Kabar Bima

Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru

313
×

Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Pemilik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Rangga, H Sutarman memberikan perspektif berbeda mengenai kekeringan dan krisis air yang hampir melanda seluruh Indonesia, termasuk Kota Bima. (Baca. Krisis Air di Kota Bima, 6 Perusahaan Air Harus Bertanggungjawab)

Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru - Kabar Harian Bima
Pemilik AMDK Rangga H. Sutarman H. Masrun. Foto: BinSutarman

Menurutnya, masalah kekeringan ini harus dilihat dengan bijak, karena terkait iklim global yang sedikit banyak mempengaruhi cara pandang mengatasi atau keluar dari persoalan tersebut. Bahkan berdasarkan data BNPB, sejak 1995 kekeringan dan iklim ekstrim mulai melanda sebagian wilayah di Indonesia termasuk wilayah NTB termasuk Kota Bima. (Baca. Sepakat Dengan Penjelasan Syahwan Soal Air, Haris: Perlu Diperkuat dengan Perda)

Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru - Kabar Harian Bima

Yang menarik perhatiannya setelah membaca pernyataan ASN Kota Bima yang juga Alumni UGM Teknik Geologi pada berita media ini yang berjudul “Krisis Air di Kota Bima, 6 Perusahaan Air Harus Bertanggungjawab”. Karena sangat ia sayangkan, seorang Geologist memberi pernyataan masalah teknis ke masyarakat dengan dasar pengetahuan dan pemahaman yang sangat keliru.

“Saya justru khawatir dengan keterangan Syahwan membuat resah masyarakat awam dan dunia usaha di Kota Bima khususnya usaha AMDK,” ujarnya, Rabu (23/10).

Kata Sutarman, pernyataan Syahwan bahwa pengambilan air bawah tanah akan membuat tanah amblas, sangat menyesatkan. Karena tidak ada teori itu terjadi di dunia air bawah tanah.

Ia contohkan, dalam tambang bawah tanah, yang dipompa keluar itu bukan cuma air, tapi juga tubuh batuan atau tanah, sehingga terbentuk terowongan. Kemudian setelah bahan batubara atau bahan galian lain yang diambil, maka akan dibiarkan atau segera diruntuhkan. Kondisi itu tidak menimbulkan pengaruh terhadap lapisan di atas permukaan, karena terjadi di kedalaman lebih dari 100 meter.

Lantas apakah ada lapisan tanah di atas permukaan sana yang amblas? jawabnya menurut Sutarman tidak ada. Apalagi kalau cuma sekedar air yang diambil, karena air itu ada dalam tanah, tidak berbentuk tubuh air (Seperti air dalam gelas atau wadah) melainkan mengisi pori2 tanah, pasir atau batuan yang ada di bumi.

“Jadi bayangkan seperti di dalam gelas berisi pasir, lalu disiram air, begitulah keberadaan air dalam tanah. Jadi kalau terjadi pengambilan air tidak akan terjadi amblas, apalagi sampai lebih dari ratusan meter,” jelasnya.

Kemudian apakah akan menyebabkan masuknya air laut ke daratan, Ia lantas bertanya kapan itu terjadi. Di Jakarta salah satu contoh, daerah yang sudah berumur lebih kurang 500 tahun, kemudian sudah sampai mana air laut masuk daratan. Sementara berapa ratus hotel yang ada di Jakarta, pdahal semuanya menggunakan sumur dalam setiap saat.

“Lalu di Kota Bima seperti apa, apakah di Bima sudah terjadi intrusi air laut?. Janganlah asal berteori, nanti masyarakat khawatir,” sentilnya.

Analogi air bawah tanah menurut Senior Geologist itu, seolah-olah air tanah dalam itu mengalir seperti mengalirnya air di sungai, atau alur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Air bawah tanah itu tidak mengalir, apalagi sudah terperangkap dalam sebuah lapisan pembawa air atau akuifer.

Jadi, ia berharap jangan dibayangkan seprti air di permukaan atau air sungai yang mengalir dari tempat tinggi ke rendah, seolah olah air bawah tanah mengalir dari Kota Bima bagian timur ke Kota Bima bagian barat.

“Itu adalah pemahaman yang sangat keliru. Air bawah tanah itu akan mengalir hanya kalau terpotong topografi atau permukaan akuifernya terpotong, baik itu oleh alam sehingga muncul mata air, tergali atau dibor.  Sehingga tidak benar bahwa jumlah air Di Kota Bima bagian barat berkurang karena tidak sempat mengalir dari bagian timur,” paparnya.

Titik bor usaha AMDK Sutarman kembali menjelaskan, ini adalah titik bor khusus yang tidak ada sangkut pautnya dengan air permukaan atau yang dikenal dengan air persawahan, air untuk pemukiman ataupun air sungai. Air dalam tanah itu dikenal ada 2 sumber, yaitu air tanah permukaan dan air tanah dalam.

Air permukaan, air yang terdapat paling dalam 20-35 meter dari permukaan tanah yang keberadaanya sangat dipengaruhi cuaca. Jika musim penghujan, maka air purmukaan akan kaya, tapi kalau musim kemarau maka permukaan airnya akan sangat rendah atau turun, atau masyarakat awam mengenalnya dengan kering.

Sementara air tanah dalam yakni, air yang terdapat dalam lapisan khusus yang disebut lapisan pembawa air atau akuifer dan keberadaan air ini tidak dipengaruhi musim, baik musim kering maupun musim penghujan. Air akuifer ini baru akan mengalir kalau terpotong topografi, tergali atau dibor.

Sutarman pun membahas khusus air yang dibor dalam untuk usaha AMDK. Menurut dia, kenapa pengambilan air ini harus dengan izin khusus (SIPA), karena untuk memastikan masyarakat tidak salah mengambil sumber air. Sebab, sumber air yang diperbolehkan untuk diambil adalah air yang berasal dari akuifer, sehingga tidak mengganggu air permukaan yang dipergunakan untuk masyarakat luas, baik pemukiman, pertanian maupun keperluan lain.

“Sumur bor dalam ini pun harus dengan konstuksi sumur yang khusus, salah satu bagian penting adalah harus dipastikan permukaan sumurnya di grouting dengan kedalaman lebih dari 35 meter dari permukaan tanah, sehingga air yang keluar dari pompa adalah semata-mata air dari akuifer,” terangnya.

Jadi sambung pria yang pernah menjadi bakal calon Walikota Bima itu, sangat tidak benar kalau pengambilan air tanah dalam mempengaruhi cadangan air permukaan untuk persawahan, pemukiman atau air sungai. Contoh air sungai Bengawan Solo saja, sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa. Sekarang airnya mengering bukan karena kurangnya air tanah dalam, tapi semata-mata oleh faktor iklim ekstrim yang melanda sebagian Jawa, sehingga tidak adanya curah hujan.

Kemudian soal pengambilan air tanah dalam akan menurunkan permukaan, itu sangat tergantung dimensi akuifernya. Sesuai data geologi yang ia miliki, berdasarakn survei geolistrik yang juga ia lakukan, didapat bahwa akuifer di wilayah kerja mereka merupakan akuifer yang cukup tebal, sehingga mungkin akan terpengaruh permukaannya dalam waktu yang sangat lama sekali.

Mestinya kata Sutarman, Syahwan menyarankan solusi yang rasional kepada pemerintah, baik untuk jangka pendek seperti harus sigap menyediakan air bersih, memperbanyak lahan resapan air, dan tidak membuang sampah sembarangan. Apalagi sampah yang tidak dapat ditembus air seperti plastik dan semacamnya.

“Kemudian untuk jangka panjang, melakukan penghijauan lahan gundul, menjaga daerah aliran sungai/DAS, mengontrol daya dukung lingkungan pemukiman dengan penataan ruang yang smart dan terencana,” urainya.

Mengenai saran agar pengusaha AMDK melakukan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak kekeringan tambah Sutarman, pihaknya dari AMDK Rangga siap dan sudah terbiasa melakukan sedekah air minum sejak 2016 dan 2017 lalu. Dirinya pun yakin pengusaha AMDK yang lain pun akan sepakatnya.

“Terkait ada pengusaha nakal yang menyalahgunakan izin pemanfaatan air, saya sangat setuju untuk ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku,” tuturnya.

Jadi tambah Pembina ACT Kosambo itu, ia mengajak semua untuk menciptakan suasana kenyamanan hidup sosial kemasyarakatan yang kondusif, sesuai dengan tanggungjawab sosial masing-masing. Jangan menambah beban masyarakat yang sudah berat dengan beban-beban pikiran yang tidak perlu.

Bahwa pemerintah, masyarakat dan dunia usaha juga harus bergandeng tangan untuk membangun daerah yang nota bene sudah cukup tertinggal dibanding daerah lain. Daerah ramah investasi harus diciptakan, sehingga banyak pengusaha yang datang ke Kota Bima utk menanamkan modalnya.

“Jika begitu, sedikit banyak membantu menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan pengangguran,” tambahnya.

*Kahaba-01