Kabupaten Bima

Ketimpangan Pembangunan, 1.000 Spanduk Bima Dapat Apa Tersebar

574
×

Ketimpangan Pembangunan, 1.000 Spanduk Bima Dapat Apa Tersebar

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan yang berkeadilan dan demokratis serta dilaksanakan dengan cara yang bertahap, berkesinambungan, dan merata. Tetapi pada kenyataannya pembangunan di Nusa Tenggara Barat masih jauh dari kemerataan yang diharapkan.

Ketimpangan Pembangunan, 1.000 Spanduk Bima Dapat Apa Tersebar - Kabar Harian Bima
Spanduk Bima Dapat Apa yang tersebar disejumlah wilayah. Foto: Ist

Sampai saat ini, pembangunan di Nusa Tenggara Barat masih berkonsentrasi di daerah pusat, baik itu di ibu kota provinsi ataupun di daerah yang berada disekitarnya. Keadaan inilah yang dibilang masih jauh dari apa yang dicita-citakan dalam tujuan awal, yaitu tujuan nasional yang menginginkan kemerataan dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Ketimpangan Pembangunan, 1.000 Spanduk Bima Dapat Apa Tersebar - Kabar Harian Bima

Pembangunan bandara internasional Lombok, pembangunan kek Mandalika, pembangunan food street Sumbawa beserta infrastruktur penunjang menjadi pertanyaan besar bagi daerah bagian timur NTB kapan kami di perlakukan sama?, kapan pelabuhan, bandara, terminal, kesehatan, pertanian, kelautan kami di perhatikan?

Perasaan ketidak adilan itu memicu gerakan perlawanan dari kaum muda Bima umumnya, mereka melakukan pasangan spanduk dan baliho yang bertuliskan

#Kekmandalika_lombok
#globalhub_lombok
#foodestate_sumbawa
#samota_sumbawa

Lantas dari sekian pembangunan itu, Bima Dapat Apa ?

Ketua Pemuda Sape Safruddin alias Om Aras mengatakan, Sape adalah pintu gerbang bagian timur NTB, yang merupakan pintu masuk justru tidak pernah diperhatikan. Padahal Sape cukup dekat dengan pariwisata nasional Labuan Bajo Komodo.

“Lihat saja pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, sarana prasarana nelayan-nelayan kami yang jauh dari memadai. Perlakuan ini sejak dulu hingga sekarang tidak ada perubahan sama sekali. Kami ingin Sape khususnya menjadi kawasan penyangga industri pariwisata nasional Labuan Bajo Komodo, sehingga perekonomian tidak bertumpu pada pertanian,” katanya, Selasa (6/12).

Berbeda dengan Om Aras, Cimen salah satu pemuda dari Kecamatan Bolo mengatakan Pemprov NTB tidak memiliki inisiatif untuk mendorong pertanian dan peternakan di daerahnya. Program industrialisasi hanya menjadi bahan jualan politik penguasa khususnya Gubernur NTB.

Coba perhatikan penyumbang gabah terbesar di Bima bahkan sampai Sumbawa adalah Kecamatan Bolo dan Madapangga, tapi kenyataanya masyarakat masih saja menemukan masalah baik pupuk, obat-obatan, belum lagi masalah pada peternakan.

“Padahal kami juga menginginkan Bolo Madapangga sebagai sentral unggas seperti program desa unggas di Lombok,” paparnya.

Menurut dia, pembangunan yang tidak merata seperti ini jelas akan memicu rasa iri bagi masyarakat, penyumbang rumput laut terbesar di NTB ada di Kecamatan Langgudu, penyumbang pasokan ikan dan hasil laut ada di pesisir Langgudu, hingga pesisir Kecamatan Wera, punya potensi laut yang melimpah mulai dari ikan tuna, Napoleon, lobster hingga mutiara. Bahkan sampai pariwisata juga punya potensi itu.

“Kami seakan hidup sendiri tanpa pemerintah, kami berjalan begitu saja. Kehadiran pemerintah provinsi belum kami rasakan hingga saat ini. Kunjungan Gubernur NTB hanya seremoni saja,” tutur Irfan salah satu pemuda Rompo.

Lain dengan Ihwan, salah satu pemuda yang aktif melihat perkembangan pembangunan di Bima khususnya. Ia menilai industrialisasi, Zero waste, NTB terkoneksi, posyandu sehat dan lainnya belum nampak di Bima. Artinya cahaya di ujung lorong yang menjadi tagline Gubernur NTB ini hanyalah spirit kosong.

“Contoh saja masih ada ratusan KK di Ambalawi terisolir karena tidak memiliki jembatan dan signal HP, ratusan KK di Langgudu harus naik sampan berjam-jam untuk berobat dan masih banyak lagi,” bebernya.

Fikri pemuda Kecamatan Donggo menceritakan bahwa nenek moyang mereka dulu hidup dari peternakan sapi, kambing dan hasil hutan. Sekarang tidak lagi merasakan dinginnya Donggo, banyaknya ternak itu karena program pemerintah yang memberikan keluasan kepada masyarakat untuk membabat hutan merubah pola kehidupan dan kearifan lokal kami, padahal masyarakat punya potensi peternakan, justru bantuan peternakan banyak di Lombok dan Sumbawa.

“Bima dapat apa dari program Pemprov ini,” tanyanya.

Bima ini dulu adalah kota transit bagi wisatawan yang akan ke Labuan Bajo Komodo, sementara sarana transportasi berupa bandara saja belum memadai, pelabuhan lautpun masih belum memadai, apalagi pelabuhan peti kemas tidak ada sama sekali.

Bima ini cukup strategis di bagian Utara ada Sulawesi, bagian timur ada NTT, bagian barat ada Lombok dan Bali. Tapi tidak ada program pemerintah provinsi dan pusat yang bisa dibangun di daerah ini. Padahal dalam RPJMD NTB ada salah satu program strategis yaitu La SaKoSa, harusnya Gubernur NTB segera mendorong ini untuk membangun kawasan industri baru di bagian timur NTB.

“Itulah mengapa kami membuat 1.000 spanduk ini sebagai bentuk peringatan kepada Pemprov NTB agar tidak berdiam diri dan seolah-olah Bima bukan bagian NTB,” ungkap firdaus, salah satu penggiat sosial di Kota Bima.

*Kahaba-01