Opini

Seni dan Pendidikan (Bagian II)

265
×

Seni dan Pendidikan (Bagian II)

Sebarkan artikel ini
Oleh : Apen MAKESE

Baca: Seni dan Pendidikan (Bagian I)

Opini, Kahaba,- Semua tentu amat berharap media apapun dapat diciptakan, dihadirkan dan menghadirkan hasil karya cipta seni yang bukan hanya sebagai tontonan (spectacle) namun juga sebagai tuntunan (pendidikan) yang meuntut adanya kebaikan dan kebenaran. Dari sudut pandang ini, diharapkan juga adanya kerja kreatif pelaku seni yang sudah semestinya tidak hanya bersifat project oriented, yakni demi memenuhi selera pasar dan hiburan masyarakat untuk lari dari kondisi kesulitan hidup keseharian. Karena kerja Seni merupakan kerja karya yang merefleksikan kondisi masyarakat secara jujur dan apa adanya.

Seni dan Pendidikan (Bagian II) - Kabar Harian Bima
Seni dan Pendidikan (Bagian II) - Kabar Harian Bima
Apen Makese

Jika tidak memiliki refleksi demikian, maka karya seni tidak lagi memiliki ‘ciri’ spesifik sebagai media transmisi yang dimaknai sebagai ruang pembebasan dan atau sebagai perubah kejumudan masyarakat. Mungkin pemikiran pragmatis demikian masih debatable dari sudut pandang para pekerja seni, namun bagi apresiator seperti kita kelihatannya keinginan tersebut merupakan kebutuhan yang patut terus diperjuangkan.

Meski akan sangat ironis ketika seni tidak pahami sebagai ruang yang memberikan pendidikan kepada masyarakat. Sehingga kerja karya seni dari pelaku seni akan selalu berbenturan dengan kondisi kultural-normatif dari masyarakat itu sendiri. Yang pada akhirnya anak-anak bangsa kembali mengadu nasib di hadapan televisi. Sarjana pendidikan kembali menemani teman-teman bermain kartu, senda-gurau, berkerumun di gardu-gardu tanpa tahu apa yang mesti dilakukan untuk menciptakan denyut kehidupan baru. Keadaan ini menyebabkan kita untuk terus mengupayakan, kalau tidak menciptakan satu karya seni baru yang dapat menjadi jawaban dari problematika nilai seni, pendidikan, sosial masyarakat itu sendiri. Misalnya (meski sudah berjalan), penyelenggaraan mata pelajaran pendidikan seni sebagai mata pelajaran muatan lokal menjadi salah satu upaya untuk menempatkan media pengembangan jiwa seni peserta didik agar menjadi lebih optimal.

Oleh karenannya, pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan instansi terkait dapat memasukkan program-program daerah (bidang pariwisata, seni dan budaya) sebagai materi pelajaran, seperti; kesenian tradisional daerah, objek-objek wisata budaya dan wisata alam NTB dan sebagainya. Sehingga penekanan dalam hal praktek dari setiap lembaga pendidikan formal maupun nonformal memiliki kelompok seni yang siap terjun di berbagai even yang diadakan, baik oleh lembaga sekolah maupun even lain pada umumnya.

Hal ini hendaknya mendapatkan perhatian khusus pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, karena mengingat pendidikan seni di Indonesia, sebenarnya dirasakan masih sangat kurang. Bukti adanya kekurangan itu adalah ketidakseimbangan antara pendidikan intelektual dan pendidikan estetis (pendidikan seni itu sendiri) di dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia. Inilah yang seharusnya menjadi ‘titik nadir’ kesadaran manusia bahwa seni dan pendidikan adalah satu kesatuan yang menjadi arus pengubah arah dan sistem pendidikan, politik, kepemimpinan, dan segala nilai yang membelenggu kehidupan.

Jelas, seni dan pendidikan merupakan ‘sesuatu’ yang sama sekali tidak terpisah dari kehidupan manusia. Manusia sebagai pelaku seni diciptakan dengan berbagai potensi keindahan yang mewujud di dalam dirinya sendiri oleh Tuhan. Dengan sendirinya manusia sebagai makhluk harus mampu mereduksi kemampuan intuisi dan logis, yang secara mendasar, telah menjadi kodrat bagi manusia itu sendiri. Tanpa disadari pun, seni dan pendidikan melingkupi berbagai aspek. Karena seni berkembang dengan mengikuti kodrat manusia, maka seni bukan lagi sekadar alat budaya yang memainkan peranan dalam kebudayaan. Seni sudah menjadi alat untuk menyampaikan segala ilmu-ilmu yang ada di dalam pendidikan formal maupun non formal. Hal ini karena pendidikan seni bisa memberikan sebuah pengalaman ‘rasa‘ pada manusia (peserta didik), dan pengalaman ‘rasa‘ itulah yang akan merangsang kemampuan berpikir dari manusia.

Untuk hal inilah, kita selaku manusia yang terus mendidik sekaligus menjadi peserta didik mengupayakan penyadaran terhadap seni dan pendidikan yang akan mendukung proses berkesenian suatu masyarakat agar mampu menangkap keseluruhan ilmu-ilmu yang diajarkan di tempat pendidikan yang formal atau pun tempat pendidikan yang tidak formal.

Ada tiga hal, yang sesungguhnya dapat menjadikan seni agar dipahami sebagai pendidikan: petama, Seni adalah pengalaman, pengalaman itu sendiri merupakan suatu nilai-nilai yang sifatnya universal dan menjadi sumber dalam pencarian hakikat kebenaran. Dan sepanjang hayat manusia akan tetap mencari kebenaran tersebut hingga kebenaran itu bisa memunculkan satu hubungan yang indah antara manusia dengan manusia lainnya; kedua, Seni adalah penciptaan, tidak mudah untuk menciptakan sesuatu. Tapi manusia di desain untuk mencipta, karena seni dan pendidikan selalu menggali potensi dan mengeksplorasi kemampuan untuk mencipta sesuatu. Dan ini ditunjang dengan pengalaman hingga daya cipta manusia menjadi kaya akan nilai keindahan dan dinamis; ketiga, Seni adalah media aktualisasi diri, Untuk selanjutnya seni masuk kepada suatu pendidikan. Di mana bagi setiap peserta didik seni itu sebagai wadah eksistensi dirinya, menjadi refleksi dari hasil yang diciptakannya. Seni dan pendidikan merupakan satu fondasi bagi pendidikan intelektual yang terus berubah dan secara tidak langsung menjadi beban untuk segala jenis perubahan era. Karena seni atau pendidikan seni akan bisa menyesuaikan diri sekaligus mewarnai perubahan tersebut.

Ke-tiga hal di atas, akan membantu masyarakat untuk lebih responsif dan interaktif dalam memaknai dinamikan kehidupannya. Disamping, seni dapat menjadi sumber kebahagiaan, yang dapat mencerahkan hidup diri terkait maupun sekitarnya. Lebih dari itu, elemen yang mampu menciptakan rasa kebahagiaan ini dapat membantu masyarakat untuk menapaki problematika pelik mereka tanpa dipengaruhi prasangka dan kecemasan yang berlebihan. Seperti yang telah banyak dipraktekkan oleh para seniman Islam dan Barat seperti di Iran, Spanyol, Russia, Parancis, Inggris, Yunani, Jerman, dan Negara lainnya.

Selain itu, seni juga dapat memberikan rasa nikmat dan kebahagiaan bagi proses kritis terhadap ketidakadilan, memberikan sebentuk dialog yang atraktif, bertahan lama, dengan problem masyarakat serta kekejaman dimasa lalu, kini, dan esok. Seni mampu membuat manusia menjadi “longgar” di dalam berhadapan dengan problematika hidupnya. Begitu pula dengan masyarakat, yang akan menjadi dingin dan lebih “longgar”, ketika berhadapan dengan problematika kolektif mereka yang pelik, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan.

Dalam pada itu, akan lebih bagus jika pendidikan seni bukan semata menjadi pengkajian tanpa berbuat sesuatu. Kita perlu memiliki suatu pembinaan agar seni dan pendidikan; tradisional dan modern bisa sama-sama berkembang di era zaman yang terus berubah-ubah. Pendidikan dimensi-dimensi lain seperti rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga masyarakat, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”. Dan, yang terpenting adalah, kemampuan untuk merasa simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.

Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita untuk dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Sebab proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan publik di negara-negara (negara-kota) Yunani Kuno, seperti Athena, sekaligus juga merupakan elemen kunci bagi demokrasi Yunani Kuno pada zaman dulu.

Namun yang menarik, bentuk kesenian kontemporer telah banyak berubah, baik secara kebendaan atau dari segi kajian estetiknya, yang lebih menyeramkan lagi adalah perubahan landasan logika yang menjadi pijakannya. Saya sedikit memberi ilustrasi : Aturan-aturan seni yang memegang teguh kehalusan-batin dan bagaimana epistem, aksio, dan ontologi karya cipta, oleh zaman ini hal itu seolah-olah dimusnahkan, yang dulunya karya seni menyenangkan, ada pertimbangkan etika sosial, agama, budaya dan atau etika-etika lain.

Saat ini, kesemuanya menjadi aturan usang/baru. Memang permasalahannya ada pada cara pandang, terjemahan, atau pemaknaan. Jika demikian, apa perlunya UU pornografi dan pornoaksi? Mungkin untuk membatasi ekspresi seni, pelaku seni atau membebaskan seni dari kejumudan karya seni dan pelaku seni itu sendiri? Kita kembalikan saja pada nurani masing-masing pelaku seni dan karya cipta seni. Mungkin kondisi ini terjadi karena seni dan seniman sudah berada pada titik jenuh dan marah terhadap pembelengguan ekspresi seni. Marah dan jenuh pada siapa? Pada lingkungan, pada perlakuan pasar, pada kapital, pada monopoli orang-orang tertentu, pada politik, pemimpin, agama, budaya, masyarakat, atau nilai seni itu sendiri?. Meminjam kata Adi Wicaksono, bahwa karya seni sebelum dinilai adalah nol, lebih dari itu adalah makna, ide, representasi, rekreasi, acuan etik, dokumentasi politik dan sejarah, perlawanan, luka, kekecawaan, paradigma, atau sekedar main-main belaka, dan lain-lain.

Pada akhirnya, setiap kebudayaan memiliki titik lemahnya sendiri di dalam memandang keberagaman, yakni eksistensi kelompok, baik di dalam ataupun diluar kebudayaan tersebut, yang dipandang rendah, dan diperlakukan secara diskriminatif. Pendidikan kemanusiaan yang baik akan memilih cara mendidik yang mampu membangun pemikiran kritis terhadap kejanggalan semacam ini, dan memberikan perspektif menyeluruh yang mungkin sebelumnya tidak terlihat. Maka seni (sastra) dan pendidikan harus hadir sebagai bentuk keperdulian terhadap kondisi sekelilingnya. Ia muncul tidak dalam kekosongan budaya, begitu istilah kritikus.

Seni dan pendidikan sebagai sebuah hasil estetika- imajinatif,  ungkapan-ungkapan karya seni merupakan paduan antara sejarah, situasi lingkungan masyarakat, dan kondisi kejiwaan yang unik dari pelaku seni. Dalam hal ini, seorang seniman, dengan kemampuan pengalaman kerohaniannya akan mampu mengekspresikan ketiga unsur yang dipadu dengan olahan bahasa yang indah. Sehingga pelaku seni mampu membuat sejarahnya sendiri, meluaskan cakrawala berkehidupan bagi lingkungan masyarakatnya, sekaligus mampu mengkristalkan jiwa kenabian pada dirinya. Maka,  karya seni menjadi karya sastra yang besar, yang tidak lagi bicara soal diri sendiri, melainkan soal manusia dan kemanusiaan. Mengutip puisi pembebasan dari Iqbal “Hidupkan gairahmu dalam hati panas cerah/Jadikan abumu membesar tugu kenangan/Gairah ialah roh dunia ini dari rona dan wewangian/”. Bagi Iqbal gairah adalah roh kehidupan (elan vital). Gairah sebagai wajah kehidupan yang memiliki kemampuan menebarkan kemaslahatan bagi sekelilingnya seperti bau wewangian. Tanpa gairah hakikatnya seseorang telah mati sebelum meninggal.

Demikian.
Wallahu’alam.

* Penulis adalah alumnus UIN Hidayatullah Jakarta, Pengamat sosial dan pendidikan.
Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…