Kabar Bima

DPRD: Aroma Rekayasa Dibalik Penerbitan IUP PT. PUI

255
×

DPRD: Aroma Rekayasa Dibalik Penerbitan IUP PT. PUI

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Hasil penelusuran lembaga DPRD Kota Bima terhadap terbitnya Ijin Usaha Produksi (IUP) Pertambangan Marmer di Kelurahan Oi Fo’o yang dikeluarkan Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin kepada PT. Pasific Union Indonesia (PT. PUI) tahun 2011 lalu, ternyata tanpa tembusan ke Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bahkan, status PT. PUI kembali dipertanyakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bima, apa termasuk dalam Penanaman Modal Asing (PMA) atau berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)?

DPRD: Aroma Rekayasa Dibalik Penerbitan IUP PT. PUI - Kabar Harian BimaPotret Gunung Marmer

Ketua komisi A DPRD Kota Bima, Sudirman DJ, SH kepada Kahaba, Senin (30/4), mengaku, bahwa dari hasil penelusuran pihaknya diketahui PT. PUI yang akan mengelola tambang batu marmer di Kelurahan Oi Fo’o masih tidak jelas syarat-syarat dokumen perijinannya. “PT. PUI itu belum terpenuhi semua syarat administrasinya, bahkan status perusahaan tersebut masih dipertanyakan,” pungkasnya

DPRD: Aroma Rekayasa Dibalik Penerbitan IUP PT. PUI - Kabar Harian Bima

Duta PKPB Kota Bima itu menerangkan, berdasarkan keterangan manajemen PT. PUI dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bima bahwa status PT. PUI saat ini sudah berubah dari PMA menjadi PMDN. Namun, berdasarkan informasi dari kantor Badan Penanaman Modal (BPM) Pusat di Kakarta, PT. PUI masih berstatus PMA dan kami menduga telah terjadi kebohongan publik yang dilakukan pihak perusahaan dan pejabat Pemerintah Kota Bima saat ini.

Menurut Sudirman atau yang akrab di sapa DJ, jika status perusahaan ini saja tidak jelas, ia meragukan pengelolaan pertambangan akan dilakukan dengan baik apalagi mampu memberikan kontribusi yang ideal bagi rakyat dan daerah ini.  Ia mengkhawatirkan, jika sedari awal tidak ada niat dan transparansi serta selalu dibungkus dalam ‘kebohongan’, maka jangan diharap kesejahteraan dapat dirasakan dari produksi batu marmer di kelurahan Oi Fo’o. “Intinya, pihak DPRD sepakat hadirnya berbagai bentuk investasi yang sehat, tetapi harus ada transparansi dari pemerintah dan pihak investor. Sejak awalpun semestinya jangan ada tirai antara eksekutif dan legislatif. Sehingga, jika ada kesalahan di kemudian hari, lembaga DPRD tidak ikut terseret dan dipersalahkan, tapi kita bisa mencari solusi yang terbaik,” jelasnya.

Jika dalam kondisi yang belum jelas terhadap posisi PT. PUI, Lanjut DJ, pihak DPRD tidak akan mau terlibat bila terjadi resintensi ataupun caos dan protes dari rakyat. Karena memang, dewan sudah mengingatkan dari awal kepada pemerintah untuk memperjelas status perusahaan tersebut. “Semestinya, dari awal pemerintah mempertegas berbagai syarat yang menjadi hak serta kewajiban PT. PUI kepada masyarakat dan pemerintah,” imbuhnya.

Menanggapi masalah penderitaan yang dialami eks warga relokasi tambang marmer dan akan mengancam untuk kembali menduduki areal pemukiman di lokasi tambang, Dosen di STIH Muhammadiyah Bima ini menanggapi hal tersebut wajar-wajar saja, sebab rakyat setelah setahun mendiami lingkungan relokasi, tapi, jaminan kesejahteraan sebagaimana yang menjadi komitmen awal pemerintah kepada warga belum juga terwujud. “Reaksi itu wajar, karena memang pemerintah dan perusahaan selalu mengumbar janji dan angin ‘syurga’ kepada masyarakat. Namun, realitas di lapangan sederet janji ibarat mimpi di siang bolong,” sindirnya.

Dengan intonasi yang menegaskan, DJ, yang sebelum menjadi anggota DPRD berprofesi sebagai Penasehat Hukum ini pun mengharapkan agar Walikota meninjau kembali IUP yang telah diterbitkannya, karena  masih ada kurang lebih 40 item syarat yang harus dan wajib dipenuhi PT. PUI. “Sampai saat ini, dokumen-dokumen dan syarat kualifikasi PT. PUI itu tidak jelas dan diduga hasil rekayasa belaka,” tudingnya.

Senada dengan DJ, duta PAN Kota Bima, A. Latif ikut memberikan penjelasan, bahwa ia mengakui pernah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemkot Bima untuk menunda proses relokasi sebelum semua sarana dan prasarana maupun fasilitas yang layak bagi masyarakat itu dilengkapi terlebih dahulu. Tetapi,  yang terjadi terkesan dipaksakan untuk melakukan upaya relokasi. Menurut Latif, dulu mungkin saja masyarakat mau pindah, lantaran ada biaya kompensasi pemindahan dan sederet janji jaminan kesejahteraan di lokasi kehidupannya yang baru. Namun, faktanya saai ini, air bersih saja sangat susah didapat 80 KK esk lokasi tambang. “Kondisi ini harus disikapi secara serius oleh kita bersama, jangan biarkan penderitaan rakyat yang kemudian membludak menjadi aksi protes dan melahirkan instabilitas di Kota Bima yang kita cintai ini. Terutama pemerintah jangan berdiam diri, harus jeli melihat situasi, dampak dan perkembangan sosial akibat kehadiran tambang marmer ini,” jelasnya. [BS]