Kabar Bima

Seminar Jejak Sang Bima dan Majapahit, Pendapat Sejarawan UI Dinilai Hipotesis Yang Spekulatif 

362
×

Seminar Jejak Sang Bima dan Majapahit, Pendapat Sejarawan UI Dinilai Hipotesis Yang Spekulatif 

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Pandangan dan pemaparan Sejarawan UI Agus Aris Munandar saat seminar nasional Jejak Sang Bima dan Majapahit di Museum ASI Mbojo, Kamis (25/1) mendapat tanggapan dan sanggahan dari pemerhati sejarah Bima. (Baca. Agus: Setelah Penaklukan Dompu, Majapahit Mendirikan Bima)

Seminar Jejak Sang Bima dan Majapahit, Pendapat Sejarawan UI Dinilai Hipotesis Yang Spekulatif  - Kabar Harian Bima
Seminar Nasional Jejak Sang Bima dan Majapahit. Foto: Yadien

Pria yang bergelar profesor itu menyimpulkan bahwa Gajah Mada sebagai pendiri kerajaan Bima dan Gajah Mada mengidentikan dirinya dengan salah satu dari pandawa lima. Namun pandangannya tersebut dinilai sebagai hipotesis spekulatif dan sangat kental dengan nuansa Jawa sentris. (Baca. Peneliti UI Ungkap Pengalaman Unik Tentang Naskah Kuno Bima)

Seminar Jejak Sang Bima dan Majapahit, Pendapat Sejarawan UI Dinilai Hipotesis Yang Spekulatif  - Kabar Harian Bima

Hal itu dikatakan penggiat sejarah kelahiran Bima Andi Hanafi Putra pada media ini, Kamis (25/1). Kata Andi, profesor dalam uraiannya cukup komprehensif, namun terdapat banyak juga hal-hal yang yang bersifat spekulatif.

Seperti soal Bima yang didirikan setelah penaklukan atas Dompu. Hal ini tidak bisa dinafikan eksistensi Dompu sebagai daerah yang dinyatakan dalam Sumpah Palapa sebagai salah satu daerah yang harus ditundukan, sebuah kelompok masyarakat yang menolak takluk. (Baca. Nikmatnya Sejarah Bersama 3 Sejarawan UI Pada Seminar Nasional Jejak Sang Bima dan Majapahit)

“Namun disisi lain dalam Negarakartagama mencatat daerah Bima sebagai daerah yang telah dikuasai bersama daerah lain termasuk Dompu, Sape, Sangyang Api, dan lain-lain,” ungkapnya.

Pemuda yang aktif dalam seminar nasional tersebut mengatakan, di Bima terdapat beberapa situs purbakala yang bercorak Siwa Buda. Seperti Wadu Pa’a bercirikan aksara abad ke 6-7. Namun profesor hanya menyimpulkan Wadu Pa’a sebagai tempat persinggahan dari jalur perdagangan.

Dirinyapun menilai, pendapat itu naif jika dilihat dari posisi situs yang berada di teluk. Tempat itu menjadi pintu masuk dari sebuah daratan luas yang sangat mendukung untuk berdirinya sebuah peradaban terstruktur. Dalam hal ini wilayah Kota Bima sekarang sampai ujung selatan teluk Bima.

“Dari informasi arkeolog, di Desa Tambe pernah ditemukan candi dan yoni yang diperkirakan seusai dengan Borobudur berdasarkan ciri,” tuturnya.

Dikatakan Andi, dalam makalahnya, profesor juga menyebutkan kayu cendana sebagai komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat Majapahit untuk ritual agama dan menjadi motivasi Majapahit untuk menyerang Dompu. Namun ini juga sangat tidak berdasar, karena sampai saat ini tidak ada kayu cendana yang tumbuh di Bima maupun Dompu.

Walaupun secara singkat dijelaskan perihal ketiadaan cendana di daerah Bima dan Dompu saat ini, itu menurutnya terlalu dipaksakan. Seharusnya ada berita tentang kayu cendana ini dari sumber lain, catatan lama yang secara jelas menyebut cendana sebagai komoditas di daerah tersebut pada masa lalu.

“Misalnya, seperti Tome Pires dalam Summa Oriental  menyebut Bima menyediakan kacang kayu celup, kayu yang sangat banyak,” ucapnya.

Terkait aksara pada Situs Wadu Tunti sambungnya, salah seorang pakar berkebangsaan belanda Willem Van Der Mollen dalam simposium internasional ke-16 di Jakarta menguraikan jika aksara yang digunakan pada situs adalah aksara jawa kuno, yang tidak dipakai pada era Majapahit.

“Artinya situs tersebut sudah ada sebelum Majapahit,” katanya.

Andi juga mengomentari pendekatan yang disamapikan profesor dalam penelitianya. Pendekatan arkeolog dan filolog dengan sejarawan itu berbeda. Profesor baru mengungkapkan pendapatnya yang  menurut ia baru hipotesa. Disamping itu, sejarawan itu baru mengungkapkan bukti arkeologis dari Wadu Pa’a dan Wadu Tunti. Padahal dari Balar Arkeologi Denpasar masih meneliti lebih lanjut.

Ia juga menjelaskan, profesor mencocokkan Sangaji Sapalu dengan Supali yang dimetamorfosiskan dengan Gajah Mada. Padahal dari Balar Arkeolog Denpasar belum merilis tentang hal itu. Sejarawan juga juga belum mengutip keterangan BO Sangaji Kai, berkaitan dengan pertemuan para Ncuhi dengan orang yang bergelar Sang Bima di Wadu Pa’a.

“Pendapat beliau masih perlu diperdepatkan lagi dan perlu kembali dilaksanakan seminar dengan menghadirkan sejarawan,” harapnya.

Sementara itu, peserta seminar yang lain mengatakan, seminar tersebut adalah sebua acara ilmiah. Namun bukan berarti menyimpulkan atau merumuskan.

“Ini yang perlu diluruskan. Profesor tadi bukan sejarawan yang memberi kesimpulan. Beliau ahli antropolog khusus peninggalan Majapahit,” katanya.

Pemerhati budaya Bima Husain La Odet berpendapat, pertanyaan apakah Bima atau Majapahit yang duluan ada? Majapahit lahir tahun 1239, sementara Bima jauh sebelum itu. Prasasti Wadu Pa’a itu ada sejak tahun enam ratusan.

“Apa yang saya katakan bisa dicek pada BO Bicara Kai, Situs Wadu Pa’a, buku Kerajaan Bima Abdullah Tayeb, buku BO Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima Henri Chambert Loir – Siti Maryam Salahudin,” tutupnya.

*Kahaba-10