Opini

Keluarga Pihak Pertama yang Bertanggungjawab Dalam Pendidikan Anak

339
×

Keluarga Pihak Pertama yang Bertanggungjawab Dalam Pendidikan Anak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Arif Rahman

Arif Rahman
Arif Rahman

Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat dunia, termasuk Indonesia, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai aset bangsa. Dengan perkembangan informasi yang begitu cepat, para pelajar dan mahasiswa begitu mudah mengakses informasi dari hal-hal yang positif sampai ke hal yang negatif, dengan menggunakan Gudget/HP.

Keluarga Pihak Pertama yang Bertanggungjawab Dalam Pendidikan Anak - Kabar Harian Bima

Saat ini, Gudget/HP bukan lagi menjadi barang yang istimewa, tetapi menjadi kebutuhan bagi setiap orang, termasuk pelajar dan mahasiswa. Dengan usia yang produktif dan rasa ingin tahu yang tinggi, Gudget/HP akan menjadi bom waktu ketika mereka menyalahgunakan untuk mengakses informasi ke hal-hal yang negatif seperti menonton film dewasa, mencari tahu tentang obat-obatan penghilang rasa stress yang bersifat memabukkan seperti Narkoba, Tramadol, Miras, dsb. Sehingga dengan sendiri nya, akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku pelajar dan mahasiswa yang merupakan generasi emas Bangsa Indonesia.

Pada bulan April 2016, Bima dihebohkan oleh penangkapan 8 orang pemuda dari kalangan mahasiswa yang sedang pesta narkoba (ganja). Sebanyak 66 orang siswa SMAN sederajat di Kabupaten Bima tahun ini gagal mengikuti Ujian Nasional (UN) yang dilaksanakan tanggal 4 April – 7 April 2016. Dari jumlah itu, sebanyak 22 orang siswa memilih untuk menikah. Selain itu, maraknya peredaran obat Tramadol yang dijual tanpa resep dokter di lingkungan Kabupaten dan kota Bima harus menjadi perhatian semua pihak, baik lingkungan keluarga, masyarakat, kepolisian serta pemerintah.

Pasalnya obat anti nyeri tersebut banyak disalahgunakan oleh kalangan remaja saat ini baik siswa SD, SMP maupun SMA untuk mabuk-mabukkan. Efek samping dari penyalahgunaan obat Tramadol yang akan dirasakan oleh penggunanya adalah berpengaruh pada syaraf pusat, hilangnya kesadaran,  fungsi sosial terganggu, dan kemampuan intelektual menurun. Lebih fatal lagi adalah menyerang pada syaraf pernapasan yang bisa menimbulkan sesak napas yang berujung pada kematian.

Hal-hal lain menjadi masalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa  Bima adalah lunturnya nilai-nilai Budaya Mbojo dengan semboyan “Maja Labo Dahu’, budaya gotong royong, rasa saling hormat-menghormati antara yang muda dan tua sudah semakin dilupakan, bahkan anak dengan orang tua sekalipun sudah tidak ada batasannya.

Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Prof. Thomas Lickona dari Cortiand University, bahwa 10 tanda-tanda suatu bangsa sedang menuju jurang kehancuran adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-grup yang kuat dalam tindakan kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayakan ketidakjujuran,  dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Dari beberapa kasus diatas, dapat ditarik benang merahnya, bahwasannya terjadi degradasi pendidikan karakter dan lemahnya ilmu agama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini harus segera diatasi oleh semua pihak, karena akan mempengaruhi generasi muda saat ini dan generasi muda yang akan datang. Karena nasib bangsa Indonesia ke depan, tergantung kualitas generasi muda saat ini.

Hal menarik yang harus dipahami bersama, bahwasan nya “Keluargalah sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak”. Sehingga saat ini, dibutuhkan penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak untuk membantu mencetak generasi emas bangsa Indonesia.

Dalam membangun generasi emas Indoensia, diperlukan usaha dan kinerja yang sinergi antara semua pihak. Mengurus pendidikan anak merupakan pekerjaan besar yang tidak dapat dikerjakan hanya oleh suatu instansi pemerintah. Oleh karena itu, untuk melahirkan generasi emas tentunya harus didukung oleh seluruh stakeholder. Pemerintah perlu membetuk Forum Keluarga Cerdas (FKC) yang dimana beranggotakan pemuda dan masyarakat yang peduli terhadap terciptanya generasi emas bangsa Indonesia.

FKC sendiri berfungsi untuk memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada orang tua, lebih khusus orang tua yang baru memiliki anak balita maupun calon orang tua tentang bagaimana caranya dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan akan membentuk generasi-generasi Bangsa Indonesia yang berkarakter dan memiliki pemahaman agama yang cukup.

FKC harus bisa memberikan pemahaman di dalam lingkungan keluarga, bahwasan nya orang tua harus mempunyai visi misi yang jelas dalam proses mendidik anak. Ketika di lingkungan keluarga memberikan pendidikan karakter dan ilmu agama yang cukup baik terhadap proses perkembangan anak sejak dini, sekeras apapun godaan yang datang dari luar lingkungan keluarga, baik itu dari lingkungan pergaulan di masyarakat maupun lingkungan pendidikan formal/informal, secara otomatis anak bisa memfilter semua godaan yang datang dengan mengingat kembali nilai-nilai dan norma-norma yang telah diajarkan orang tua dilingkungan keluarga.

Penanaman pendidikan karakter di keluarga dapat dilakukan oleh 2 pelaku. Pelaku pertama adalah keluarga inti (orang tua, kakak – adik). Ada dua alasannya yaitu, orang tua telah dikuadratkan untuk mendidik anak-anak yang dilahirkannya serta aspek kepentingan orang tua terhadap kesuksesan anak. Orang tua sangat bertanggung jawab menjadikan anak-anaknya menjadi insan yang berguna bagi kelurga, bangsa dan negara. Pelaku kedua adalah keluarga besar meliputi kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara-saudara lainnya.

Unsur-unsur ini bisa berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman karakter di lingkungan keluarga. Ketika orang tua mengajarkan untuk shalat, tetapi disisi lain anak-anak melihat kakek atau paman atau saudaranya yang lain tidak shalat, maka kepekaan anak utuk menuruti perintah orang tua akan sedikit goyah. Mereka bisa berdalih mengapa mereka saja yang shalat sedangkan orang lain tidak mengerjakannya. Oleh karena itu, perlu ada kesamaan pikiran , visi dan misi antara kedua pelaku dalam lingkup keluarga besar agar penanaman karakter di lingkungan keluarga berjalan secara utuh.

Sebagai pendidik dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam memberikan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, kebiasaan, dan perilaku orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya. Cara orang tua dalam memberikan pendidikan karakter berbasis religius yakni memberikan pendidikan agama kepada anak. Melalui bercerita pada anak tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, diharapkan anak mengenal dan dekat dengan Allah, dengan demikian anak akan mengetahui dan percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Menumbuhkan kecintaan kepada anak untuk beribadah yakni dengan cara mengajarkan dan membiasakan anak untuk shalat 5 waktu dengan tepat waktu, puasa, mengaji dan bersedekah.

Cara orang tua dalam memberikan pendidikan karakter berbasis nilai budaya yakni dengan cara menanamkan budi pekerti, nilai dan norma, tata krama, sopan dan santun kepada anak, misalnya saja sopan santun dalam cara berbicara, cara makan dan cara dalam berpakaian. Cara orang tua dalam memberikan pendidikan karakter berbasis lingkungan yakni dengan cara keluarga selalu memperhatikan perkembangan anak, menanamkan pendidikan karkater hubungannya dengan diri sendiri seperti membiasakan anak untuk berkata jujur, disiplin, mandiri serta menanamkan kepada anak untuk kerja keras dan memiliki etos kerja pada diri anak.

Menanamkan pendidikan karakter yang berhubungan dengan sesama manusia, seperti mengajarkan kepada anak untuk dapat saling menghormati dan menyayangi sesama manusia dan mengajarkan kerukunan kepada anak. Cara orang tua menanamkan kepada anak untuk menjaga lingkungan adalah dengan menerapkan hidup bersih dan sehat seperti membuang sampah pada tempatnya, cuci tangan sebelum makan, sikat gigi 2 kali sehari dan mengajarkan kepada anak untuk tidak merokok.

Menurut Syarbini (2014), dalam bukunya membagi menjadi tujuh metode yang bisa digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak, yaitu : (1) metode internalisasi, yaitu memasukan pengetahuan dan keterampilan kepada diri anak untuk menjadi kepribadiannya sehari-hari, (2) metode keteladanan, yaitu metode pengajaran dengan cara memberikan contoh atau teladan yang baik kepada anak-anak. Anak-anak akan meniru apa saja yang dilakukan dan dikatakan oleh oarng tuanya. (3) metode pembiasaan. Pembiasaan merupakan cara orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk melakukan sesuatu. Pembiasaan dapat menanamkan rasa tanggung jawab anak atas pekerjaan atau rutinitas tersebut. Sebagai contoh pembiasaan shalat tepat waktu dapat mendidik anak untuk disiplin.

(4) metode bermain. Kadangkala anak-anak merasa bosan dengan rutinitas serta aturan-aturan yang ketat baik di rumah maupun di sekolah. Metode bermain menjadi salah alternatif orang tua utuk menanamkan karakter pada anak. Tanpa mereka sadar, kegiatan bermain-main sebenarnya mengajarkan mereka karakter yang sangat penting. Sifat sportifitas, kerja sama, komunikasi, kesabaran, kejujuran dsb, (5) metode bercerita. Orang tua bisa menyelipkan pendidikan karkater dalam sebuah cerita atau dongeng. Misalnya cerita kancil dan monyet yang berisi nasehat untuk hidup jujur, cerita kacil dan kura-kura yang menanamkan tidak sombong, dsb.

(6) metode nasehat. Nasehat merupakan pesan-pesan orag tua secara langsung kepada anak tentang apa yang baik dan yang buruk untuk dikerjakan, (7) metode hadiah dan hukuman. Kedangkala orang tua sering mengabaikan metode reward and punishment. Orang tua terlalu sering memberikan hukuman kepada anak ketika mereka dinilai bersalah. Namun, ketika mereka memperoleh prestasi, orang tua jarang memberikan hadiah (reward). Kata reward tidak terbatas pada hadiah yang berupa fisik, tetapi bisa diaplikasikan dalam bentuk pujian, tepuk tangan, pelukan, maupun ciuman kasih sayang oarng tua kepada anaknya. Dengan cara seperti orang tua mendidik anak menjadi orang yang bisa menghargai orang lain.

*Penulis juga Mahasiswa Fisika UNY/Formasi Jogja

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…