Kota Bima, Kahaba.- Kerusakan hutan di wilayah perbatasan Kecamatan Lambitu dan Wawo Kabupaten Bima kini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan, hampir 80 persen kawasan hutan di wilayah ini telah rusak, sementara aktivitas pembabatan masih terus berlangsung tanpa kendali.
Pemerhati lingkungan Gizan mengungkapkan, hingga saat ini aktivitas pembabatan hutan masih intens berlangsung di kawasan perbatasan Kecamatan Lambitu dan Wawo. Celakanya, yang paling merasakan dampak bukan warga di sana, tapi masyarakat Kota Bima di bagian hilir.
“Musim hujan hanya tidak lama lagi, dan ancaman banjir bandang besar seperti yang terjadi pada tahun 2016 berpotensi kembali terjadi. Bahkan, skala bencana kali ini bisa lebih dahsyat jika kerusakan hutan tidak segera dihentikan,” ungkapnya memperingatkan, Selasa 14 Oktober 2025.
Ia pun mendesak Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima segera mengambil langkah konkret, termasuk menghentikan aktivitas pembabatan hutan dan audit tata kelola lahan di wilayah perbatasan.
“Jika tidak segera disikapi, banjir bandang yang lebih besar dari tahun 2016 hanya tinggal menunggu waktu. Kota Bima akan menanggung akibat dari kelalaian dan lemahnya pengawasan ini,” tegasnya.
Di tengah situasi krisis lingkungan yang begitu parah ini sambung Gizan, muncul kejanggalan baru di kawasan hutan resapan yang menjadi benteng terakhir bagi Kota Bima.
Ia menyoroti pembangunan sebuah bangunan baru di titik koordinat 8°32’45”S 118°49’15”E, atau sekitar 400–500 meter arah tenggara dari puncak Doro Na’e (Lampe–Lambitu).
Bangunan tersebut, kata Gizan, diduga dibangun oleh pihak BKPH Maria Donggomasa dan disebut-sebut sebagai pos peristirahatan atau pos patroli hutan.
Namun, yang mencurigakan justru bukan fungsi bangunannya, melainkan lokasinya yang tumpang tindih dengan area yang telah dipatok oleh Pemerintah Desa Pesa atas nama Kelompok Tani Hutan (KTH) Oi Sie Lestari.
“Ini aneh. Di tengah klaim kawasan lindung, tiba-tiba muncul bangunan baru. Di sisi lain, hanya 300 meter ke arah timur dari titik itu, terdapat area tambang rakyat yang telah mendapat izin IPR (Izin Pertambangan Rakyat) dari Kementerian. Jadi, bagaimana sebenarnya tata kelola ruang dan fungsi hutan di sana?,” sorot Gizan.
Ia menambahkan, langkah cepat untuk menghentikan semua ini harus segera dilakukan. Jangan sampai ancaman bencana akibat pembiaran secara terus menerus dan tanpa pengawasan ketat berujung pada petaka alam kehidupan berikutnya.
*Kahaba-01













