Opini

Corona, Jomblo dan Lelaku Sufi

325
×

Corona, Jomblo dan Lelaku Sufi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mawardin*

Corona, Jomblo dan Lelaku Sufi - Kabar Harian Bima
Mawardin. Foto: Ist

Bagi orang yang sudah menikah, mengisolasi diri di tengah pandemi global Virus Corona (Covid-19) – jika dimaknai secara positif, bisa dikatakan sebagai kesempatan emas untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, bahkan ‘making love’ secara masif. Reproduksi dan regenerasi pun berjalan terstruktur dan sistematis. Tapi bagaimana nasib kaum jomblo?

Corona, Jomblo dan Lelaku Sufi - Kabar Harian Bima

Belakangan ini, semenjak jaga jarak (physical distancing) dikampanyekan, kerja dari rumah (work from home) digaungkan, maka jomblo pun kian tersudutkan. Tanpa bermaksud playing victim, seakan-akan jomblo berlipat ganda kegelisahannya. Resepsi pernikahan yang menciptakan kerumunan juga dibatasi, bahkan dilarang saat ini. Perkara isolasi diri sih sudah biasa berhari-hari bagi jomblo, sekalipun datang malam minggu yang menegangkan itu.

Namun demikian, jika dimaknai secara positif, inilah saatnya bagi jomblowan/wati untuk mengenali diri sendiri secara hakiki. Sejatinya itu tirakat tingkat tinggi. Inilah saatnya bagi para golongan tuna pelukan tersebut untuk bermuhasabah dan berkontemplasi. Tetap tenang. Perkuat iman, imun dan aman.

Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada korelasinya antara klasifikasi kelas (jomblo maupun non jomblo) dengan jatuhnya korban karena corona. Siapa pun bisa berpotensi terpapar wabah itu. Itulah pentingnya bagi kita untuk mengikuti kaidah sains (medis), anjuran para pakar, himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan instruksi pemerintah. Adapun jomblo itu sebagai segmen khusus yang memerlukan terapi tersendiri. Jadi, apa yang mesti dilakukan para jomblo di tengah geger corona ini?

Tidak ada ritual yang khusyu’ saat isolasi diri selain membaca buku. Kalau tak suka membaca, bisa main game dan memonitor media sosial. Dengan catatan, ketika berselancar di dunia maya, tak perlu memperkeruh suasana dengan menulis status facebook yang provokatif misalnya, lantas menyalahkan sana-sini, kritiklah sewajarnya, sumbanglah usulan yang konstruktif, jangan sebar hoax, hindari pamer kekuasaan dan kekayaan di tengah suasana duka saudara-saudari kita sebangsa yang terpapar corona, terkapar di rumah sakit bahkan wafat. Tahan diri dulu.

Bagi hartawan, mulailah membagi dan menyedekahkan sebagian hartanya untuk para korban, membantu tenaga medis, menyediakan fasilitas, meringankan beban pekerja harian yang terhimpit ekonomi karena corona. Bagi penguasa dan elite, gunakan otoritasnya untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar solutif, bukan menambah sengkarut masalah. Bagi agamawan, berilah siraman rohani yang menenangkan dan memupuk harapan umat, bukan menggiring mereka ke kubangan acara ritual bersifat massal. Bagi kelompok masyarakat sipil, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, mari turun gunung mewakafkan tenaga kita menjadi relawan untuk menggalang dana dan menyalurkan bantuan buat mereka yang membutuhkan.

Ada jenis buku yang relevan dan khos untuk dibaca saat isolasi diri, misalkan buku biografi, seputar cinta, kisah humor sufi. Selebihnya, tentu membaca buku apa saja di rumah atau kos. Yang penting produktif. Selanjutnya menulis. Sambil isolasi diri di rumah atau kos, kita bisa ‘membunuh’ kesepian dengan kegiatan tulis-menulis baik versi serius maupun rileks.

Menulis memang jalan sunyi, tapi sejatinya ramai melalui nyanyian batin, berdansa dengan semesta dalam rangka menghadirkan makna. Menulis juga bisa dimaknai sebagai bentuk pelayanan bagi manusia dan kemanusiaan. Apa-apa yang kita ketahui (pengetahuan), kemudian berbagi adalah perbuatan yang mulia. Dengan cara itu pula, kita bisa menganalisasi keresahan, menenangkan jiwa dan memuaskan hasrat renungan.

Kita bisa menulis sesuai dengan kapasitas dan latar belakang akademik serta pengalaman profesional masing-masing. Di tengah kepanikan massal terkait corona ini, maka masyarakat sungguh menanti pencerahan dari kaum cerdik cendekia agar tidak mengalami disorientasi. Corona telah menjadi isu global, maka membahas corona pun tidak hanya satu pendekatan saja, tapi bersifat multi-disipliner. Bagi intelelektual-jomblo yang gemar menulis, maka kupaslah corona ini di bilik-bilik kesunyian dari sudut pandang yang beragam, dari perspektif medis, ekonomi-politik, hubungan internasional, sosiologi, biologi, kimia, fisika hingga metafisika.

Lelaku Sufi

Isolasi diri saat ini sejatinya sejalan dengan lelaku sufi yang dikenal dalam ilmu tasawuf sebagai khalwat (menyepi). Maka kabar gembira bagi para jomblo untuk menikmati isolasi diri itu, memencil dari pusaran keramaian yang bising. Hindari kontak fisik dan interaksi yang menyeret kita ke dalam hiruk-pikuk kerumunan. Jaga kesehatan. Rajin cuci tangan dengan sabun dan tingkatkan kualitas maupun kuantitas mandi.

Dalam tradisi sufi, khalwat adalah menyepi untuk sementara waktu, yang lazim dipraktikkan oleh pelaku suluk dalam berbagai aliran tarekat. Itu bagian dari tangga menuju kesufian sejati. Berdzikir kepada Allah SWT, seraya bertafakkur. Menengok langit meski raga menapaki bumi. Sebab, ada kalanya instrumen sains menemui kebuntuan, maka cita rasa imanlah yang memberi jalan terang. Setelah ikhtiar manusiawi dilakukan, maka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita semua memohon perlindungan dan kekuatan lahir-batin.

Bagi jomblo, inilah momen yang tepat untuk mempertebal kesufian dalam diri, tapi jangan berkhalwat dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Khalwat bagi para salikin dan pengamal tarekat hakikatnya bertujuan untuk mengaktifkan radar kebatinan, memancarkan ion positif dan membentengi diri dari serangan ion negatif. Lelaku sufi dapat diadopsi oleh kaum jomblo dalam menopang revolusi sunyinya. Dalam konteks yang lebih luas, khalwat adalah terapi yang manjur untuk mencegah penyebaran virus corona.

*Ketua Bidang Penelitian & Pengembangan Dewan Pengurus Pusat Badan Musyawarah Masyarakat Bima (DPP BMMB)

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…