Kabar Bima

Blokir Jalan Jadi Tren, Apa yang Salah dengan Bima?

379
×

Blokir Jalan Jadi Tren, Apa yang Salah dengan Bima?

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Belakangan publik di Kabupaten Bima kembali disuguhkan dengan berbagai peristiwa kekerasan di sejumlah tempat. Imbas dari peristiwa kekerasan yang terjadi, masyarakat kerap kali memilih blokir jalan sebagai bentuk ekspresi menyampaikan aspirasi. Apa yang salah dengan daerah Bima saat ini?

Blokir Jalan Jadi Tren, Apa yang Salah dengan Bima? - Kabar Harian Bima
Direktur Rumah Cita, Muhamad Yunus. Foto: Ady

Direktur Rumah Cita Bima, Muhammad Yunus berpandangan, kultur kekerasan di Bima telah mengakar akibat kerusakan aspek pranata adat dan pranata sosial. Sehingga implikasinya kesulitan mendapatkan teladan di tengah masyarakat. Baik tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat maupun tokoh pemuda.

Blokir Jalan Jadi Tren, Apa yang Salah dengan Bima? - Kabar Harian Bima

“Masyarakat juga kerap melakukan demoralisasi terhadap keberadaan tokoh, sehingga kita nyaris tidak menemukan tokoh yang kita dengarkan petuahnya dan bisa meredam situasi konflik yang terjadi di tengah masyarakat,” kata Yunus, Rabu (15/11) pagi.

Menurut Pemerhati Sosial dan Konflik ini, ada penyempitan makna tokoh di tengah masyarakat saat ini. Orang disebut tokoh indikatornya hanya dua, memiliki uang dan punya kekuasaan secara politik. Artinya yang bersangkutan punya penguasaan terhadap sumber daya ekonomi dan segmentasi politik.

“Ketika hilang kekuasaan dan kekuatan ekonominya, maka hilang juga ketokohannya. Jadi semacam tokoh fiktif,” nilainya.

Dimana posisi tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda? Yunus tidak menemukan ada tempat lagi bagi mereka dalam hati, pikiran dan sikap tindakan sosial masyarakat. Terbukti dengan rentetan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di Bima belakangan ini.

Ia juga melihat ada ada siklus kekerasan yang mirip antar peristiwa yang terjadi. Misalnya, ketika terjadi blokir jalan di Renda dan Wera. Jenis konfliknya hampir sama yakni konflik kekerasan, dipicu kasus penganiayaan. Kemudian ada informasi pelaku dilepas, masyarakat bereaksi memblokade jalan, Kepolisian turun negosiasi.

Ketika negosiasi belum ada titik temu, lama-lama personil Kepolisian makin banyak yang turun dan dilakukan negosiasi kembali. Kemudian memastikan pelaku sudah ditangkap. Akhirnya dibersihkan blokade jalan oleh warga dibantu aparat. Siklus yang hampir sama juga terjadi di tempat lain, seperti di Desa Tambe, Desa Lewintana dan Desa Rada serta beberapa tempat lain sebelumnya.

“Biasanya setelah ekskalasi massa besar baru ditangani secara cepat. Saya menduga, jangan-jangan ini ada desain. Kok sejumlah peristiwa mirip. Apakah ini bagian dari imitasi publik,” ujarnya.

Bisa jadi karena publik membaca dari media sosial, lalu meniru itu dalam sikap mereka di kampung masing-masing. Maka mestinya dari rentetan kasus yang terjadi bisa terbaca oleh aparat dan pemerintah daerah bagaimana pola penanganan yang tepat dalam menyelesaikan peristiwa tersebut.

Disisi lain lanjut dia, ada semacam distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap aparat penegak hukum. Sehingga publik pun mengeskpresikan aspirasi dalam bentuk “pembangkangan” terhadap insitusi penegak hukum. Melalui peristiwa blokade jalan ataupun main hakim sendiri.

Dari tren negatif yang terjadi menurutnya, saat ini daerah Bima butuh orang-orang sadar yang ikut bersinergi dalam rangka berbagi pesan perdamaian kapanpun dan dimanapun berada. Terutama sekali dalam menepis stigma negatif tentang daerah Bima ditengah gejolak sosial yang muncul.

“Kedua, perlu ada langkah serius yang harus dilakukan bukan hanya di level elit, tetapi juga di akar rumput. Bersinergi antara pendekatan bottom updan top down sehingga ada keselarasan peran semua pihak,” pungkasnya.

*Kahaba-03