Oleh: Mawardin*
Bulan puasa ramadhan sudah berlalu. Idul Fitri dengan semarak lebaran yang menyertainya telah dirayakan sebagai hari kemenangan oleh kaum muslimin dan muslimat sedunia, tak terkecuali umat Islam di Indonesia. Menang karena lolos ujian dalam lelaku batin berpuasa, menahan makan dan minum serta segala hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari berdasarkan rukun dan syarat tertentu. Dengan begitu, paling tidak – orang Islam dapat meningkatkan manajemen pengendalian diri dari perbuatan cela yang kontra-produktif. Juga mengasah nurani, menjernihkan pikiran untuk mengutamakan rasa kepedulian sosial kepada kaum marginal atau kaum yang lemah (mustadh’afin).
Adapun Idul Fitri dimaknai sebagai kembali pada kesucian, ibarat bayi yang baru lahir. Apalagi ucapan mohon maaf lahir dan batin antara sesamasudah sudah menjadi konser spiritual lewat momen Idul Fitri. Lebih dari itu, jalinan silaturrahmi semakin erat dan penuh makna yang mendalam. Kaum perantau yang sempat mudik ke kampung halaman, selain menemui keluarga dan kerabat, seakan kurang lengkap manakala belum menjumpai kawan lama, untuk bernostalgia, berkisah dan berbagi. Maka diadakanlah reuni sebagai tradisi tahunan yang telah mengakar. Inilah wajah sosiologis umat Islam sebagai dampak positif dari ibadah puasa yang khas, dengan harapan terbentuk insan yang bertakwa. Muslim ideal, semestinya tidak sekadar berorientasi kesalehan personal, tapi juga kesalehan sosial, bahkan juga kesalehan politik.
Terlebih, saat ini adalah tahun politik. Hal ini ditandai dengan momen Pilkada Serentak 2018. Bima – NTB sebagai salah satu daerah yang terbilang Islami, perlu memaksimalkan potensi sumber daya kultural tersebut, yakni bagaimana mentransformasikan nilai-nilai Islam, hikmah puasa, spirit kesucian dan kebersamaan yang terkandung dalam silaturrahmi itu ke dalam perilaku politik dalam arti luas. Elite politik dan masyarakat umum perlu menjiwai semangat persaudaraan dalam konteks pembangunan daerah khususnya, maupun pembangunan bangsa dan negara pada umumnya.
Dalam perspektif politik, kini kita sedang menikmati suasana demokrasi dengan partisipasi publik yang seluas-luasnya dan seleksi kepemimpinan yang dilakukan secara demokratis. Kalau kita berkaca pada kenduri demokrasi lokal Pilkada Bima 2015, suasananya cukup kondusif, relatif aman, tertib dan terkendali, kendati ada riak-riak kecil. Rapor biru pelaksanaan demokrasi lokal itukemudian berlanjut di kontestasi Pilkades serentak 2016,yang berjalan secara demokratis tanpa kekisruhan yang massif.
Dengan demikian,kita berharap agarpemilihan Walikota Bima 2018 ini, berjalan aman, demokratis dan damai. Begitu pula pada pemilihan Gubernur NTB 2018. Hikmah puasa ramadhan harus tetap melekat pada masyarakat muslim, yaitu bagaimana memelihara rasa takwa, bisa mengendalikan diri dari amarah, dendam, buruk sangka dan berkata kasar. Ketakwaan ini sejatinya selaras dengan nilai kearifan lokal Bima dalam apa yang disebut sebagai budaya Maja Labo Dahu(Malu dan Takut). Kalau diterjemahkan dalam akhlak berdemokrasi yang riil, bahwa malu rasanya bagi orang muslim manakala suka marah-marah, penuh kecurigaan berlebihan pada orang lain, apalagi saling caci maki di media sosial. Beda pilihan boleh, sah-sah saja di alam demokrasi, asalkan tetap menjaga persatuan dan persaudaraan. Selanjutnya kita menyadari sepenuh hati bahwa segala macam perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan. Artinya, kita takut kepada Allah SWT dari tindakan yang menyimpang. Sementara itu, bagi pemimpin politik, segala macam sikap dan kebijakan yang mereka rumuskan dan kemudian diberlakukan, bukan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Islam itu, ya Cinta damai. Intinya menebarkan cinta dan kasih sayang, mencintai dan mengasihi antar sesama, sekalipun dalam kompetisi politik demokrasi. Ketika kita berbuat kerusakan, kerusuhan dan kekacauan, apalagi melukai sesama saudara se-muslim, saudara se-kampung dan se-tanah air, maka ritual peribadatan bahkan kadar keislaman patut dipertanyakan. Secara esensial, muslim sejati itu semestinya tidak hanya menjalankan ibadah ritual semata, seperti shalat, puasa, dan lain-lain, tapi juga harus beriringan dengan menjalankan ibadah sosial, misalnya gotong royong, saling membantu dalam kebaikan, peduli kaum yang lemah, harmonis dengan tetangga, menjauhi praktik korupsi, berbuat teror dan kekerasan.
Dalam konteks yang lebih universal, kepada pemeluk agama lain saja kita diperintahkan untuk menghormati dan menghargai serta mengedepankan etos toleransi, apalagi antar umat muslim. Maka sangatlah ironis hanya gara-gara kalah dalam percaturan politik misalnya, lantas kita berbuat buruk yang mencelakakan sesama warga. Karena itu, mental ‘siap menang siap kalah’ harus benar-benar diamalkan secara nyata. Begitu pula pada kompetisi lainnya, misalnya main bola, harus siap menang siap kalah, dan menunjukkan jiwa sportifitas. Kalau tak ada yang bermental siap kalah, akan jadi bola panas yang menyengat massa liar ke dalam tindakan brutal. Disini memang dibutuhkan kerendah-hatian yang mesti dilatih terus-menerus.
Untuk mengekang nafsu amarah yang merusak orang lain itu, kita punyaritual puasa sebagai teknik pengandalian stabilitas temperatur batin. Shalat berjama’ah juga punya makna penting, maka wajarlah ‘bonus’, atau pahala dilipatgandakan karena mengandung nilai-nilai sosial, mencerminkan lambang silaturrahmi dan merekatkan kebersamaan dan persaudaraan. Apalagi spirit Shalat Idul Fitri mendorong harmoni diantara kita agar mengedepankan rasa persaudaraan dan kedamaian. Kalau terjadi kekhilafan antar sesama, maka bersegera untuk saling meminta maaf adalah jauh lebih bijaksana ketimbang menanam benih permusuhan. Hal itu adalah manifestasi dari spirit Idul Fitri. Modal spritual tersebut sangat perlu sebagai pendorong demi tegaknya akhlak berdemokrasi.
Secara komunikasi politik, para aktor yang berlaga di pentas politik demokrasi dapat menyampaikan pesan-pesan politik, nilai dan gagasan yang berpijak di atas visi kerakyatan yang terang, menawarkan jawaban yang konseptual dan praktis terhadap persoalan yang dihadapi oleh lingkungan dan komunitasnya. Pada tataran kampanye, para kandidat mengedepankan promosi diri sesuai fakta objektif apa yang menjadi keunggulannya, dan tidak melancarkan kampanye hitam yang merusak cita rasa persaudaraan. Disinilah hikmah puasa untuk berpolitik secara jujur, apa adanya, danbersifat konstruktif bagi keadaban publik hingga menegakkan akhlak berdemokrasi.
*Penulis adalah Warga Persyarikatan Muhammadiyah, Aktivis HMI, Peneliti Pusat Studi Konflik Agama dan Budaya (PUSKAB) NTB