Opini

KATALIS di Tiap Kamis (Refleksi Hari HAM se-Dunia)

279
×

KATALIS di Tiap Kamis (Refleksi Hari HAM se-Dunia)

Sebarkan artikel ini
Oleh: Didit Haryadi, S.Sos

Opini, Kahaba.- Sejarah kelam politik Indonesia banyak terjadi di era rezim orde baru. Banyak referensi ilmiah, baik berupa buku, jurnal maupun majalah nasional dan internasional yang menempatkan bahwa era orde baru adalah era “kegelapan” bagi pemerintah Indonesia. Begitu banyak kejadian sosial dan politik yang menderu hingga menjadi warisan bagi generasi selanjutnya.

KATALIS di Tiap Kamis (Refleksi Hari HAM se-Dunia) - Kabar Harian Bima
Didit Haryadi, S.Sos, Kepala Dept. Riset, Lembaga Edukasi & Advokasi (LEAD) NTB

Sekiranya manusia-manusia yang terlahir ke Bumi pada dasawarsa 19 (1972 hingga 1998) adalah “korban” dari tersistematisnya rezim diktator dan juga mungkin cenderung menganut paham fasis yang selalu satu komando. Sentralisasi pembangunan, komersialisasi aset negara yang pada akhirnya bermuara pada konglomerasi keluarga pejabat menjadi catatan penting hingga bangsa ini tak mengenal lagi toleransi dan cenderung materialis dan menghambakan jabatan atas nama kesejahteraan rakyat.

KATALIS di Tiap Kamis (Refleksi Hari HAM se-Dunia) - Kabar Harian Bima

Belum hilang dalam ingatan kita, rentetan panjang rantai historis bangsa Indonesia dalam menciptakan stabilitas nasional yang harus menelan korban manusia, penembakan misterius, penculikan, penghilangan, sampai korupsi yang sangat menggurita dalam tubuh dan simbol “bintang” pada lencana aparatur negeri ini. Semua ini adalah bagian dari penerapan sistem Panoptikon yakni sebuah sistem pengawasan terpadu atas nama otoritas yang memiliki legalitas dari sang penguasa negeri. Carut-marut permasalahan bangsa tidak terasa pada momen berkuasa rezim, dan hanya menjadi “luka” pada intuisi dan sangat laten dalam benak manusia Indonesia yang tak sanggup melawan kuatnya sistem satu komando sang diktator.

Penjahat Hak Azasi Manusia

Entah sampai kapan derita keluarga korban yang anggota keluarganya hilang sejak 1997-1998 akan berakhir dan menemui suatu ketenangan atas penanganan hilangnya anggota keluarga mereka. Mulai dari mahasiswa, warga sipil, pengusaha, seniman, dan aktivis yang pada saat itu berjuang melawan ketidakpuasan mereka atas sistem pemerintahan yang sangat korup, diktator, dan sangat kapitalis. Perjuangan mereka dengan terjun ke jalan dan melakukan kritik yang tajam kepada kinerja pemerintahan harus dibayar mahal dengan hilangnya mereka dari interaksi sosial. Mereka dianggap subversif dan membahayakan stabilitas nasional. Sangat ironis, ketika para putra bangsa yang berjibaku melakukan perubahan dan memberikan sumbangsih perubahan melalui gerakan sosial dan karya nyata, ternyata berbalik menjadi korban atas keangkuhan sang Lencana.

Salah satu majalah internasional terkemuka di muka bumi ini pernah merilis dan memberikan tinta “merah” tentang perjalanan pengakuan hak azasi manusia (HAM) di negeri merah putih. Sang penguasa menempati singgasana sebagai penjahat HAM dan sekaligus memberikan citra negatif kepada dunia internasional tentang penegakan HAM di negeri yang konon adalah Negeri Atlantis.

Terminologi HAM adalah merujuk kepada pemenuhan hak-hak dasar manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang meliputi sandang, pangan, dan papan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan adalah tolak ukur kesejahteraan sosial yang seharusnya diimbangi dengan pengakuan keterbukaan menerima kritik dan tidak melakukan hal-hal yang berbau fasis. Alibi pemerintahan “lencana” pada era orde baru begitu gelap dan seakan membuat rakyat menjadi layu dan termangu. Tetapi putera dan puteri di negeri ini tidak diam! Mereka berani melakukan perlawanan dalam bentuk apapun meski harus dibayar mahal hingga mereka hilang.

Titik Balik 1997-1998

“Pohon” demokrasi yang telah ditanam oleh pendiri bangsa belum juga memberikan “buah” yang mampu memberikan kepuasan kepada para rakyatnya. Historis kebangsaan yang berhasil merdeka sejak 1945 belum juga mampu membendung bentuk penjajahan yang selalu muncul dengan “topeng” dan “wajah” yang baru. Tahun 1997-1998 bisa menjadi sebuah titik balik untuk merajut asa dan kekecewaan atas ketimpangan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sangat jauh dan telah membelenggu rakyat.

Slogan dan semboyan Toleransi yang selalu bergandengan dengan Bhineka Tunggal Ika kini menjadi “barang” langka dan mungkin telah terparkir rapi dalam benak setiap manusia atau mungkin telah tergadaikan dan “dimuseumkan”. Pengenalan hukum dan ketatanegaraan sosial harusnya diimbangi dengan impelementasi menghargai perbedaan, termasuk dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Tahun 1997-1998 telah terukir dalam sejarah Indonesia sebagai tahun perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan dari kediktatoran pemerintahan orde baru. Reformasi menjadi orde dan ode penyembuh dan pelipur lara atas terbelenggunya bangsa ini dari para pembohong dan politisi busuk yang hanya memperhatikan nasib “atap” rumah mereka. Dalam perjuangan pasti akan ada cerita besar di dalamnya.

Peristiwa 1997-1998 menjadi tragedi dalam penghilangan orang-orang yang dianggap subversif oleh pemerintah. Ratusan orang hilang tanpa jejak dan tanpa cerita yang jelas. Mereka hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Dengan tidak mengurangi rasa hormat pada korbang-korban lain yang hilang pada peristiwa 1997-1998, setidaknya ada 13 nama yang mungkin mampu mewakili perjuangan mereka semua. 1.Yani Afri (Rian) Pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997 Hilang di Jakarta pada 26 April 1997, 2.Sonny Pendukung PDI Megawati Hilang di Jakarta pada 26 April 1997, 3.Deddy Hamdun Pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997, 4. Noval Alkatiri Pengusaha, aktivis PPP Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997, 5. Ismail Sopir Deddy Hamdun Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997, 6. Wiji Thukul Penyair aktivis JAKER/PRD Hilang di Jakarta pada 10 Januari 1998, 7. Suyat Aktivis SMID/PRD di Solo pada 12 Februari 1998, 8. Herman Hendrawan Aktivis SMID/PRD di Jakarta, 12 Maret 1998, 9. Petrus Bima Anugerah Aktivis SMID/PRD Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998, 10. Ucok Munandar Siahaan

Mahasiswa Perbanas Diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta, 11.Yadin Muhidin Alumnus Sekolah Pelayaran Hilang di Jakarta saat kerusuhan 14 Mei 1998, 12. Hendra Hambali Siswa SMU Hilang saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998, 13. Abdun Nasser Kontraktor Hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta.

Mereka adalah korban HAM yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya dan keluarga takkan pernah berhenti berjuang melawan dan akan tetap menjadi Katalis Di Setiap Kamis. Dan mereka tidak akan pernah “tidur” dan terus melawan dan Menolak Menjadi Lupa.

Karena hilangnya para putera terbaik bangsa adalah bencana dan tidak hanya menjadi statistik semata!

Rindu kami seteguh besi/hari demi hari menanti/tekad kami segunung tinggi takut siapa?? semua hadapi…/Yang hilang menjadi katalis disetiap kamis nyali berlapis/Marah kami senyala api didepan istana berdiri…Yang hilang menjadi katalis disetiap kamis nyali berlapis/yang ditinggal takkan pernah diam/mempertanyakan kapan pulang?/aaaaaaaaaa…….aaaaaaa………..aaaaaa….

Dedy Hamdun HILANG Mei 1997

Ismail HILANG Mei 1997

Hermawan Hendrawan HILANG Maret 1998

Hendra Hambali HILANG Mei 1998

M Yusuf HILANG Mei 1997

Nova Al Katiri HILANG Mei 1997

Petrus Bima Anugrah HILANG Maret 1998

Sony HILANG April 1997

Suyat HILANG Februari 1998

Ucok Munandar Siahaan HILANG Mei 1998

Yadin Muhidin HILANG Mei 1998

Yani Afri HILANG April 1997

Wiji Tukul HILANG Mei 1998

HILANG…………………

Aku akan memburumu seperti kutukan… (Sajak Suara – Wiji Thukul)

*Penulis adalah Alumni Universitas Brawijaya dan Kepala Dept. Riset Lembaga Edukasi dan Advokasi (LEAD) NTB.

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…