Kabar Bima

LBH Yustisia Helat Diskusi Alasan Omnibus Law untuk Negeri

264
×

LBH Yustisia Helat Diskusi Alasan Omnibus Law untuk Negeri

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yustisia Bima menggelar kegiatan diskusi terbuka dengan tema Alasan Omnibus Law untuk Negeri, Selasa kemarin di Resto Tepi Langit Desa Panda Kecamatan Palibelo.

LBH Yustisia Helat Diskusi Alasan Omnibus Law untuk Negeri - Kabar Harian Bima
Suasana diskusi alasan Omnibus Law untuk Negeri yang digelar LBH Yustisia. Foto: Ist

Kegiatan dimaksud dihadiri akademisi dari STKIP Taman Siswa Bima dengan jumlah peserta 35 orang. Adapun narasumber acara tersebut Ketua STIH Muhammadiyah Bima Ridwan, Arifudin dan Pemerhati Hukum dan Peneliti LPW NTB  Ar Salman Paris AR Salman Faris.

LBH Yustisia Helat Diskusi Alasan Omnibus Law untuk Negeri - Kabar Harian Bima

Ketua STIH Muhammadiyah Bima Ridwan mengatakan, Indonesia adalah negara over mempunyai Undang-Undang dan acapkali menimbulkan protes dari berbagai pihak. Dinamika di tengah masyarakat di seluruh Indonesia selalu menimbulkan gangguan Kamtibmas.

Bicara UU Cipta Kerja kata dia, merupakan bentuk baru dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Di mana UU memuat satu objek tertentu, selain itu memiliki dampak positif bagi pembangunan nasional, khusus bidang ekonomi berkelanjutan.

“Hukum itu diproduksi lembaga politik dan dampak dari produk hukum yang dilahirkan akan menimbulkan reaksi dan partisipasi publik yang dilakukan berdasarkan kehendak rakyat Indonesia. Mestinya, hukum memberi nilai rasa keadilan dan manfaat untuk seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.

Terkait proses produksi ataupun penyusunan UU Cipta Kerja sambung pria yang bergelar Doktor itu, secara umum ruang partisipasi publik itu sangat kurang. UU itu memuat lintas sektoral dan lintas administrasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang rumit dan multidisiplin hukum administrasi, hukum pidana, ilmu ekonomi dan keuangan, serta perpajakan.

Di tempat yang sama, narasumber lain Arifudin menjelaskan, pembentukan Omnibus Law diarahkan lebih luas, menyeluruh, dan terpadu dalam rangka penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Sebab, selama ini seringkali antar UU dan produk hukum lain mengatur materi muatan yang serupa dan tumpang tindih. Hal ini menyebabkan ketidakterpaduan yang ujungnya menyulitkan penerapan di lapangan.

“Penerapan ide UU Omnibus Law itu hendaknya tidak hanya terbatas pada persoalan perizinan dan kemudahan berusaha,” paparnya.

Menurut dia, sejumlah UU itu ada irisan yang dapat diatur secara terpadu melalui pendekatan Omnibus law. Sejumlah UU yang saling terkait itu dapat dikodifikasi secara administratif menjadi satu kesatuan kitab Undang-Undang Hukum.

“Berbicara terkait dengan Omnibus Law dari sisi penyusunan legislasi, itu sepertinya memang ada hal-hal yang kurang yang akan menjadi pertanyaan di masyarakat luas,” kiritknya.

Namun ia menegaskan, tidak selamanya UU Cipta Kerja berdampak buruk terhadap masyarakat Indonesia. Maka, pemerintah harus membentuk tim para ahli untuk mempercepat proses pembentukan RUU Omnibus Law untuk peningkatan investasi dan kemudahan berusaha.

Tugasnya, memetakan atau menyisir dan menganalisa ribuan regulasi (UU dan peraturan di bawahnya) apa saja yang perlu diharmonisasi, dihapus sebagian, atau seluruhnya. Kemudian, mengkompilasi regulasi mana saja yang masuk dalam isu yang sama dan nanti akan diteliti lagi untuk mengetahui berapa pasal yang tumpang tindih, perlu dihapus, atau dihapus sebagian. Dan harus dikaji juga dampaknya terhadap masyarakat.

Sementar itu, AR Salman Faris menyampaikan, terkait produk UU Cipta Kerja tersebut, mestinya cermat mengidentifikasi persoalan, apakah masalahnya ada pada tataran substansi hukum, penerapan, atau justru budaya hukum masyarakat. Hanya masalah pada tataran substansi hukum yang membutuhkan pengubahan atau pencabutan, namun jika pada aspek penerapan atau budaya hukum masyarakat, yang diperlukan perubahan implementasi kebijakan.

Kata Faris, pendekatan Omnibus Law juga bisa menjadi solusi atas tumpang tindih regulasi di Indonesia, baik dalam hubungan hierarki sejajar horizontal maupun vertikal. Namun penyusunan Omnibus Law berbiaya mahal dan tidak sederhana karena substansinya pasti multisektor dan dipersiapkan untuk super power, dalam mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien.

“Penolakan Omnibus Law bisa kita lakukan dengan mengajukan judicial review, karena percuma saja melakukan aksi demonstrasi besar-besaran jika ujungnya adalah pulang ke rumah dan tidak melakukan apa-apa lagi. Menurut saya inilah bentuk penolakan yang paling tepat terhadap Omnibus Law,” urainya.

*Kahaba-01