Hukum & KriminalKabar Kota Bima

Tim Hukum Feri Sofiyan Laporkan Kapolres Bima Kota ke Kapolri

358
×

Tim Hukum Feri Sofiyan Laporkan Kapolres Bima Kota ke Kapolri

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Upaya mendapatkan perlakuan adil secara hukum terus dilakukan oleh Tim Hukum Wakil Walikota Bima, Feri Sofiyan. Selain menempuh jalan praperadilan terhadap kasus dugaan pengelolaan lingkungan hidup tanpa izin, tim hukum Feri Sofiyan juga melaporkan sikap Kapolres Bima Kota bersama jajaran penyidik ke Kepala Kepolisian RI (Kapolri).

Tim Hukum Feri Sofiyan Laporkan Kapolres Bima Kota ke Kapolri - Kabar Harian Bima
Salah satu tim penasehat hukum (PH) Feri Sofiyan, Al Imran. Foto: Bin

Salah satu tim kuasa hukum Feri Sofiyan, Al Imran mengatakan, pihaknya mengadukan Kapolres Bima Kota dan jajarannya kepada Kapolri dengan tembusan Ketua Komisi III DPR RI, Ketua Komnas HAM RI, Ketua Kompolnas RI, Ketua Mahkamah Agung, Kejagung RI, Kadiv Propam Mabes Polri, Ketua Pengadilan TInggi NTB, Kepala Kejati NTB, Kapolda NTB, Ketua PN Raba Bima, Kepala Kejari Bima.

Tim Hukum Feri Sofiyan Laporkan Kapolres Bima Kota ke Kapolri - Kabar Harian Bima

“Surat pengaduannya sudah kami sampaikan secara resmi,” katanya melalui siaran pers yang disampaikan ke media ini, Kamis (3/12).

Dalam surat laporannya tersebut kata Imran, menilai Kapolres Bima Kota, Kasat Reskrim dan jaaran penyidik dianggap tidak menjalankan tugas secara profesional, proporsional dan prosedural dalam menetapkan kliennya tersebut sebagai seorang tersangka, sebagaimana diatur dalam Ketentuan UU RI Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Perkapolri Nomor 06 Tahun 2019 tentang Pencabutan Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindakan Pidana dan Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurut Imran, proses hukum pidana yang dilakukan oleh Reskrim Polres Bima Kota disinyalir dilakukan tanpa melakukan proses penyelidikan terlebih dahulu, hal tersebut menurut Tim Hukum dikuatkan dengan adanya surat laporan Polisi Nomor ; LP/K/242/IX/2020/NTB/Res Bima Kota, pada tanggal 24 September 2020 dan pada tanggal 24 September 2020 dikeluarkan pula Surat Perintah Penyidikan nomor: SP. Sidik/118/IX/2020/Reskrim.

Kliennya juga diduga tidak pernah diproses dalam tahap Penyelidikan. Maka hal tersebut menurutnya ditengarai sudah melanggar ketentuan sebagaimana yang sudah diatur pada Pasal 1 angka 1, 4 dan 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

“Bahwa berdasarkan Perkapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Pencabutan Perkapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajamen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 7 ayat (1) dinyatakan sebelum melakukan penyelidikan, penyidik wajib membuat rencana Penyelidikan. ayat (2). Rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud (1), diajukan kepada penyidik paling sedikit memuat: a). Surat Perintah Penyelidikan. b). dan seterusnya,” terang Imran.

Ditegaskannya, sesuai ketentuan Perkapolri Nomor: 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 9 yang menyatakan setiap anggota Polri yang melaksanakan tugas penegak hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik wajib melakukan penyelidikan, penyidikan perkara pidana, dan menyelesaikannya sesuai ketentuan perundang undangan sertamelaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan penyidik.

Selian itu, bahwa SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dikeluarkan pada tanggal 24 September 2020 oleh Sat Reskrim dan klien mereka sudah disebut sebagai status Tersangka. Padahal tanggal 24 September 2020 klien mereka belum ditetapkan sebagai Tersangka. Sedangkan penetapan Tersangka terhadap klien berdasarkan Surat Ketetapan, Nomor; S. Tap/159/XI/2020/Reskrim tentang Penetapan Tersangka adalah tanggal 10 November 2020.

Pihaknya juga mengungkapkan, kliennya selaku terlapor sampai saat ini tidak pernah menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari Reskrim Polres Bima Kota. Padahal Penyampaian SPDP adalah merupakan kewajiban hukum termohon untuk memberikan kepada Penuntut Umum, Pelapor dan Terlapor sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Perkapolri Nomor ; 6 tahun 2019 Pencabutan Perkapolri Nomor: 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan juga diatur dalam ketentuan 109 ayat (1) KUHAP.

Dalam perkembangan, MK telah mengeluarkan putusan Nomor ; 130/PUU-XIII/2015, Januari 2017 yang amarnya melengkapi isi pasal 109 ayat (1) KUHAP. Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) kepada Penuntut Umum, Terlapor, dan korban atau pelapor dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

“Bahwa sesungguhnya SPDP harus dikeluarkan dan ditembuskan kepada terlapor sebelum terlapor ditetapkan sebagai tersangka. Sebagaimana putusan MK Nomor ; 130/PUU-XIII/2015, Januari 2017 yang amarnya melengkapi isi pasal 109 ayat (1) KUHAP. Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada Penuntut Umum, Terlapor, dan Korban atau Pelapor dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan,” papar Imran.

Begitu pun dalam melakukan tindak penyitaan, menurutnya, penyitaan dokumen milik kliennya diduga dilakukan tanpa disertai Surat Ijin dari Pengadilan. Aspek lainnya, bahwa Reskrim Polres Bima Kota diduga menggunakan pasal yang tidak berlaku dan atau telah dihapus terhadap kliennya.

“Dihapus sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan atau Reskrim Polresta Bima Kota menetapakan tersangka terhadap Feri Sofiyan pada tanggal 10 November 2020 tidak cermat membaca ketentuan Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah berlaku sejak diundangkan yakni tanggal 02 November 2020 yang telah menghapus ketentuan pasal 36 rujukan dari pasal 109 Undang-Undang RI, Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ungkapnya.

Ia menambahkan, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 02 November 2020 dan termuat pada paragraf ke 3 pasal 36 di nyatakan sudah dihapus dan atau telah dihapus.

Dengan demikian atas perubahan dan atau telah dihapusnya pasal 36, maka dengan sendirinya pasal 109, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disangkakan terhadap kliennya telah dihapus.

“Sehingga atas dasar penetapan tersangkar terhadap klien kami oleh Reskrim Polres Bima Kota adalah cacat secara formil dan materil, dan oleh karena itu tidak sah menurut hukum,” tegasnya.

*Kahaba-01