NasionalKabar Bima

FSGI Kritisi Tata Kelola Guru Pasca Pengalihan Guru SMA SMK ke Pemprov

364
×

FSGI Kritisi Tata Kelola Guru Pasca Pengalihan Guru SMA SMK ke Pemprov

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Dalam rangka Hari guru Nasional (HGN), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menggelar pertemuan nasional dan Kongres Luar Biasa ke-IV, 23-25 November 2017 di Jakarta.

FSGI Kritisi Tata Kelola Guru Pasca Pengalihan Guru SMA SMK ke Pemprov - Kabar Harian Bima
Pertemuan Nasional dan Kongres Luar Biasa FSGI ke-IV. Foto: Dok FSGI

Pertemuan itu dihadiri puluhan organisasi Serikat Guru Indonesia (SGI) yang bernaung di bawah FSGI dari berbagai daerah di Indonesia. Pada pertemuan tersebut, FSGI memberikan refleksi dan catatan korektif dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional.

FSGI Kritisi Tata Kelola Guru Pasca Pengalihan Guru SMA SMK ke Pemprov - Kabar Harian Bima

Presidium FSGI Fahmi Hatib yang juga guru di Kabupaten Bima mengkritisi sedikitnya ada 5 masalah pokok tentang tata pengelolaan guru yang dipotret selama ini di Indonesia. Khususnya terkait perpindahan kewenangan pengelolaan SMA, SMK dari pemerintah kota atau kabupaten ke pemerintah provinsi (Pemprov).

Pertama, peralihan kewenangan pengelolaan SMA, SMK dari pemerintah kota dan kabupaten ke pemerintah provinsi berakibat khususnya kepada nasib guru honorer. Para guru honorer tidak mendapatkan kepastian terkait hak-hak dan kesejahteraan mereka, khususnya terkait sistem penggajian. Seperti yang terjadi SMAN 9 kota Bengkulu.

Kedua, para kepala sekolah juga belum kunjung mendapatkan SK dari Gubernur. Contoh kasus, hal ini terjadi di Sumatera Utara dan NTB. Sehingga para kepala sekolah juga tidak berani mengambil keputusan-keputusan strategis.

“Tanpa SK, Kepsek juga rawan diganti secara sewenang-wenang,” ujarnya saat menyampaikan rilis kepada media ini.

Kemudian sambungnya, di beberapa provinsi ada surat edaran gubernur yang isinya memberikan kesempatan kepada sekolah dan Komite Sekolah untuk menarik iuran atau SPP kepada orang tua peserta didik. Dengan alasan bahwa uang tersebut digunakan untuk menggaji para guru honorer, yang penggajiannya tidak terpenuhi melalui 15 persen alokasi dana BOS.

“Selama ini, para kepala daerah provinsi cenderung beralasan SK pengangkatann guru honorer tersebut bukan oleh gubernur melainkan oleh kepala sekolah,” katanya.

Pada umumnya, kasus-kasus seperti ini setiap provinsi tidak memiliki kebijakan yang seragam karena otonomi daerah, contoh kasus di Batam, Indramayu dan NTB. Tentu pungutan-pungutan serupa ini akan menambah beban bagi orang tua peserta didik. Padahal dalam UUD 1945 sudah semestinya negara yang menanggung pembiayaan pendidikan tersebut.

Keempat kata dia, untuk program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bagi para guru yang mensyaratkan kelulusan bagi para guru peserta PLPG dengan nilai minimum 80. Kebijakan ini dirasakan sangat memberatkan para guru.

“Sebab berkaca kepada hasil nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional pun raihan perolehan nilainya juga sangat rendah antara 40-50,” ungkapnya.

Selain itu, fenomena pelibatan dan mobilisasi guru (termasuk kepala sekolah) untuk kepentingan politik Pilkada di daerah. Memasuki tahun-tahun politik ke depan guru mesti profesional dalam bertugas dan jangan mau dimobilisasi untuk politik praktis.

Oleh karena itu FSGI memandang perlu memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk menjawab 5 persoalan pokok guru seperti mendorong KemenPAN-RB untuk segera menyetuji sekitar 250 guru dengan sistem pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) yang diusulkan oleh Kemdikbud.

Mendesak para gubernur seluruh Indonesia untuk segera membuat SK pengangkatan Kepsek SMAN dan SMKN sehingga bisa menjalankan tugasnya. Lalu, dalam rangka memenuhi wajib belajar 12 tahun, maka sudah semestinya disertai tanggungjawab negara dalam membiayai pendidikan, seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Sehingga tidak terjadi pungutan-pungutan yang membebani orang tua.

FSGI juga mendesak Gubernur seluruh Indonesia untuk segera membayar gaji guru honorer daerah yang tertunda. Agar para guru memeroleh hak-haknya.

“Tidak hanya itu, syarat nilai kelulusan PLPG sebaiknya lebih realistis sesuai dengan kemampuan guru secara nasional. Kemudian, untuk rekrutmen kepala sekolah mesti transparan dan akuntabel dengan model lelang jabatan dengan sistem terbuka,” bebernya.

*Kahaba-01