Opini

Sistem Transportasi Kota Yang Meneduhkan?

965
×

Sistem Transportasi Kota Yang Meneduhkan?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Faqih Ashri*

Sistem Transportasi Kota Yang Meneduhkan? - Kabar Harian Bima
Faqih Ashri. Foto: Ist

Salah satu esensi penting dari penetapan tarif parkir di kota-kota besar sebenarnya adalah untuk menekan pergerakan kendaraan ke suatu tempat, sehingga orang-orang perlahan-lahan beralih ke kendaraan umum. Satu sisi, tentu saja kendaraan umumnya ditingkatkan kualitasnya. Itu di kota besar. Jika melihat kondisi kota kita yang lebarnya dari utara-selatan hanya sekitar 3,5 km dan dari timur-barat hanya sekitar 10 km, tergolong kota kecil. Oleh karena itu, perlu direncanakan dengan hati-hati perkembangan ke depannya, apalagi terkait transportasi.

Sistem Transportasi Kota Yang Meneduhkan? - Kabar Harian Bima

Berdasarkan Satu Data NTB, total pengguna kendaraan bermotor semua tipe (plat hitam) di Kota Bima mencapai 8.072 unit. Jenis terbanyak sepeda motor (6.741 unit), mobil pribadi jenis minibus (743 unit), pickup (342 unit), sisanya jenis lain-lain. Ini belum termasuk mobil penumpang plat kuning dan mobil dinas (plat merah). Jika saya perbandingkan dengan jumlah usia produktif (15-64 tahun) yang jumlahnya sekitar 100.000 jiwa di data BPS, maka artinya setiap 100 orang setidaknya ada 8 orang pemilik kendaraan pribadi (8%).

Masalahnya ketika 1000 mobil pribadi melintas bersama di satu jalan, entah di Soekarno-Hatta atau Gadjah Mada, dengan dimensi satu mobil bisa menghabiskan sekitar 8 meter persegi, maka 1000 mobil akan bisa “memakan” jalan 8.000 meter persegi. Anggap dengan dimensi lebar jalan 8 meter, maka jalanan akan stuck sepanjang 1 km. Ini belum ditambah dengan hambatan samping, seperti parkir diatas badan jalan, bisa lebih panjang lagi macetnya. Ini hanya buat renungan saja. Betapa kecilnya kota kita di hadapan permasalahan transportasi yang menghantui di masa depan.

Apa masalahnya dengan kendaraan pribadi? Kenapa begitu penting? Ini termasuk masalah saya juga, masalah kita bersama. Jika kendaraan pribadi bisa muat maksimal 7 orang, tapi biasanya hanya dipakai sendiri atau berdua. Jadi jika ada 40 kendaraan pribadi melintas, dia akan “makan tempat” yang sangat besar. Namun jika semua supir kendaraan pribadi itu dipindahkan ke bus ukuran kecil dia hanya akan “makan tempat” di jalan seukuran satu bus itu saja. Belum lagi efek karbon dan polusi yang bisa ditekan dengan sangat minim jika menggunakan satu kendaraan saja. Ditambah lagi dengan kemungkinan kecelakaan yang bisa lebih minim. Pemborosan energi tak terbarukan dari bensin pun bisa dikurangi. Orang-orang yang berjalan kaki pun lebih merasa aman dari ancaman padatnya kendaraan yang lalu lalang.

Kembali ke topik yang dimuat dalam harian Kahaba, bahwa sistem retribusi parkir sudah mulai ditertibkan. Muatan yang diatur antara lain : retribusi parkir kini diambil alih langsung oleh Dishub, tidak lagi dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Pihak dishub sudah membuat MoU (nota perjanjian) dengan para juru parkir tentang tarif yang berlaku, satu tarif untuk semua lokasi. Dimana pun kita parkir, Rp 2.000 untuk motor dan Rp 4.000 untuk mobil, termasuk di acara hajatan di Paruga Na’e dan Gedung Seni Budaya yang buat sebagian orang mulai meresahkan. Perwakilan dishub akan berdiri di samping para juru parkir guna memastikan tidak ada pelanggaran. Ini bagian dari kesepakatan.

Bagi saya ini sebuah terobosan yang baik, menyusul kebijakan jalan satu arah yang beberapa tahun sudah diterapkan. Hanya saja kebijakan-kebijakan ini perlu konsistensi dan komitmen tingkat tinggi dalam penerapannya di lapangan. Aturan sering kali jadi strategi baru beberapa oknum untuk mencari celah untuk menyiasatinya. Beberapa dari kita memang masih menjadi masyarakat yang bertipe “harus ditemani”. Artinya di lampu merah harus ada petugas berwajib yang “menemani”, di tempat parkir harus ada petugas berwenang yang “menemani”, di tempat umum juga harus “ditemani” petugas untuk membersihkan sampah yang dibuang sembarangan. Semua serba harus “ditemani”. Begitulah..

Masa depan tidak akan pernah menjadi semakin mudah. Pertambahan jumlah penduduk, tekanan ekonomi, dan sejumlah permasalahan sosial turunannya, akan membawa tugas yang semakin berat bagi pemerintah kota kita. Tidak akan bisa pemerintah bergerak sendiri. Di negara maju, peran pemerintah semakin kecil, inisiatif-inisiatif pembangunan mulai dikolaborasikan oleh masyarakat dan swasta. Tugas pemerintah jadi sangat ringan, tinggal mengkoordinasikan dan menjadi penengah bagi inovasi-inovasi publik. Harapannya, begitu pula perkembangan kota kita ke depan. Masyarakat dan swasta tidak boleh hanya jadi “penonton”. Selain jadi objek pembangunan, juga berperan sebagai subjeknya itu sendiri.

Contoh kecil, jika masyarakat sudah tahu bahwa parkir kendaraan di atas jalan umum akan menambah kemacetan, maka saat membangun toko atau swalayan baru, maka sekaligus dibuatkan basement di lantai dasar untuk parkir customer. Jika sudah tahu bahwa naik kendaraan pribadi adalah pemborosan dan penyumbang kemacetan, maka utamakan transportasi umum, sepeda, atau jalan kaki (jika jaraknya pendek). Bahkan swasta bisa menginisiasi bus ramah lingkungan untuk transportasi umum.

Selain itu, jika masyarakat tahu bahwa jalan umum punya aturan sempadan yang kalau dilanggar akan menghambat laju kendaraan di jalan, maka tidak lagi asal “memajukan” bangunan sampai ke bibir jalan bahkan dibangun di atas selokan jalan utama. Semua dari kita adalah berlaku sebagai kontributor, entah sebagai kontributor untuk kemajuan dan perbaikan kota, atau bahkan kontributor bisa menjadi kontributor untuk kemundurannya. Pilihan itu ada pada diri kita masing-masing. Intinya kota ini adalah tempat buat anak-cucu kita ke depannya.

*Penulis, Pemerhati Daerah