Kabar Bima

Sengketa Tanah, Keluarga Istana Bima Menggugat

353
×

Sengketa Tanah, Keluarga Istana Bima Menggugat

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Tidak ingin tanah warisan dikuasai orang yang tidak memiliki garis keturunan, pihak Istana Bima menggugat secara pidana dan perdata Syaiful Bahri, pria yang kini menguasai tanah tersebut. Syaiful kini pun sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi.

Dian Maulidia didampingi tim Advokasi Sudirman, SH. menunjukan surat dari Polisi. Foto: Bin
Dian Maulidia didampingi tim Advokasi Sudirman, SH. menunjukan surat dari Polisi. Foto: Bin

Cucu Sultan Muhammad Salahuddin Bima, Dian Maulidia, Senin (20/4) menggelar konferensi pers di Museum ASI Bima dan menceritakan duduk persoalannya. Ia pun memulai menyebutkan sejumlah tanah yang menjadi obyek sengketa.

Sengketa Tanah, Keluarga Istana Bima Menggugat - Kabar Harian Bima

Seperti, tanah di Kelurahan Penatoi, tepatnya sebelah timur SPBU seluas 5,44 Ha, milik pribadi orang tua perempuan H. Siti Halimah Binti Sultan M. Salahudin. Kemudian tanah di Lingkungan Tolotando, Kelurahan Matakando seluas 2,7 Ha, yang merupakan milik Sultan Muhammad Salahuddin Bima.

Lalu, tanah di Pertokoan Bima dengan luas sekitar 6 are. Tanah di Kecamatan Palibelo seluas 2,2 Ha, dan di Kelurahan Sambinae 36 are. “Tanah-tanah ini sudah dikuasai orang – orang yang berada di luar Kesultanan Bima. Padahal kami memiliki sejumlah bukti, berupa surat putih dan SPPT,” ujar anaknya Ruma Emi ini.

Dian menceritakan, dulu anak anak Sultan Muhammad Salahuddin banyak berada diluar daerah. Sementara banyak aset yang dipercayakan ke orang lain untuk diurus dan dijaga. Kemudian dimintalah kepada adik Sultan, Ruma H. Abdullah Bin Sultan Ibrahim untuk menjaga aset dimaksud.

“Ruma H. Abdullah memiliki seorang istri, Ico. Sementara Ico merupakan warga biasa dan bukan keturunan Kesultanan. Di sekitar kehidupan Ico juga memiliki saudara masing-masing Jafar Abdullah, Ismail Abdullah, Amin Abdullah. Dari tiga orang itu, Amin Abdullah yang masih hidup,” sebutnya.

Dikemudian hari, lanjutnya, Ruma H. Abdullah meninggal dunia, sejumlah aset tanah akhirnya diklaim oleh tiga orang iparnya (Jafar Abdullah, Ismail Abdullah, Amin Abdullah) dan mengaku tanah itu milik Ruma H. Abdullah, bukan tanah milik Sultan Muhammad Salahuddin.

“Sementara waktu itu Ruma H. Abdullah memiliki seorang putra yang bernama Ismail, tapi meninggal saat remaja. Pada saat Ruma H. Abdullah dan anaknya meninggal, aset kemudian dipegang oleh ico dan diklaim oleh iparnya,” jelasnya.

Setelah sejumlah tanah itu dikuasai, sambungnya, timbul masalah pertama. Muncul seorang yang bernama Ompu Ngara, mengaku memiliki garis keturunan dengan kesultanan dan mengklaim tanah tersebut. “Ributlah antara Ompu Ngara dengan Jafar Abdullah, Ismail Abdullah, Amin Abdullah. Akhirnya, perkara sekitar Tahun 1990-an itu dimenangkan Ompu Ngara,” kata perempuan berkacamata itu.

Dikemudian hari, Jafar Abdullah, Ismail Abdullah, Amin Abdullah menggugat kembali. Anehnya, perkara sekitar Tahun 2000 itu justeru dimenangkan Jafar Abdullah dan saudaranya.

“Ini kan jelas ada permainan di Pengadilan. Ko’ bisa perkara yang sudah dieksekusi dalam obyek dan subyek yang sama, kemudian dimenangkan kembali oleh orang yang sebelumnya kalah. Ompu Ngara pun kemudian dituntut secara pidana,” terangnya.

Kata dia, untuk sementara tanah itu menjadi milik Jafar Abdullah dan saudaranya. Berdasarkan putusan pengadilan Tahun 2000. Namun yang membuatnya heran, tanah yang menjadi sengketa justeru baru dieksekusi Tahun kemarin. “Ada apa ini, kenapa tidak dieksekusi dari Tahun 2000 itu,” sorotnya.

Singkat cerita, tanah sengketa dimaksud kini masih dikuasai oleh Syaiful Bahri, yang merupakan keponakan Jafar Abdullah. Karena merasa tanah itu bukan milik Jafar Abdullah dan saudaranya serta Syaiful Bahri, maka Dian mewakili keluarga Kesultanan menggugat Syaiful Bahri.

“Upaya kita selaku ahli waris dan keturunan dari Sultan Muhammad Salahuddin yang sah telah menuntut dan menggugat secara pidana dan perdata kepada pihak yang menguasai tanah itu atau Saiful Bahri,” tuturnya.

Pihaknya pun telah melaporkan ke Polres Bima Kota Tertanggal 25 Maret 2015, dan polisi sudah mengeluarkan surat panggilan kepada Syaiful Bahri untuk menghadiri panggilan Senin 20 April 2015. “Syaiful Bahri kini sudah ditetapkan sebagai tersangka karena memalsukan surat – surat,” tambah Dian yang saat itu juga didampingi Tim Advokasi perkara itu yang juga Ketua API, Sudirman, SH.

Sementara itu, Syaiful Bahri yang ditemui di rumahnya di Kelurahan Pane mengakui jika dirinya sudah menerima surat panggilan polisi hari jumat sore pekan lalu. Tapi dirinya belum bisa memenuhi panggilan polisi, karena masih berhalangan hadir. “Saya menunggu panggilan kedua dan akan menghadiri panggilan polisi,” ucapnya.

Soal cerita Dian, Syaiful enggan berkomentar banyak. Karena dirinya juga mengaku masih bingung dengan sangkaan yang dialamatkan padanya, tentang pemalsuan surat – surat.

“Mereka bisa saja bercerita, itu versi mereka. Karena perkara ini juga membuat saya bingung, ini perkara yang mana,” tanyanya.

Menurut Syaiful, orang – orang di istana itu bukan penggugat baru, tapi memberikan perlawanan agar ada penundaan putusan eksekusi tanah, pada tahun 2004.

“Intinya begini saja, sebagai warga yang taat hukum, kita menyerahkan sepenuhnya ke polisi. Mana cerita yang sebenarnya,” tambah Syaiful.

*Bin