Opini

Politik Pragmatis, Politik Ambisi Tanpa Esensi Mewarnai Pileg di Kabupaten Bima

3023
×

Politik Pragmatis, Politik Ambisi Tanpa Esensi Mewarnai Pileg di Kabupaten Bima

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP*

Politik Pragmatis, Politik Ambisi Tanpa Esensi Mewarnai Pileg di Kabupaten Bima - Kabar Harian Bima
Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP. Foto: Ist

Perhelatan pesta demokrasi yang datang sekali dalam waktu lima tahun, tinggal menghitung bulan saja. Dimana rumah besar rakyat yang bernama Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima yang memiliki 6 Dapil pada tahun 2024 mendatang akan segera mencari penghuni baru. Alarm Pemilu lewat Pileg ini tentu memberikan peringatan dan tanda-tanda bahwa masyarakat akan menghadapi tahun politik, juga akan memilih calon wakil mereka yang bisa merepresentasikan kepentingannya, memperjuangkan hak-haknya serta bisa memberikan kontribusi atas kemajuan pembangunan disebuah wilayah. Begitupun dengan para politisi atau bakal calon anggota legislatif, mereka sejauh ini telah mengikuti beberapa proses dan tahapan Pemilu dan juga memulai mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi pada Pemilihan Legislatif Kabupaten Bima yang akan diselenggarakan pada bulan Februari 2024 mendatang.

Politik Pragmatis, Politik Ambisi Tanpa Esensi Mewarnai Pileg di Kabupaten Bima - Kabar Harian Bima

Pada tulisan kali ini penulis akan mengupas terkait dengan fenomena politik yang akan terjadi pada pemilihan legislatif Kabupaten Bima mendatang terkait dengan politik pragmatis, politik ambisi dengan menghilangkan bahkan mengesampingkan esensi dari demokrasi dan pemilu.

Politik Pragmatis dan Politik Ambisi Tanpa Esensi

Pemilihan legislatif pada bulan Februari tahun 2024 ini akan dilangsungkan di Indonesia, termasuk juga akan diikuti masyarakat Bima dan pada kontestasi kali ini ada sekitar 45 kursi legislatif akan diperebutkan oleh calon anggota DPRD Kabupaten Bima, dibagi pada 6 daerah pemilihan (Dapil), meliputi 18 kecamatan dan 191 Desa.

Dapil meliputi Kecamatan Woha, Monta, Parado) dan memperebutkan 9 kursi. Dapil 2 Kecamatan Bolo, Madapangga akan memperebutkan 7 kursi, Dapil 3 Kecamatan Donggo, Sanggar, Tambora, Soromandi akan memperebutkan 5 kursi. Dapil 4 Kecamatan Wera, Ambalawi akan memperebutkan 5 kursi. Dapil 5 Kecamatan Sape, Lambu akan memperebutkan 9 kursi serta yang terakhir dapil 6 meliputi Kecamatan Belo, Wawo, Langgudu, Lambitu, Palibelo akan memperebutkan 10 kursi.

Berdasarkan informasi di atas juga pada momentum tahun politik ini, penulis merasa isu terkait Pileg ini di rasa menjadi isu seksi, panas serta sangat menarik untuk dibahas dan ditulis. Sebelum lebih jauh berbicara terkait dengan politik pragramatis yang akan terjadi pada pemilihan anggota legislatif Kabupaten Bima mendatang, sedikit penulis akan menjelaskan terkait dengan politik pragmatis.

Pragmatisme dalam politik acap kali sering kita dengar dalam politik maupun Pemilu, politik pragramatis menurut (Ulung Pribadi, 2020) secara sederhana diartikan sebagai sebuah sikap politik dan sarana untuk mencapai keuntungan hanya sesaat dan mendapatkan keuntungan secara pribadi dan juga sikap ini hanya menghadirkan pemimpin atau politisi yang tidak berpihak kepada rakya atau pemimpin yang liberal bebas dengan kemauannya sendiri saja.

Berkaca pada Pileg tahun sebelumnya, politik pragmatis ini selalu saja menghampiri masyarakat Bima, partai politik serta sengaja di ciptakan oleh politisi atau calon anggota DPRD itu sendiri. Penulis demikian mengatakan karena berdasarkan analisis, pengamatan serta realitas politik yang terjadi pada setiap pemilihan anggota legislatif, misalnya partai politik sering kali pragmatis terhadap menjaring kader dan mencalonkan anggota legislatif dari partainya, Parpol sering kali tidak merekrut atau mengkaderisasi figur/orang yang mempunyai kemampuan, kapasitas,kapabilitas, rekam rejak yang bagus pada calon dipartainya akan tetapi lebih memilih para pengusaha, pemodal yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berpolitik bahkan tidak paham akan makna serta esensi dari politik, artinya ini menandakan Parpol di Indonesia lebih-lebih di Kabupaten Bima tidak menjalankan dengan maksimal bunyi Pasal 29 dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 terkait Parpol yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan rekrutmen kader pendidikan politik maupun sosialisasi politik yang baik dan benar kepada masyarakat.

Tidak berhenti sampai disitu, pragmatis politik juga mengampiri masyarakat kita, mereka sering kali pragmatis terhadap pemilihan anggota legislatif. Hal demikian pengalaman dan kejadian yang terjadi dengan sederhana masyarakat Bima membahasakannya “Tis wara pitin calon, wati caun caki” atau mereka lebih memilih calon anggota legislatif yang memberikan kepada mereka uang, walupun Caleg tersebut tidak mempunyai kompentesi di politik.

Tidak tahu menau terkait politik akan tetapi mereka tetap dipilih bahkan menang sebagai calon anggota DPRD terpilih ketimbang memilih calon legislatif yang mempunyai modal sosial, rekam jejak yang baik di politik serta mempunyai jiwa politik yang bisa merepresentasikan kepentingan mereka lebih luas karena bagi penulis, ini merupakan sikap pragmatis begitu parah yang terjadi pada masyarakat kita, karena hal ini menyebabkan politik uang yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi, sikap pragmatis pada masyarakat ini terjadi disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap politik, tingkat pendidikan yang sangat rendah juga kurang maksimal fungsi pendidikan politik dari partai politik.

Selain politik pragmatis, Pileg nantinya juga akan hadir politisi atau calon legislatif yang ambisi politiknya besar, sehingga menghilangkan esensi demokrasi maupun Pemilu itu sendiri. Menurut pandangan penulis hal ini akan terjadi pada calon legislatif yang berlatar belakang pengusaha, mereka yang mempunyai modal finansial sangat besar, dengan berdalil pada aspek uang adalah segalanya sehingga mereka dapat meraup ataupun mengambil suara rakyat lewat money politik.

Politik ambisi ini dilakukan oleh calon legislatif yang tidak mempunyai rekam jejak politik yang matang, tidak mempunyai modal sosial yang cukup akan tetapi mereka dengan percaya diri bisa mendapatkan kursi legislatif dan menang pada pertarungan Pemilu Tahun 2024 dengan membayar suara masyarakat. Perilaku ini merupakan patologi yang besar bagi demokrasi, mereka menghilangkan nilai esensial dari politik dan demokrasi itu sendiri demi kepentingan individu atau kelompok bahkan menjaga kekuasaaan itu sendiri.

Harapan besar penulis pada Pileg mendatang adalah masyarakat mempunyai kesadaran terhadap demokrasi dan politik ini dengan tidak apatis maupun pragmatis dalam hal pemilihan anggota legislatif, masyarakat betul-betul harus memilih calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang baik, jiwa sosial tinggi, juga secara kapasitas dan kapabilitasnya bisa diandalankan juga baliknya mereka tidak memilih calon wakil mereka berdasarkan uang yang diberikan oleh calon legislatif, karena demikian menurut penulis sendiri ketika suara dibayar sama halnya harga diri dijual untuk kepentingan sesaat dan 5 tahun, juga ketika anggota legislatif yang berasal dari hasil politik uang itu terpilih, mereka nantinya tidak akan bekerja dengan baik dan maksimal justru orientasinya bagaimana mendatangkan kembali uangnya yang telah habis ketika diberikan kepada pemilih ketika mereka calon.

Selain itu juga harapan selanjutnya para calon legislatif memberikan edukasi politik yang baik kepada masyarakat dan tidak menciptakan konflik pada masyarakat lewat tim sukses masing-masing serta semua elemen yang ada menjaga keamanan, stabilitas serta sama-sama mengawal proses pemilu dan demokrasi yang akan datang.

*Mahasiswa Pascasarjana STPMD Yogyakarta