Opini

Din Syamsuddin, Dialog Peradaban, dan Potret NTB

311
×

Din Syamsuddin, Dialog Peradaban, dan Potret NTB

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mawardin*

Mawardin
Mawardin

Ketika menyebut nama Din Syamsuddin, ada beberapa hal yang mungkin hadir di memorikita, yakni Muhammadiyah, “Islam berkemajuan” (progresif), keulamaan, kecendekiawanan, kesantunan, dialog peradaban, dan tentu saja Pulau Sumbawa, NTB. Bagaimana kita membaca ketokohan Din Syamsuddin yang sudah mendunia, penggerak dialog-dialog peradaban, lalu mendirikan Pondok Pesantren modern internasionalyang berbasis di desa? Bagaimana juga kita mentransformasikan energi dialog yang menciri khas lakonPak Din Syamsuddin ke tanah air kita guna menembus kebuntuan sosial kultural di tengah-tengah kita.

Din Syamsuddin, Dialog Peradaban, dan Potret NTB - Kabar Harian Bima

Pada bulan Juli 2016 lalu, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla melakukan peletakan batu pertama Pondok Pesantren (Ponpes) Dea Maleladi Kabupaten Sumbawa, NTB.Letak Ponpes bertepatandi Desa Pamangong –Kecamatan Lenangguar. Meskipun begitu, Ponpes yang digagas oleh tokoh nasional asal Pulau Sumbawa – Din Syamsuddin,dirancang sebagai pusat pendidikan Islam bercita rasa modern yang bertaraf internasional. Din Syamsuddin ingin menyiratkan pesan bahwa dari desa pun kita bisa berkiprah membangun peradaban dunia. Dari desa pun kita bisa mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang bervisi global. Itu pelajaran pertama.

Sebagai catatan, mengutip deamalelafoundation.com, nama Ponpes “Dea Malela” merujuk pada leluhur Din Syamsuddin, yakni Imam Ismail Dea Malela (1728-1786), seorang mubaligh asal Gowa-Sulawesi Selatan yang berdakwah sekaligus berhijrah ke Tana Samawa (Sumbawa), lalu melahirkan keturunan yang banyak.Salah seorang keturunan Dea Malelaitu adalahDin Syamsuddin (sebagai generasi ketujuh). Bang Din – sapaan akrab Prof. Dr. Din Syamsuddin – adalah ketua Pembina Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Dea Malela, sekaligus penggagas Ponpes, untuk mengenang jasa para leluhur, juga dicita-citakan sebagai pusat kajian Islam dunia yang diharapkan dapat melahirkan kader-kader ulama, danintelektual muslim berkelas dunia.

Seperti yang kita tahu, Bang Din adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dua periode yang sekarang sudah digantikan oleh KH. Haedar Nashir melalui Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan (2015).Sebagai warga Persyarikatan Muhammadiyah, saya cukup mengikutipemikiran dan kiprah Bang Din. Sebagai peminat kajian politik dan gerakan Islam, saya mengenal Bang Dindengan membaca tulisan-tulisan beliau dan mendengarkan ceramahnya. Terlebih Bang Din adalah dosen/guru besar dengan spesifikasi akademik di bidang pemikiran politik Islam.Selebihnya, sebagai warga Pulau Sumbawa – NTB, saya tak ketinggalan juga untuk menelusuritapak jejak dan suara-suara Bang Din yang menggema di Bumi Gora sekalipun beliau berkiprah di pentas nasional. Pelajaran kedua adalah, berkontribusilah untuk daerah asal sesuai kapasitas, walaupun ‘jasad’ mungkin berada di Tanah Rantau.

Din Syamsuddin adalah orang Sumbawa yang dibesarkan di lingkungan santri “kaum sarungan”, istilah yang merujuk pada warga Nahdliyin yang diasosiasikan dengan Islam tradisional. Pasalnya, semasa pelajar di Tanah Samawa, Bang Din adalah Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa (1970-1972). Uniknya, ketika menjadi mahasiswa dan terlibat dalam kehidupan aktivis di IAIN Jakarta (kini UIN Jakarta), Bang Din justru aktif di lingkungan Muhammadiyahyang dikategorikan Islam Modernis. DariKetua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 1985), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), hinggaKetua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010 dan 2010-2015).

Nah, disitu poin pontingnya. Bang Din menurut saya, khas dan visioner. Pergulatan pemikiran dan pilihan gerakan yang penuh warna ikut mempengaruhinya di kemudian hari menjadi jembatan berbagai mazhab pemikirankeagamaan dan politik dengan menghidupkan iklim yang bersifat dialogis dan akomodatif, jauh dari jebakan konfliktual. Pelajaran ketiga adalah rekam jejak “pelangi” yang menaungi aliran kehidupan kita, semestinya menjadi modal untuk menengahi aneka benturan berbagai warna, setidaknya kita bisa berperan sebagai mediator, dan menjadi comblang penghubung yang konstruktif, bukan memperkeruh suasana.

Dalam ranah akademik, agama dan politik melekat pada pemikiran Bang Din. Hal ini tercermin pada disertasi beliau di Interdepartmental Programme in Islamic Studies- University of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat,berjudul Religion and Politics in Islam: The Case of Muhammadiyah in Indonesian’s New Order (1991). Disertasi ini mengukuhkan reputasi akademik Bang Din yang tidak hanya mencerminkan kepakaran beliau di bidang pemikiran politik Islam, termasuk studikemuhammadiyahan, tapi juga menjadi aktor gerakan yang bergulat di lapangan. Pelajaran keempat adalah kita memang dituntut untuk mendalami satu peminatan secara keilmuan akademik, tapi itu pun terasa tidak cukup. Kita perlu terjun di kancah gerakan praktis untuk mengaktualisasikan gagasan akademik ke dalam tindakan konkret. Intinya, intelektualisme dan aktivisme adalah kombinasi yang cukup ideal.

Dalam peta pemikiran Islam, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, bahkan duniayang dikenal progresif dalam gemuruh pembaharuan, gelora ijtihad dan identik dengan semangat purifikasi dari aneka takhayul, bid’ah, churafat (TBC). Akan tetapi, Muhammadiyah bukan tipe gerakan “ekstrem”, yang memakai kekerasan untuk memaksakan kehendak atau cara pikir golongannya, juga bukan Ormas yang suka mengkafir-kafirkan (takfiri) orang lain. Muhammadiyah mendorong dakwah yang terbuka, dialogis dan mencerahkan, santun dan penuh cinta serta kasih sayang. Karena itu, Islam moderat menjadi ciri khas Muhammadiyah, sebagaisalah satu jangkar utama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Di tangan Bang Din, Muhammadiyah tampil sejuk dandinamis, tidak terlalu ketus dengan kearifan budaya lokal. Tradisi nusantara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, tetap dirawat secara proporsional, lalu diletakkan dalam bingkai “Islam berkemajuan” sebagai bagian dari kontekstualisasi nilai-nilai Islam (seperti Islam Nusantara ala NU). Pelajaran kelima adalah dialog perlu dikembangkan untuk saling memahami watak pemikiran orang lain sehingga kesenjangan faksi-faksi berpikir dapat teratasi, dan persatuan umat pun dapat terwujud.

Dalam konteks nasionalisme-kebangsaan, kiprah Muhammadiyah tak diragukan lagi dalam mengawal Pancasila, UUD 1945, Merah Putih dan kebhinekaan. Ada memang riak-riak kecil yang menunjukkan terjadinya pergolakan pemikiran dari kelompok konservatif, puritan hingga liberal. Menariknya, disinilah peran Bang Din sebagai penjaga bandul Ormas Muhammadiyah, agar tidak terlalu kaku, tapi juga tidak kelewatan liar.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang 2005 misalnya, kemenangan kubu Din Syamsuddin dianggap sebagai kemenangan anti-liberalisme, yang mementalkan sayap pemikir “muslim liberal” – meminjam bahasa Sukidi Mulyadi (Tempo, edisi 17 Juli 2005). Hal ini dicatat Doktor pemikiran Islam, Adian Husaini (Hidayatullah.com, 17 Juli 2005), bahwa intinya Bang Din menegaskan sikap Muhammadiyah yang ingin mengambil “posisi tengahan” yang secara teologis merujuk kepada al-Aqidah al-Wasithiyah. Moderasi pandangan Bang Din memang tepat ditengah seteru dialektis antara kutub liberalisme dengan kutub puritan di organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan itu. Namun, Bang Din menginginkan bahwa jalan tengah yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah pemikiran adalah dialog pemikiran dalam suasana kekeluargaan. Pelajaran keenam adalah kalau ada faksionalisme pemikiran, maka dialog intelektual adalah jalan yang tepat, bukan berantam. Adu otak, bukan adu otot.

Di era transisi demokrasi Indonesia yang membuka gerbang reformasi 1998, kiprah Bang Din memang tak seheboh seniornya Pak Amien Rais (mantan ketua umum PP Muhammadiyah) yang dulunya dijuluki sebagai “Bapak Reformasi”. Akan tetapi, bagi pemerhati politik Islam, ketika pertarungan konstruksi ‘politik identitas’ meraih tapuk kepemimpinan jelang reformasi, Bang Din bersama akademisi seperti Amir Santoso (guru besar politik UI berlatar belakang ‘NU Madura’), Bachtiar Effendi(intelektual UIN Ciputat dari kalangan HMI) dan Jimly Asshiddiqie (pakar hukum tata negara berlatar belakang ICMI), kerap ‘dibaca’ sebagai konseptor “Kelompok Suwiryo” yang dikait-kaitkan dengan “ABRI Hijau”sepertiFeisal Tanjung, Prabowo dan R. Hartono. Politik ABRI yang diatur dari Jalan Suwiryo lewat lembaga think-thankCenter for Policy and Development Studies (CPDS) memang disebut-sebutsebagai “penyeimbang” guna menahan laju “Kelompok Benny Moerdani”sebagaimana juga diulasbudayawan dan politisi kawakan Eros Djarot dkk (2006/2007).

Jend TNI (purn) Benny Moerdani di mata kelompok Islam memang meninggalkan luka sewaktu jadi Panglima ABRI, dianggap bertanggung jawab atas Peristiwa Tanjung Priok (1984) yang membantai sejumlah aktivis pergerakan muslim Indonesia. Di penghujung orde baru, Soeharto mulai cenderung dekat dengan ‘kelompok Islam’ yang dihubungkan dengan munculnya Bank Muamalat, ICMI dan naiknya “ABRI Hijau”di pentas militer dan politik. Di kaki langit Jakarta, tak terhindarkan juga pertarungan antara benderagerakan sampai muncul pamswakarsa dan laskar-laskar sipil. Namun demikian, era kelaskaran dan sentimen politik identitas tak sepanas dulu, setelah demokrasi terkonsolidasi secara relatif baik.

Itulah kenapa belakangan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) misalnya,yang identik sebagai kantong abangan dan nasionalis-sekuler akhirnya mendirikan Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI)pada tahun 2007 untuk menampung aspirasi politik muslim, sekaligus mencairkan ketegangan nasionalisme dengan Islamisme. Hal ini berkat peran Bang Din yang pada waktu itu cukup intens berkomunikasi dengan Alm. Taufik Kiemas (TK) yang kalau dilihat latar belakangnya adalah “Masyumi”, atau meminjam istilah Syafii Maarif, TK seperti ‘masyumi berkepala banteng’. Pelajaran ketujuh adalah bahwa nalar keislaman dan kebangsaan itu sudah tuntas secara teologi dan politik, tak perlu dikontradiksikan lagi. Kaum nasionalis dan kelompok berbasis agama beserta kelompok lainnya harus bersatu padu membangun bangsa dan negara tanpa sekat-sekat aliran.

Peran Bang Din sebagai penjaga irama nasionalisme dan Islam tampak pula pada kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN) yang berasas nasionalis, kemudian belakangan muncul Partai Matahari Bangsa (PMB) yang berasas Islam, meskipun sebenarnya mengambil dari ceruk pasar yang sama, yakni massa muslim reformis Muhammadiyah. Bang Din tampaknya tidak begitu mempersoalkan. Yang penting adalah bagaimana membumikan nilai-nilai Islam, menegakkan amar makruf nahi munkar melalui jalur politik. Jejak politik Bang Din juga terekam ketika beliau berkiprah di MPR-RI. Sedangkan di birokrasi pernah menjabat sebagai Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, DEPNAKER RI (1998-2000). Meskipun begitu, darah aktivisme kemuhammadiyahan dan corak akademik tetap lebih kental dan dominan dalam warna Bang Din. Yang terkini dari manifestasi ide politik Bang Din, adalah inisiatifnya bersama tokoh lintas agama dan sejumlah aktivis bangsa mendirikan Pergerakan Indonesia Maju (PIM) tahun 2016yang tujuan utamanya demi kemanusiaan, kemajemukan dan kebersamaan dalam menghadapi permasalahan bangsa.

Di panggung dunia, Bang Din dikenal aktif mengkampanyekan perdamaian dan menggerakkan dialog-dialog agama dan kebudayaan maupun grup politik. Yang paling dikenal anak-anak muda intelektual, khususnya angkatan muda Muhammadiyah, adalah kapasitas Bang Din sebagai Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations/CDCC (2007-sekarang). Sebagai tokoh Muhammadiyah yang intelektual, Bang Din seringkali diundang untuk menjadi pembicara di berbagai konferensi tingkat internasional tentang hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Bang Din juga pernah diundang ke Vatican untuk berbicara tentang terorisme dalam konteks politik dan ideologi. Disinilah peran perimbangan Bang Din, beliau memandang bahwa terorisme itu isu politik. Pelajaran kedelapan bahwa Bang Din tidak setuju bila sebagian kelompok Islam menggunakan label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme yang justru merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun pada skala global. Karena itu, Bang Dindiapresiasi banyak kalangan yangmelintas batas, bukan hanya antar sesama umat Islam, tapi juga umat beragama lainnya.

Dibalik kekalemannya, Bang Din tampak “garang”, ketika melakukan “jihad konstitusi” sebagaibentuk perjuangan Muhammadiyah melalui penegakan hukum dengan menggugat Undang-Undang (UU) yang tak memihak kepentingan nasional. Akhirnya Jihad Konstitusi Muhammadiyah berhasil memenangkan gugatan terhadap 4 UU di Mahkamah Konstitusi yang dinilai mengancam kepentingan nasional, yaituUU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pelajaran kesembilan adalah teruslah menggelorakan semangat jihad, terutama jihad pendidikan, dakwah, ekonomi, penegakan hukum yang berorientasi bagi kepentingan nasional. Tentu saja dengan cara-cara yang santun, demokratis dan konstitusional, bukan melalui kekerasan, bukan pula malpraktek jihad seperti bom bunuh diri.

Pelajaran untuk NTB

Paling tidak, dari kesembilan pelajaran yang bisa kita petik dari Bang Din itu, kalau kita ringkas intinya adalah dialog. Di tengah gejala ekstremisme pemikiran dan vandalisme perilaku akhir-akhir ini, ditambah cuaca kekerasan global yang masih akut, maka orang NTB – yang lekat dengan asal-usul Bang Din – semestinya mentradisikan dialog ini sebagai wahana kultural guna memahami satu sama lain, sekalipun perahu perjuangan berbeda merek agar bisa sampai ke pulau tujuan.

Konflik komunal atau kekerasan antar kelompok massa harus diakhiri. Jikalau ada masalah kebuntuan akan lebih beradab manakala diatasi lewat dialog. Begitu pun kohesifitas antar berbagai suku atau daerah-kewilayahan di NTB mesti diperkuat kembali baik yang berada di Pulau Sumbawa maupun Pulau Lombok. Hingga kelak, kalau sudah sukses membereskan problem kedaerahan, barulah kemudian kita menanamkan ‘saham’ sosio-kultural bagi nusantara berkemajuan.

Sebagai bagian generasi muda NTB,kita perlu menyalakan ‘api’ Bang Din untuk mencerahkan umat, khususnya di Pulau Sumbawa maupun Pulau Lombok. Bang Din telah memberikan potret pembelajaran bagaimana mengatasi ketegangan tersembunyi maupun terbuka atas berbagai konflik yang mengatasnamakan aliran keagamaan, politik maupun bermotif perebutan sumber daya ekonomi. Dan caranya adalah dialog.

Sejatinya dialog adalah jalan para ‘matahari’ untuk menyinari semesta raya dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Dari dialog, kita bisa jumpa jiwa, jumpa pikiran, jumpa wajah untuk menyelami‘kedalaman isi’ orang lain. Dengan begitu, maka kita punya bahan pembanding setelah menelaah beragamkarakter pemikiran.Maka, tumbuhlah secara perlahan-lahan sikap tenggang rasa,toleran, menghargai cara pandang orang lain, dan menghormati keberagaman sebagai sunnatullah.

Ketika orang tak punya bahan perbandingan dan pemikiran alternatif, hanya berkutat pada satu kutub pemikiran itu saja, hanya menatap bahan bacaan itu saja, hanya mengkultus figur tertentu saja, hanya bergaul dengan satu kelompok dan golongan saja, tidak didukung iklim yang bersifat dialogis pula, akhirnya terkungkung dalam kepicikan berpikir. Lantas gampang menyalahkan orang lain, suka memaksakan kehendak, cepat tersinggung dan reaksioner terhadap dinamika pemikiran yang berkembang.

Disinilah perlunya pengarusutamaan nalar moderasiyangmemekar di atas taman pergaulan yang ditumbuhi aneka warna ide. Semua energi kebajikan diserap dari segenap penjuru, lalu dibumikan untuk pemberdayaan komunitas masing-masing. Akhirnya penampakan yang terjadi biasanya lebih bijak dan terbuka (inklusif) serta penuh mesra tanpa ketegangan tinggi. Lebih intinya lagi, memang kita perlu melakukan “penjelajahan intelektual”, mengintensifkan dialog – seperti dicontohkan Bang Din. Dari situ, kita bisa membuka cakrawala dan menyerap tetes-tetes kebijaksanaan (wisdom).

*Penulis adalah Warga Persyarikatan Muhammadiyah, Aktivis HMI, dan Peneliti Pusat Studi Konflik Agama dan Budaya (PUSKAB) – NTB

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…