita harus mewadahi berbagai seni menjadi satu pendidikan dengan tujuan mengkaji tiap-tiap jenis dan bentuk seni di Indonesia.

Untuk hal ini penulis perlu melihat peta sejarah dan kronologis arti kata seni yang dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekinian yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman.

Memang dahulu belum ada pembedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi tentang bagaimana mengekspresikan keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian itu ternyata tidak hanya terdapat di India dan Indonesia saja, juga terdapat di Barat pada masa lampau. Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Maka kiranya artista dapat dipersamakan dengan cilpa.

Ars inilah yang kemudian berkembang menjadi l’arte (Italia), l’art (Perancis), elarte (Spanyol), dan art (Inggris), dan bersamaan dengan itu isinya-pun berkembangan sedikit demi sedikit ke arah pengertiannya yang sekarang. Tetapi di Eropa ada juga istilah-istilah yang lain, orang Jerman menyebut seni dengan die Kunst dan orang Belanda dengan Kunst, yang berasal dari akar kata yang lain walaupun dengan pengertian yang sama. Bahasa Jerman juga mengenal istilah die Art, yang berarti cara, jalan, atau modus, yang juga dapat dikembalikan kepada asal mula pengertian dan kegiatan seni, namun demikian die Kunst-lah yang diangkat untuk istilah kegiatan itu. Yunani yang dipandang sebagai sumber kebudayaan Eropa walaupun sejak awal sejarahnya sudah mengenal filsafat dan juga filsafat seni, ternyata tidak juga memiliki kata yang dapat disejajarkan dengan pengertian kita sekarang tentang seni.

Jauh dari masa lalu sejarah, kata, pengertian tentang seni. Saat ini, seni dan pendidikan jika dimasukan ke dalam sistem nilai yang mampu mewarnai dinamika kehidupan yang mendasar, maka seni dan pendidikan harus dipandang sebagai kegiatan memperoleh dan menyampaikan pengetahuan, sehingga memungkinkan transmisi kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Konsep ini mengangkat derajat manusia sebagai makhluk budaya yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai kebudayaannya.

Hal ini menekankan betapa peranan seni dan pendidikan sebagai ilmu pengetahuan untuk membina sikap mental manusia, dan dapat dijadikan postulat umum dalam menumbuh-kembangkan pendidikan seni atau kebebasan seni itu sendiri, yang tidak melulu tersimpul kegiatan indoktrinasi yang secara praktis menanamkan atau mengindoktrinasikan nilai atau norma-norma tertentu. Karena pada hakikat pendidikan relatif ditentukan oleh konsep tentang sifat dan hakekat manusia itu sendiri, baik secara psikologis, kekuatan, bakat, kemampuan dan minat kepentingannya. Sehingga F. Mortimer J. Adler melihat pendidikan (dan seni, pen) sebagai satu proses yang utuh, di mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.

Namun, persoalan seni dan pendidikan memang menjadi problematika bangsa Indonesia sampai kapan pun. Problematika tersebut, tampak dari masalah visi pendidikan nasional sampai kurikulum. Dari problematika tujuan pendidikan untuk ‘pendewasaan manusia’ sampai kepada pendidikan yang mampu meningkatkan derajat terdidiknya anak bangsa. Tidak kalah pentingnya problematika peningkatan kesejahteraan pendidik dalam rangka profesionalisme sampai kepada peningkatan mutu pendidikan (keluasan seni) itu sendiri. Atau problematika siapa sebenarnya yang harus menanggung prosentase yang lebih besar sebagai penanggung jawab pendidikan: pemerintah, keluarga atau masyarakat? Dan beribu persoalan lainnya.

Dan harus diakui, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh logika yang mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup bersama, termasuk seni dan pendidikan pun diarahkan melulu pada motif untung rugi. Dengan demikian, membicarakan bentuk dan pertumbuhan seni, bukanlah satu hal yang mudah, disebabkan ragam kebudayaan etnis yang kita miliki. Karena di saat zaman mulai bergeser, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya pun akan ikut pula bergeser, termasuk seni itu sendiri. Tampaknya problematika seni dan pendidikan akan sama halnya dengan problematika hidup itu sendiri. Maka, sah-sah saja jika seni (misalnya sastra dan  film) sebagai bentuk performansi kehidupan dalam “kata dan action” mencoba membahas problematika seni-pendidikan dalam beragam sudut pandang.

Bersambung ke Seni dan Pendidikan (Bagian 2)

* Penulis adalah alumnus UIN Hidayatullah Jakarta, Pengamat sosial dan pendidikan.