Opini

Menularkan “Virus” Bima Raya Dalam Kerangka Kerja Sama Daerah

832
×

Menularkan “Virus” Bima Raya Dalam Kerangka Kerja Sama Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Faqih Ashri*

Menularkan “Virus” Bima Raya Dalam Kerangka Kerja Sama Daerah - Kabar Harian Bima
Faqih Ashri. Foto: Ist

Dua puluh tahun bukan usia yang pendek. Jika diibaratkan pertumbuhan seorang insan manusia, di usia 19-39 tahun merupakan fase quarter life crisis. Begitu para psikolog mengenal fase ini. Fase ini menjadi pertanda transisi dari fase remaja menuju dewasa, yang sangat rentan untuk mengalami tekanan. Orang tua akan mengharapkan anaknya yang telah berusia dewasauntuk bisa mandiri, mampu dibebankan tanggung jawab. Apakah dia sudah cukup “dewasa” untuk menerima tanggung jawab itu, atau masih harus dituntun oleh orang tuanya? Disitulah tekanan itu datang dalam berbagai bentuknya.

Menularkan “Virus” Bima Raya Dalam Kerangka Kerja Sama Daerah - Kabar Harian Bima

Fase Pembangunan

Jika analogi kedewasaan tersebut ditarik pada ranah pembangunan daerah, memang tidak akan jauh berbeda. Fase pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 tahap; masyarakat tradisional, persiapan tinggal landas, tinggal landas, menuju kematangan, dan konsumsi massal. Fase masyarakat tradisional ditandai dengan kegiatan bertani dan barter. Fase persiapan tinggal landas ditandai dengan ciri sebuah daerah telah mengandalkan barang dan jasa dan telah tersedia transportasi pendukung mobilisasi barang dan jasa. Fase tinggal landas dicirikan dengan peningkatan industrialisasi di suatu daerah, sehingga ekonomi beralih ke arah manufaktur. Fase menuju kematangan dicirikan dengan diversifikasi ekonomi berupa pengembangan kawasan produksi, dan mulai bergantung pada kegiatan impor bahan baku. Terakhir, fase konsumsi massal, merupakan puncak tertinggi sebuah daerah, yang ditandai dengan sebuah daerah semakin fokus pada produksi barang dan jasa, bahkan bisa di ekspor kelebihannya.

Melihat tahapan dari Rostow, artinya bahwa sebuah daerah tidak ujug-ujug langsung menjadi maju, namun melalui berbagai proses panjang. Mungkin sedikit berbeda kasusnya pada daerah yang dibangun baru secara instan sebagai TheNew Ibukota Negara di daerah Penajam Paser Utara sana. Umumnya, setiap daerah di era desentralisasi ini memiliki kapasitas yang berbeda, baik secara fiskal, kelembagaan, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia. Seakan menyadari perbedaan kapasitas dan kapabilitas daerah yang berbeda-beda tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Kerja Sama Antar Daerah, kemudian didetailkan lagi dalam Permendagri Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah dengan Daerah Lain dan Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga. Pemerintah daerah tinggal mengoperasionalkan saja amanat dalam aturan-aturan tersebut dalam bentuk kerja sama nyata, tentu saja dengan prinsip keterbukaan, saling melengkapi kekurangan dan saling mempelajari kelebihan potensi daerah masing-masing.

Kerja Sama “Bima Raya”

Kota Bima mekar dari Kabupaten Bima sejak tahun 2002, kini beranjak memasuki usia 20 tahun. Harus diakui bahwa perkembangan daerah pemekaran akan berbeda dengan sebuah daerah baru hasil pengembangan lahan, seperti kota-kota satelit hasil reklamasi pantai, misalnya. Daerah pemekaran akan selalu berkutat dengan persoalan serah-terima aset yang notabene masih berada di wilayah administrasi daerah yang memekarkan diri. Persoalan tersebut semakin pelik jika terkait infrastruktur dasar, seperti jaringan pipa air minum, bangunan-bangunan bernilai sejarah tinggi, serta tetek bengek hal-hal administratif yang mengikutinya. Effort kedua pemerintah daerah otomatis akan terserap banyak dalam usaha menuntaskan persoalan aset ini, sebelum berpikir jauh mengenai kerja sama tingkat lanjut yang bisa terjalin antara keduanya. Komitmen pemimpin sangat penting untuk melihat celah kekurangan dan kelebihan di antara kedua daerah yang akhirnya berbatasan langsung secara administratif ini.

Dahulu, sebelum memekarkan diri dari Kabupaten Bima, Kota Bima memang menunjukkan tipologi perkotaan yang berkembang pesat di bawah dorongan sektor perdagangan dan jasa. Kegiatan cikal bakal perdagangan dan jasa yang berkembang pesat itu tumbuh di sekitar pusat pemerintahan kesultanan (ASI Mbojo) yang berada dekat dengan dermaga sebagai pusat mobilitas para pedagang lintas pulau, bahkan lintas negara. Kini, seiring perkembangan zaman, hingga kini sektor perdagangan dan jasa tetap menjadi penyumbang terbesar dalam Product Domestic Regional Bruto(PDRB) Kota Bima. Sementara Kabupaten Bima mendapatkan PDRB yang luar biasa dari sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (data Kota dan Kabupaten Dalam Angka BPS, 2021). Ini artinya, secara tipologi kedua daerah ini memang sudah berbeda. Permasalahan yang umum terjadi di Indonesia adalah, setiap daerah sudah menyadari perbedaan yang ada, termasuk kekurangan dan kelebihannya, namun belum banyak yang membangun kerja sama, dalam arti kolaborasi yang sesungguhnya. Satu saja contoh, menurut disertasi (Warsono, 2019) yang meneliti beberapa daerah di Jawa Tengah, mendapatkan bahwa beberapa pemerintah lokal lebih merasa permasalahan internal bisa diselesaikan sendiri, padahal kapasitas daerahnya terbatas.

Saya ingin mengatakan bahwa, jika memang sudah disadari bahwa perkembangan Kota Bima dan Kabupaten Bima mengarah pada tipologi yang berbeda, maka kenapa tidak dikolaborasikan dalam nota kesepahaman yang resmi? Luas wilayah Kota Bima yang hanya sekitar 5% saja dari luas total Kabupaten Bima. Sementara jumlah penduduk Kabupaten Bima berjumlah 3 kali lipat total jumlah penduduk Kota Bima. Semua ini membuat tipologi yang memberi tekanan yang berbeda dalam permasalahan daerah. Semua ini menjadi sinyal yang baik untuk membangun kerja sama yang saling melengkapi dalam bentuk aksi kolaborasi. Ide kerja sama kolaborasi itu, menurut saya, dapat dilakukan dalam beberapa bidang, di antaranya : 1) Kabupaten Bima yang selalu menjadi “lumbung pangan” bisa fokus meningkatkan diversifikasi pangan ini dalam bentuk bahan baku, sementara Kota Bima bisa mengonsumsi seraya memikirkan teknologi pengolahan yang membuat nilai tambah bagi bahan baku untuk dipasarkan kembali; 2) Kota Bima bisa menjadi transit city yang menarik bagi wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke destinasi wisata yang ada di Kabupaten Bima. Bagaimana agar Kota Bima mendapat multiplier effect dari kunjungan wisatawan di Kabupaten Bima? Perlu branding, advertising, and selling(BAS) bersama menjadi sebuah paket wisata Bima Raya. Kabupaten Bima menyediakan objek wisata dan atraksi wisatanya, sementara Kota Bima menyediakan amenitasnya (hotel, restoran, cafe, square, perbelanjaan, dan lain-lain). Dampaknya, tentu akan memperlama waktu singgah wisatawan di daerah. Baik wisatawan yang memang ingin berkunjung ke Bima, atau hanya ingin transit sebelum menuju Lombok atau NTT. Mereka tidak hanya datang foto-foto sekali, melainkan akan “ketagihan” untuk datang kembali;3) Wisatawan akan datang ke suatu daerah jika keamanan dan kenyamanan terjamin. Apakah daerah kita saat ini sudah bisa mewakili kondisi ini? Perlu kerja sama yang ektra keras perangkat keamanan dalam lingkup dua daerah ini untuk menciptakan keamanan wilayah. Lebih jauh, masyarakatnya sendiri harus mulai aware tentang betapa besarnya hambatan pertumbuhan daerah jika faktor keamanan masih menjadi isu utama; 4) Kolaborasi menciptakan kerangka aksi bersama dalam pemenuhan akses kebutuhan dasar juga perlu dipertimbangkan; air bersih, perbaikan jalan, target ODF sanitasi, penyediaan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, persampahan, dan RTH.

Contohnya saja, penjajakan peluang penyediaan air bersih dikolaborasikan antar daerah dengan konsep yang sama dengan PDAM Giri Menang di Mataram. Hal ini penting, karena dengan luas wilayah yang berbeda tentu ketersediaan sumber air juga terbatas. Sementara kebutuhan air bersih semakin meningkat seiring dengan laju petumbuhan penduduk. Begitu pula persampahan, tanpa teknologi tepat guna yang bisa mengolah kembali sampah, maka lahan TPA akan cepat penuh dan butuh lahan tambahan. Sementara TPA yang berada di atas dataran tinggi lama kelamaan bisa mengintrusi endapan cairannya ke permukiman warga yang ada di bawah; 5) Banjir adalah bencana alam yang sebenarnya wajib dikolaborasikan penanganannya lintas pemerintah daerah, sebab Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir melintasi daerah yang berbeda. Tugas koordinasi harus dijalankan oleh Balai Wilayah Sungai, namun yang paling krusial adalah nota kesepahaman dan kerangka aksi dari kepala daerah yang berbatasan ini dari hulu ke hilir untuk memotong segera mata rantai imbas banjir yang selalu mendatangkan kerugian miliaran per tahun. Infrastruktur yang telah dibangun di daerah “hilir” akan kembali rusak jika “hulu” belum dibereskan; 6) Kerja sama peningkatan IPM, sekaligus penjajakan kolaborasi menuju smart citymenjadi hal yang krusial. Pemkot Bima mulai berinisiatif membangun infrastruktur pendukung smart citymelalui command centre-nya, pemasangan wifi publik, dan pelaporan online. Dimensi smart city menurut Citiasia, yang turut diadaptasi oleh Kominfo setidaknya mencakup 6 aspek; smart governance,smart branding, smart economy, smart living, dan smart society, smart environment. Smart city tidak melulu terkait teknologi, karena teknologi dalam smart city hanyalah sebuah alat. Terpenting adalah bagaimana komitmen bersama setiap SKPD, tidak hanya Dinas Kominfo, untuk aktif bersama masyarakat menciptakan pemerintah yang terbuka (open data, data collaboration), branding bersama potensi daerah, kerja sama dalam peluang menciptakan sumber ekonomi baru, meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat, dan dibalut dengan lingkungan alami yang resilience (tangguh) dari bencana. Tingkatan lebih lanjut, aspek teknologi kemudian dapat diinjeksi ke dalam semua dimensi yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penerapannya, termasuk pemantauan secara real time dan pengambilan kebijakan yang cepat.

Jika dikerucutkan, maka saran dari saya terkait kerja sama antar daerah sebanyak 6 point di atas sangat sejalan dengan 6 dimensi smart city. Semoga dengan demikian, Kota Bima dan Kabupaten Bima bisa menjadi daerah yang lebih maju lagi di berbagai bidang. Kolaborasi itu penting, untuk “Bima Raya” saya, “Bima Raya” anda, “Bima Raya” kita semua. Selamat ulang tahun Kota Bima yang ke-20 tahun, semoga makin maju dan bersaing dengan kota lain.

*Penulis, Pemerhati Daerah

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…