Opini

Pilkada Bima 2020, Ironi Petahana, Fenomena Instanisasi Politik

271
×

Pilkada Bima 2020, Ironi Petahana, Fenomena Instanisasi Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ilham AR*

Pilkada Bima 2020, Ironi Petahana, Fenomena Instanisasi Politik - Kabar Harian Bima
Ilham AR. Foto: Ist

Sejatinya, “visi” tidak diukur dari apa yang telah dilakukan melainkan apa manfaat dari setiap tindakan. Sejauhmana kebermanfaatannya berdampak luas dan positif bagi kesejahteraan rakyat, secara merata dan berkeadilan, tanpa diskriminasi. Jika tindakan seorang pemimpin biasa saja, dipastikan capaian visinya nihil, karena itu butuh tindakan luar biasa untuk melakukan perubahan jika visi dipahami sebagai gagasan perubahan.

Pilkada Bima 2020, Ironi Petahana, Fenomena Instanisasi Politik - Kabar Harian Bima

Sebut saja, gagasan ‘Bima religius’ sebagai salah satu serpihan “BIMA RAMAH” sebagaimana visi daerah 2015-2020, tentu tidak dimaksudkan sebagai agenda untuk membentuk tradisi ritual keagamaan, namun lebih pada pembentukan karakter manusia yang memiliki akhlak yang luhur. Keluhuran akhlak itu yang membentuk kejujuran, rendah hati, toleransi dan tidak menyimpang. Begitupun dengan gagasan Bima handal, kendati kata handal tidak ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), namun dapat dipahami konsepsi handal sebagaimana dimaksud bermuara pada lahirnya keunggulan daerah dari banyak sisi.

Dalam konteks itu, unggul dari sisi komoditi jika terkait SDA, unggul dari sisi pelayanan jika terkait birokrasi, unggul dari sisi prestasi dan karya jika terkait SDM, unggul dari sisi pengawasan jika terkait manajemen, unggul dari sisi kemandirian jika terkait pengelolaan potensi, unggul dari sisi komunikasi jika terkait investasi dan unggul secara politik dalam hal membangun bargaining baik dengan daerah lain, dengan pemerintah pusat maupun dengan pihak non government organization (NGO).

Konsepsi unggul dalam pendekatan marketing adalah keniscayaan sebagai sebuah “Brand Image” dalam merebut dan menguasai pasar. Ironisnya, saya tidak menemukan apa yang menjadi Branding bagi daerah Bima tercinta selain pemberitaan yang melulu negatif. Saya menyadari betapa Bima tidak seburuk yang terlihat di layar kaca, ada berjuta hal positif yang gagal ditampilkan daerah akibat tidak cakapnya pemerintah mengelola informasi melalui optimalisasi peran kehumasan. Dalam perspektif itulah, bisa dikatakan bahwa Indah Damayanti Putri- Dahlan harus rela dan berbesar hati mengakui bahwa mereka gagal mewujudkan visinya.

Elite Bermental Mie Instan

“Prestise” sering mengaburkan arti penting “Prestasi”. Walhasil citra lebih dominan dari karya. Menjadi wajar ketika banyak yang mendadak tersohor dan tampil seolah paripurna, tidak ubahnya sebungkus mie instan yang sangat menggoda dari sisi pesona, terlebih aromanya. Namun tidak bagi keterpenuhan nutrisi, karena itulah tidak seorang pun ahli gizi yang menyarankan itu dikonsumsi, sebab selain tanpa bobot nutrisi juga menjadi ancaman serius bagi gangguan kesehatan organ tubuh.

Ilustrasi mie instan hemat saya cukup nyambung dengan perkara pilihan, entah itu profesi, jodoh, termasuk soal memilih pemimpin, sebab faktanya tidak sedikit orang menyesali diri dan terpaksa mengorbankan masa depan akibat jebakan pesona dan aroma yang kesemuanya hanya karena “polesan” dan keterpenuhan hasrat sesaat. Celakanya, tidak sedikit yang menyadari dan tetap memilih bertahan dalam kepalsuan atas nama KE-AKU an, solidaritas perkawanan sempit, bahkan mungkin takut terjangkit penyakit Busung Lapar, entahlah!

Yang paling pasti, sedapat mungkin kita perlu senantiasa akan tetap menjadi pribadi dan kelompok yang rasional dan tentu tidak akan memilih mie instan sebagai alternatif keterpenuhan kebutuhan hidup, melainkan fokus pada esensi dan substansi. Ini berlaku dan alarm untuk mengingatkan kita semua akan bahaya, bukan hanya penguasa yang lahir dari instanisasi politik citra dan kapitalisme-dinastokrasi-borjuasi, tapi juga “oposisi” setengah hati yang berlaku instan juga, kering dari ide-ide fundamental dan aplikatif untuk mengatasi persoalan yang sebenarnya.

Jika yang kaum kapitalis yang surplus duit beserta elite ber-trah bangsawan menjual diri dengan identitas borjuasi, lalu kenapa rakyat tidak bisa mengasosiasi diri dengan identitas kerakyatannya. Bukankah itu mestinya menjadi sebuah “hukum causal” dalam konsolidasi politik?

Perjuangan keadilan sebagaimana yang tercatat dalam sejarah dunia menunjukkan bahwa perjuangan rakyat dan pertentangan kelas sosial lah yang melahirkan konsep keadilan (bukan keadilan kelas melainkan keadilan sosial). Konsepsi keadilan sosial menjadi rumusan rencana perjuangan jangka panjang bagi perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata. Dengan kata lain muskil bagi adanya kesejahteraan jika kekuasaan masih dipegang oleh mereka yang meng-identifikasi diri sebagai kalangan bangsawan yang mengapitalisasi darah biru dan narasi aristokrasi.

Dalam praktik kekuasaannya, mental bangsawan cenderung ingin dilayani, mental upeti, anti kritik. Yang utama, mereka anti kepada orang orang berakal (intelektual kritis-transformatif), Kenapa? Karena orang berakal adalah ancaman serius bagi kokohnya dinasti kekuasaan. Dinastokrasi yang bercap darah biru doyan merawat legitimasi kekuasaan melalui kapitalisasi simbol-simbol sejarah yang meninabobokan.

Lalu kenapa hal itu masih terawat dan cenderung menjadi tren? Apakah sudah tidak ada manusia yang ber-akal dan kaya pengetahuan? Tentu saja ada dan banyak. Namun ironisnya kebanyakan mereka yang mengklaim diri sebagai kaum berakal jarang ditopang dengan etika-spiritual yang tinggi. Akhirnya tergelincir, miskin dari sisi integritas.

Menempuh Jalan Kerakyatan

Oleh sebab itu, kaum berakal perlu didukung dengan kekayaan iman. Manakala iman tidak melekat dalam proses aktualisasi pemikiran itu, bakal mengakibatkan kebahayaan. Sebab keyakinan tidak lagi bertumpu pada kekuasaan yang tidak terlihat. Tuhan tidak lagi diyakini sebagai satu satunya zat dengan segala ke-Maha-annya, yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginan-NYA tanpa perlu takut ditinggalkan umat beragama sebagaimana kekuasaan takut kehilangan legitimasi jika rakyat meninggalkannya.

Sudah saatnya rakyat (kita semua termasuk saya) menyadari dan merekonstruksi struktur berpikir betapa perkara legitimasi menjadi hak milik yang melekat dalam era politik berbasis demokrasi langsung, bukan pinjaman apalagi hadiah dari kalangan “bangsawan”. Justru legitimasi telah kita pinjamkan kepada mereka yang hari ini memegang kekuasaan dan haruskah legitimasi itu diserahkan kepada mereka yang menjual identitas kebangsawanan dan terbukti telah ingkar janji? Kita perlu membangun legitimasi legal-rasional untuk menghantarkan bangsa, negara dan khususnya daerah kea rah kemajuan yang ril dan konkret.

Kita dituntun melalui doktrin nilai-nilai agama yang substansial dan ideology kerakyatan untuk memilih pemimpin yang amanah, pemimpin yang mau berada pada urutan paling depan untuk menyelesaikan kesulitan rakyatnya. Pemimpin yang rela berada pada barisan yang paling belakang dalam urusan “perut”. Biarkan rakyatnya makan terlebih dahulu.

Kita perlu menghindari pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri, dan mendahulukan keluarga dan kelompok tanpa mempertimbangkan lelah, letih dari proses panjang antrian selayaknya pengembala yang punya harapan suatu saat dapat menjadi “juragan”. Karena itu, menjadi pemimpin perlu proses, dekat dengan akar rumput, rekam jejak dan keberpihakan yang jelas pada kepentingan publik, bukan hasil polesan dan gincu.

*Sekjen BMMB 2019-2022, dan Ketua DPP KNPI

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…