Kabar Bima

Kebebasan Pers di NTB Masih Diwarnai Ancaman

230
×

Kebebasan Pers di NTB Masih Diwarnai Ancaman

Sebarkan artikel ini

Mataram, Kahaba.- Menandai peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) 3 Mei 2018, ada catatan miris yang masih menghantui jurnalis. Situasi ini tidak lepas masih adanya intimidasi dialami jurnalis di lapangan.

Kebebasan Pers di NTB Masih Diwarnai Ancaman - Kabar Harian Bima
Aksi World Press Freedom Day Jurnalis NTB. Foto: Dok AJI NTB

Catatan Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, ancaman kekerasan dan intimidasi verbal yang dialami jurnalis, pelakunya justru dari oknum aparat dan pejabat pemerintah.

Kebebasan Pers di NTB Masih Diwarnai Ancaman - Kabar Harian Bima

Peristiwa terbaru dialami Edy Irawan, wartawan MNC TV saat meliput peristiwa unjukrasa ricuh di Bima, Rabu 2 Mei lalu. Alat liputannya nyaris dirampas Polisi yang mengamankan mahasiswa. Mirisnya, intimidasi itu terjadi sehari menjelang peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2018.

Intimidasi dialami jurnalis bukan itu saja dan aktornya justru kalangan aparat dan pejabat. Intimidasi secara verbal dialami Muhammad Kasim wartawan Harian Suara NTB, tanggal 4 April 2018. Pelakunya, oknum Kabag Infrastruktur dan Kerjasama Setda Kota Mataram, M. Nazarudin Fikri saat diminta penjelasan terkait rendahnya serapan anggaran kegiatan triwulan pertama 2018.

Di Lombok Tengah, Kepala Kemenag setempat H. Iskandar diduga mengusir wartawan saat akan meliput kegiatan sosialiasai prodak hukum dengan Kejaksaan, tanggal 12 April 2018.

Tahun 2017, cerita kekerasan dan ancaman dialami wartawan tidak berubah. Tanggal 24 Mei, dua jurnalis di Bima diseret dan dirampas kameranya saat meliput unjukrasa di depan kampus STKIP Bima. Pelakunya anggota Dalmas  Polres Bima Kabupaten.

4 wartawan di Bima, Yety (Radar Tambora), Eka (TV One) dan Edy Irawan (MNC TV) pada Juni 2017 nyaris jadi sasaran kemarahan warga yang terlibat bentrok di Kecamatan Woha. Akhirnya jurnalis mengamankan diri ke rumah warga karena tidak ada perlindungan dari aparat.

Pada September 2017 sejumlah wartawan diancam digorok oknum anggota DPRD Lombok Tengah Jayanti Umar. Oknum keberatan soal pemberitaan terkait kendaraan dinas yang digunakan tidak dikembalikan ke bagian aset.

Desember 2017 wartawan Suara NTB Haris Mahtul diancam dengan golok saat meliput proyek pembangunan gedung Terminal Haji Lombok International Airport (LIA). Pelaku diduga orang suruhan kontraktor yang diminta menjaga proyek yang molor pengerjaannya itu.

Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati menyayangkan sederet peristiwa kekerasan dialami jurnalis di NTB. Hal ini menurutnya menandai pers belum bebas dalam menjalankan kerja jurnalistik yang dilindungi Undang Undang. Praktek jurnalistik yang sudah memenuhi standart kode etik pun masih rawan dari ancaman dan intimidasi lainnya.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi catatan penting. Menurutnya, AJI mendukung segala gerakan yang memperjuangkan kebebasan pers di NTB yang berada pada angka rawan atau sedang sesuai riset Indeks Kebebasan Pers (IKP).

Tahun ini AJI Indonesia berkesimpulan, musuh kebabasan pers adalah aparat kepolisian. Sebab dalam 10 tahun bterakhir AJI mencatat 640 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, sebagian pelakunya polisi. Ada berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik, intimidasi atau teror, perampasan alat kerja sampai penghilangan paksa hasil karya.

“Ini artinya peringatan Hari Kebebasan Pers dunia masih diwarnai intimidasi dan ancaman kekerasan dialami oleh jurnalis di NTB,” sesalnya saat menyampaikan siaran pers kepada media ini, Jumat (4/5).

Fitri mengapresiasi solidaritas jurnalis selalu muncul setelah peristiwa. Proses advokasi jurnalis yang menjadi korban tidak saja dilakukan AJI, dalam beberapa kesempatan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ambil bagian, bahkan melakukan advokasi langsung anggotanya yang menjadi korban.

Sangat disayangkannya, pelaku justru dari oknum aparat kepolisian dan oknum pejabat daerah yang notabene berpendidikan dan seharusnya menjadi panutan publik. Dengan dalil apapun, intimidasi atau pun kekerasan menurutnya tidak bisa dibenarkan.

“Ada mekanisme yang harus ditempuh pihak manapun jika keberatan atas perilaku atau karya jurnalistik wartawan. Seperti mengadukan ke Dewan Pers jika terkait sengketa pemberitaan,” katanya.

AJI Mataram mendesak para pimpinan aparat kepolisian dan pejabat publik untuk senantiasa memberikan pembinaan kepada jajarannya agar bersama-sama menghormati kemerdekaan pers.

“Kemerdekaan pers itu bukan cuma milik jurnalis dan kalangan pers semata, tapi adalah cita-cita bersama seluruh rakyat Indonesia. Jadi sudah semestinya kita perjuangkan bersama,” tandas Fitri.

*Kahaba-01