Opini

Best Practice, Filosofi dan Paradigma Bencana 

150
×

Best Practice, Filosofi dan Paradigma Bencana 

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Usman*

Kondisi banjir di Kota Bima. Foto: Ist

Kahaba.Net (24/10/2025) mengangkat berita “Kota Bima Jadi Contoh Nasional, Kemendagri Nobatkan sebagai ‘Best Practice’ Pengelolaan Banjir.” Penghargaan ini adalah hasil kerja kolektif berbagai pihak tanpa kenal lelah dan juga atas komitmen serius Pemkot Bima dalam penanganan bencana banjir. Kota Bima selalu berlangganan dengan banjir saban musim hujan. Bahkan Desember 2016 Kota Bima dilanda banjir bandang. Sepuluh tahun sebelumnya, April 2006, Kota Bima juga dilanda banjir besar. Bencana tersebut menelan korban jiwa sebanyak 2 orang yang berasal dari Kecamatan Asakota dan Kecamatan Rasanae Timur. Akankah 2025 ini, banjir kembali melanda Kota Bima, seperti yang dikhawatirkan seorang pemerhati lingkungan hidup beberapa saat lalu?

Sebagai warga, kita turut bangga atas capaian dinobatkannya Kota Bima sebagai  best practices dalam manajemen banjir. Best practices atau praktik baik merupakan istilah untuk mendeskripsikan pengalaman keberhasilan terbaik (Indayani, dkk., 2022). Best practice dapat diartikan pula sebagai suatu cara paling cakap (upaya paling sedikit) dan ampuh (hasil terbaik) untuk menyelesaikan suatu tugas, berdasarkan suatu tata cara yang dapat diulangi yang telah terbukti manjur untuk banyak orang dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ciri-ciri best practices : original, inovatif, kreatif, efektif, efisien, menginspirasi, cara terbaik, dan berkelanjutan.

Perlunya Memori Kolektif

Sejumlah bencana banjir dengan segala kerugian dan trauma yang pernah diderita masyarakat Kota Bima, semogamelahirkan memori kolektif. Apa perlunya memori kolektif?Memori kolektif adalah bagaimana suatu kelompokmengingat masa lalunya, melalui ingatan, nilai-nilai, narasi, dan kepercayaan bersama (Halbwachs dalam Mutiara, 2024).

Halbwachs (Wattinema, 2016), memori kolektif sebuah masyarakat diakui sebagai bagian dari ingatan bersama. Artinya, semua anggota masyarakat mengetahui isi dari ingatan tersebut, dan mengakuinya sebagai versi yang sah. Ingatan kolektif semacam ini tertanam juga di dalam pikiran kolektif masyarakat tersebut sebagai sebuah kelompok, misalnya dalam bentuk berbagai monumen dan cerita-cerita yang tersebar di masyarakat tentang masa lalu. Wattinema (2016) menambahkan bahwa cerita-cerita ini juga tersebar di masyarakat itu sendiri, dan diakui sebagai bagian dari identitas sosial masyarakat tersebut.

Memori kolektif secara unik terbentuk dari cerita yang dibuat oleh budaya, sosial, dan peristiwa sejarah (Brockmeier, 2002). Jadi, memori kolektif erat kaitannya dengan identitasdan budaya dari kelompok tertentu (Wertsch & Roediger III, 2008), dan memori tersebut dapat berkaitan dengan lingkupyang luas, seperti ranah nasional sampai kepada lingkup kecilyaitu keluarga.

Memori kolektif merupakan bagian konstruksi sosial yang memiliki makna sebagai suatu ingatan berproses yang pertama-tama berada dalam konteks sosial tertentu, diekspresikan dalam simbol-simbol sosial sehingga dapat dimengerti bukan saja oleh orang lain tetapi juga oleh diri sendiri sebagai makhluk sosial. Konstruksi sosial tersebut dibentuk oleh keprihatinan dan kebutuhan masa kini dengan proses mengingat konteks di masa lampau (Halbwachs dalamHandry, 2024).

Proses mengingat konteks pada tahapan ingatan individu ini bersifat fragmentaris, sehingga proses mengingat diartikan sebagai tindakan sosial dimana suatu ingatan terpicu jika diungkit melalui relasi antara individu dengan sesuatu yang lain dalam sebuah konteks. Memori kolektif sebagai konstruksi sosial merupakan gagasan yang sangat penting sebab membuka ruang bagi dampak-dampak sosial masa lalu terhadap masyarakat masa kini. Jadi kekuatan gagasan Halbwachs, terletak pada keyakinannya bahwa memori kolektif lahir karena kebutuhan sosial saat ini dengan mengambil masa lalu sebagai simbol yang diolah demi kepentingan masa kini (Halbwachs dalam Handry, 2024).

Crinson (2005) mencoba untuk menambahkan pengertian memori kolektif berdasarkan pada Halbwachs bahwa memori akan selalu berkaitan erat dengan pengalaman kolektif dan mencakup sekelompok orang. Crinson berpendapat bahwa memori juga membangkitkan dan mengingat kembali kebersamaan kelompok orang tersebut yang mengacu pada kejadian-kejadian sebelumnya, di mana biasanya proses ini akan menemukan satu momen khas yang membentuk identitas kolektif. Sama seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson sebelumnya. Hal ini yang disebutkan sebagai memori kolektif.

Dalam teori memori kolektif, Maurice Halbwachs (Mutiara, 2024) membaginya dalam tiga bagian yakni (1) kontinuitas ingatan, (2) kesadaran, dan (3) kehendak politis warga untuk melestarikan ingatannya.

Dalam kajian memori kolektif, sosiologi memainkan peran penting untuk mempelajari memori khususnya dalam konteks bencana. Sosiolog menganalisis bagaimana memori kolektif bencana dibangun secara sosial. Mereka mengeksplorasi bagaimana ingatan dibentuk, ditafsirkan, dan dikomunikasikan oleh individu, komunitas, dan institusi setelah bencana. Pendekatan sosiologis juga memeriksa bagaimana memori kolektif bencana membantu membentuk ikatan sosial dan menumbuhkan rasa ketahanan masyarakat. Bencana sering menyebabkan pengalaman trauma dan pemulihan bersama, yang dapat menghasilkan memori kolektif yang menyatukan individu dan meningkatkan solidaritas. Secara keseluruhan, pendekatan sosiologis terhadap memori kolektif bencana memberikan wawasan berharga tentang dinamika sosial setelah bencana. Mereka menerangi persimpangan pengalaman individu, narasi kolektif, dan kekuatan masyarakat yang membentuk ingatan akan peristiwa traumatis dan menginformasikan tanggapan masa depan terhadap tantangan serupa (Husaini, 2023).

Seorang sosiolog yang bernama Maurice Halbwachs (Husaini, 2023) berpendapat bahwa memori dipengaruhi kerangka sosial dan dibangun melalui interaksi dalam kolektif. Menurut Halbwachs, ingatan individu dibentuk oleh kelompok sosial. Memahami memori kolektif membantu menjelaskan bagaimana masyarakat membangun masa lalu mereka, mempertahankan identitas kolektif, dan membentuk masa depan dengan baik.

Mengutip Seil (2010), berbicara memori kolektif bukan hanya sekadar rekaman catatan sejarah masa lalu, tapi cerita atau catatan tersebut dapat turut mempengaruhi identitas dan memberi makna kehidupan sehari-hari.

Sam Wineburg juga menegaskan pernyataan Pierre Nora bahwa memori kolektif berperan sebagai sebuah penyaring. Menurut Sam Wineburg, rincian peristiwa-peristiwa sejarah semakin lama semakin kabur dengan berjalannya waktu, tetapi apa yang diingat atau terhambat (occluded) dari masa lalu terusmenerus dibentuk ulang oleh proses-proses sosial masa kini (Laksitaningrat, 2010).

Perlunya memori kolektif, agar kita mengingat peristiwa pahit di masa lalu akibat bencana banjir, agar kita dapat mengantipasinya dan terulang kembali, termasuk bencana banjir bandang yang pernah dirasakan oleh masyarakat Kota Bima hampir sepuluh tahun lalu.

Bencana Adalah Evil

“Bencana adalah evil, karena ia membunuh siapa pun, tak peduli orang baik atau jahat” (Albert Camus).

Telah lama manusia larut dalam antroposentrisme dan menjadi tolak ukur atas segalanya—homo mensura. Lewat antroposentrisme, yang sekaligus menyuratkan klaim manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup yang “berkesadaran” di semesta ini, ia melihat segala sesuatu di luar dirinya yang tak berkesadaran sebagai obyek, dan sekadar sebagai “pelengkap kehidupannya”. Binatang, tumbuhan, dan alam yang dinilai tak berkesadaran, seolah hanya hadir untuk melengkapi kehidupan manusia. Apa yang muncul kemudian tak hanya pola pikir atau tindakan untuk “mengobyekkan”, tetapi juga kesewenang-wenangan manusia terhadap berbagai entitas di luar dirinya (Nugroho dalam Usman, 2024).

Alfred Schutz (Nugroho, 2014) mengemukakan terdapatnya dunia mikro individu yang berada pada jangkauan individu, di mana ia—individu—bisa melakukan berbagai manipulasi atasnya. Manusia selalu meyakini berhadapan dengan realitas nyata sepanjang ia tak memiliki alasan tepat untuk menyangkalnya, inilah yang disebut sebagai “realitas puncak”. Namun, manakala manusia tak mampu menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai harapannya, maka ia pun akan menolak keberadaaan makna puncak, dan menggantinya dengan “makna khusus”.

Dalam kasus bencana, seringkali manusia tak mampu menerima kenyataan terjadinya bencana. Inilah yang kemudian memunculkan beragam makna khusus, dan sekaligus membuktikan eksistensi kesadaran yang bersifat terbagi—kesadaran yang terbagi. Dalam konteks psikologi Freudian, kehadiran makna khusus ini sesungguhnya memiripkan bentuknya dengan mekanisme alam bawah sadar penderita neurosis yang memunculkan delusi atau halusinasi untuk menenangkan dirinya, atau “untuk membuat segalanya masuk akal”. Meskipun memang, fenomenologi Schutz tak sampai menyentuh ranah kejiwaan tersebut, pun makna-makna khusus yang hadir di permukaan masih pada ambang batas “normal”, maksudnya, bentuk-bentuk pemaknaan yang meskipun berbeda antara satu individu dengan lainnya, namun tetap bisa diterima (baca: dimaklumi) antarsatu sama lain (Nugroho dalam Usman, 2024).

Bencana selalu menyebabkan kerugian besar menyangkut korban jiwa, kerusakan harta benda, dan timbulnya masalah sosial lainnya, jika tidak diantisipasi secara dini.

Kejadian bencana dari tahun ke tahun tidak menunjukkan penurunan. Bahkan berbagai data menunjukkan terjadinya eskalasi frekuensi dan magnitude kejadian bencana tersebut yang memerlukan perhatian semua pihak. Salah satu isu yang dihadapi dalam penanggulangan bencana adalah tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan tersebut akibat berbagai faktor antara lain kemiskinan, tingkat pendidikan, pengetahuan, kesadaran dan infrastruktur penunjang, dan ketersediaan informasi yang mudah diakses, dan sebagainya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan terkait di Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi bencana. Hal itu mengakibatkan tingginya korban jiwa maupun kerugian material yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya pengurangan risiko bencana dikembangkan melalui usaha-usaha peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.

Filosofi Indonesia Tangguh

Dalam perspektif ekologi, bencana dapat didefinisikan sebagai suatu proses fenomena alam yang terjadi dalam kerangka kausalitas ilmiah. Sedangkan dalam persfektif teologi, bencana adalah suatu kemutlakan kekuasaan Tuhan menjadi dasar dalam memahami bencana. Dalam konteks ini manusia memahami bencana sebagai musibah, ujian keimanan, teguran dan azab (Agustini, 2010).

Filosofi Indonesia Tangguh adalah lahirnya pribadi tangguh, keluarga tangguh, masyarakat tangguh, dan pemerintahan tangguh. Atau adanya tindakan, anticipatif, protectif, adaptif, dan resilient “cepat melenting balik.”

Dalam menyikapi sebuah bencana, ada empat filosofiyang dapat kita anut, yaitu: pertama, menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana (hazard); kedua, menjauhkan bencana dari masyarakat; ketiga hidup harmoni dan bersahabat dengan ancaman; dan keempat menumbuhkembangkan kearifan lokal (Syamsul Maarif, 2012).

Filosofi pertama menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana (hazard). Nick Carter (Juni AP., 2015)mendeskripsikannya sebagai kejadian atau peristiwa yang mungkin mengancam (possible threatening event). Istilah bahaya biasa digunakan oleh UN/ISDR dan para pelaku penanggulangan bencana yang berafiliasi dengannya. Sebagaimana untuk menentukan risiko digunakan pendekatan: R = H x V/C, di mana R adalah risiko (risk), H adalah bahaya (hazard), V merupakan kerentanan (vulnerability), dan C adalah kapasitas (capacity). Jika kerentanan meningkat dan/atau dibarengi peningkatan kemampuan merusak dari suatu bahaya, maka risiko juga meningkat. Apabila bahaya dianggap given—meskipun pada beberapa jenis bisa dikelola, risiko dapat dikurangi dengan menurunkan kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Hal inilah yang mendasari paradigma pengurangan risiko bencana dalam penanggulangan bencana terkini. Mahfum diketahui bahwa penanggulangan bencana telah mengalami perkembangan paradigma dari responsif (ada yang menggunakan istilah “represif” yang biasa digunakan dalam militer; artinya pun berbeda yakni bersifat menyembuhkan, padahal bencana tidak bisa disembuhkan) ke preventif, dari penanggulangan bencana secara konvensional menjadi holistik, dari menangani dampak menjadi mengelola risiko, dari sentralistis ke desentralistis, dari urusan pemerintah semata menjadi urusan bersama pemerintah dan masyarakat, dan dari sektoral menjadi multisektor.

Filosofi kedua adalah menjauhkan bencana dari masyarakat melalui upaya pengurangan risiko bencana, yaitu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pembangunan tanggul untuk sungai yang berpotensi banjir, pembangunan sabo dam di lereng gunung berapi untuk mengurangi dampak lahar maupun lahar dingin, penanaman pohon di sekitar daerah rawan longsor, dan sebagainya. Filosofi ketiga adalah harmoni bersama bahaya atau ancaman (living harmony with risk). Dalam kondisi ini, masyarakat harus mengenal karakter dan sifat-sifat alam. Mengenali sifat-sifat alam ini dimulai dengan memahami proses dinamikanya, waktu kejadiannya dan dampak yang ditimbulkan. Manusia diberi akan dan pikiran untuk bisa mengatasi dan mengadaptasi kondisi alam di sekitarnya.

Filosofi keempat lebih mendorong kearifan lokal dan berbagai upaya kombinasi dua filosofi sebelumnya, yaitu bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan bersahabat dengan ancaman bencana. Dengan demikian, apabila bencana itu terjadi, masyarakat sudah tahu dan paham benar apa yang mesti dilakukan untuk menghindari risiko bencana tersebut. Pengalaman di berbagai negara seperti Jepang (yang hampir setiap saat terjadi gempabumi) dan Vietnam (yang setiap tahun terkena banjir besar dari Sungai Mekong), misalnya, masyarakat di wilayah bencana dapat menerima dan mengatasi risiko bencana tanpa menimbulkan korban yang besar.

Dalam kolom Wacana di Harian Suara Merdeka (Selasa, 22/10/2013) berjudul “Kebijakan Berisiko Bencana, Sri Mulyadi menuliskan bahwa banyak kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menyimpang dari filosofi penanggulangan bencana: menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana (hazard); kedua,menjauhkan bencana dari masyarakat; ketiga hidup harmoni dan bersahabat dengan ancaman; dan keempatmenumbuhkembangkan kearifan lokal. Dampaknya, kebijakan pembangunan tersebut malah mengundang atau mendatangkan bencana.

Paradigma Penanganan Bencana

Selain filosofi bencana, terdapat pula paradigmapenanganan bencana. Selama ini, penanggulangan bencanacenderung bersifat reaktif, di mana respon terhadap bencanadilakukan setelah bencana terjadi. Namun, seiring denganperkembangan zaman dan pengalaman dari bencana-bencanasebelumnya, pendekatan ini mulai bergeser. Kini, terdapatupaya untuk lebih fokus pada mitigasi bencana, yaitu upayapencegahan dan pengurangan risiko bencana. Selain itu, terdapat peningkatan kesadaran akan pentingnya peranmasyarakat dalam penanggulangan bencana. Partisipasimasyarakat dalam perencanaan, persiapan, dan responsterhadap bencana menjadi lebih ditekankan. Penguatankoordinasi antara berbagai pihak terkait, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta, jugamenjadi bagian penting dari pergeseran paradigma ini.

Evolusi paradigma respon sosial terhadap bencana dari pendekatan reaktif ke proaktif

menggambarkan perubahan fundamental dalam cara masyarakat menangani bencana. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma penanggulangan bencana di Indonesia, dari penanganan tanggap darurat yang bersifat reaktif menuju mitigasi bencana yang bersifat antisipatif sebagai bagian dari manajemen risiko (Setyorini, 2023). Pendekatan reaktif tradisional berfokus pada tanggap darurat setelah bencana terjadi, seperti operasi penyelamatan dan bantuan kemanusiaan. Pendekatan reaktif difokuskan pada tindakan yang diambil setelah bencana terjadi untuk mengurangi dampak yang lebih buruk serta memulihkan kondisi daerah yang terdampak (Khairina, et al., 2024).

Dalam perspektif konvensional, bencana sering dianggap sebagai “musibah” yang tak terelakkan dan diterima secara pasrah. Perspektif ini mengedepankan bencana sebagai ”takdir” dan memarjinalkan upaya-upaya proaktif dalam pencegahan serta pengurangan resiko dan dampak akibat bencana (Usman, 2024).

Paradigma penanggulangan bencana di Indonesia kini sudah berubah. Yaitu, dari pendekatan fatalistik-reaktif dan tanggap darurat, menuju proaktif dan pengurangan risiko bencana, yang terintegrasi melalui perencanaan pembangunan.

Dalam paradigma lama, pendekatan penanggulangan bencana adalah bersifat responsif, sektoral, tergantung inisiatif pemerintah, sentralisasi, dan tanggap darurat. Sedangkan berdasarkan paradigma baru, pendekatannya adalah bersifat preventif, multi-sektoral, tanggung jawab semua pihak, desentralisasi, dan pengurangan risiko bencana.

Paradigma resposif berganti dengan paradigma preventif yang semua menitikberatkan respon saat terjadi bencana (tanggap darurat) berubah menjadi kesiapsiagaan aparat segenap komponen masyarakat dan lembaga usaha / swasta mempunyai peran sentral sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi bencana untuk menghindari, mengendalikan, mengurangi, menanggulangi maupun memulihkan dari dampak bencana. Pemerintah membuat kebijakan dan peraturan, memfasilitasi, mengawasi, dan sebagainya.

Hal-hal yang mendorong pergeseran paradigmatik, di antaranya:pertama, kesadaran akan beragamnya postur bencana (ukuran spektakular atau kecil, meluas atau lokal, dan homogen atau kompleks); kedua, pendekatan-pendekatan konvensional tidak lagi mampu menjelaskan fenomena bencana; dan ketiga, infusi pelajaran dari berbagai lapangan termasuk dari disiplin studi-studi pembangunan (Ashry Ramadhan dalam Usman, 2024).

Ada beberapa pandangan atau paradigma penanggulangan bencana di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya yang antara lain: (1) pandangan konvesional, (2) pandangan ilmu pengetahuan alam, (3) pandangan ilmu terapan, (4) pandangan progresif, (5) pandangan ilmu sosial, dan (6) pandangan holistik (Purba, dkk., 2022)

Pertama, pandangan atau paradigma konvesional. Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana merupakan suatu: kecelakaan (accident); tidak dapat diprediksi; tidak menentu; tidak terhindarkan; dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.

Kedua, pandangan atau paradigma Ilmu Pengetahuan Alam. Paradigma ini berpandangan bahwa: bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia; sebagai kekuatan alam yang luar biasa; merupakan proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi; dan pandangan ini tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.

Ketiga, pandangan atau paradigma ilmu terapan. Paradigma ini berpandangan bahwa: besaran bencana didasarkan pada besarnya ketahanan atau kerusakan akibat bencana; dan pengkajian bencana lebih ditujukan pada upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.

Keempat, pandangan atau paradigma progressive. Paradigma ini: menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’; bencana sebagai masalah yang tidak pernah berhenti dalam pembangunan; dan peran sentral dari masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.

Kelima, pandangan atau paradigma ilmu sosial. Paradigma ini: menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’; bencana sebagai masalah yang tidak pernah berhenti dalam pembangunan; dan peran sentral dari masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.

Keenam, pandangan atau paradigma holistik. Bencana dilihat sebagai suatu ancaman bahaya yang timbul dari dinamika alam yang berdampak bagi masyarakat. Namun ada faktor peran manusia dalam memperbesar kerentanan, yaitu pembangunan yang mengesampingkan keberlanjutan ekosistem dan pertumbuhan populasi yang pada dasarnya sulit untuk dicegah. Maka dari itu, peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi suatu solusi yang dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan aspek latar belakang masyarakat (kepercayaan, sistem norma, adat istiadat dan sejarah) yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Penerapan ilmu terapan, teknologi dan prinsip manajemen diharapkan dapat meningkatkan efektifitas usaha peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.

Perlu Pendekatan Komprehensif dan Kolaboratif

Dalam penanggulangan bencana, perlu pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif.  Artinya bahwa penanggulangan bencana dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang ada. Beberapa yang mungkin dapat dilakukan yaitu pendekatan individu yang digambarkan dalam hasil penelitian Nsenduluka, E. & Shee, H.K. (Jayanto dan Purbudi Wahyuni, 2023) dimana desain intervensi yang diterapkan melibatkan pendekatan individu, kelompok, dan organisasi untuk memahami hubungan antara iklim organisasi dan perilaku berorientasi pada perubahan. Pola pendekatan ini dimungkinkan dapat membantu Badan Penanggulangan Bencana Daerah Daerah dalam mengembangkan sikap dan perilaku adaptif individu yang terlibat dalam penanganan bencana melalui pengembangan budaya pembelajaran individu, penilaian kinerja yang efektif, dan dukungan manajemen yang kuat.

Selanjutnya pendekatan kelompok yang digambarkan dalam penelitian Nsenduluka, E. & Shee, H.K. (2009) dapat membantu Badan Penanggulangan Bencana Daerah Daerah dalam membangun kerjasama dan dukungan antar anggota tim dalam menghadapi perubahan yang dapat dilakukan dengan membangun identifikasi dengan kelompok kerja, mempromosikan perilaku kewarganegaraan organisasi yang berorientasi pada perubahan, dan meningkatkan kohesivitas kelompok. Untuk pendekatan organisasi yang digambarkan dalam hasil penelitian ini dapat membantu Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam mengembangkan iklim organisasi yang mendukung perubahan dengan membangun budaya pembelajaran organisasi, memfasilitasi komunikasi yang terbuka dan transparan, dan mengintegrasikan nilai-nilai perubahan dalam sistem pengelolaan kinerja organisasi. Teori lain yang dapat menjadi penguat dalam melakukan perubahan yaitu Teori Transisi Perubahan oleh William Bridges (Jayanto dan Purbudi Wahyuni, 2023), membahas tentang bagaimana individu dan organisasi dapat mengelola proses transisi saat menghadapi perubahan.

Kolaborasi Pentahelix

Dany Wetangterah (2022) memperkenalkan pendekatanbaru dalam pengurangan resiko bencana. Konsep inimenggabungkan elemen informasi iklim. Pendekatan inidisebut Pengurangan Resiko Bencana (PRB) yang cerdasiklim atau climate smart disaster risk management.

Konsep pengurangan resiko bencana ini dikembangkankarena empat hal mendasar. Yang pertama, karena perubahaniklim sudah dekat dengan kita; kedua, supaya kelompokrentan juga terlibat dalam isu PRB (PRB inklusif); ketiga,  promosi kapasitas adaptif masyarakat untuk menghadapiperubahan iklim; dan keempat, memperkuat jejaring dankemitraan.

Paradigma baru soal kebencanaan sekarang adalahbencana bukan menjadi tanggung jawab pemerintah sematatetapi sudah menjadi tanggung jawab seluruh lapisanmasyarakat pentahelix dalam hal melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media, yang bekerjasama untuk menciptakan sistem penanggulangan bencanayang lebih efektif dan berkelanjutan. Pendekatan pentahelix mendorong adanya kolaborasi yang memanfaatkan konteks lokal, kearifan lokal, dan sumber daya lima pemangku kepentingan utama yaitu: pemerintah, sektor swasta, akademisi, media, dan OMS/masyarakat.

Pendekatan pentahelix dapat memfasilitasi proses kerja sama berdasarkan pengetahuan, kompetensi, dan pengalaman kolektif, pembangunan kepercayaan dan keyakinan di antara para pelaku, dan jalan keluar yang saling menguntungkan.

Pentahelix merupakan konsep yang berkembang dari triplehelix dan quadruplehelix. Pentahelix sebagai teknik kolaboratif atau multistakeholder adalah strategi yang menyatukan pemerintah, badan usaha/korporasi, universitas, komunitas/masyarakat dan media untuk memecahkan masalah dan mengembangkan program dengan melibatkan berbagai sektor dalam berbagi peran. Pentahelix berfokus pada kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan sosial (Redr.Id, 2022). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menciptakan budaya sadar bencana. Pentahelix dibutuhkan untuk menjalin kerjasama pengawasan, mengamankan sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi, dan mitigasi bencana.

Kolaborasi pentahelix membawa banyak manfaat dalam penanggulangan bencana (Lestari, 2024). Pertama, pendekatan ini memungkinkan adanya sinergi dari berbagai sektor yang memiliki kekuatan dan keahlian masing-masing.Dengan berkolaborasi, setiap elemen dapat saling melengkapi, sehingga upaya penanganan bencana menjadi lebih holistik dan terintegrasi. Kedua, kolaborasi ini juga mempercepatproses pengambilan keputusan dan tindakan dalam situasi darurat. Ketika seluruh pihak telah memiliki peran yang jelas dan koordinasi yang baik, respons terhadap bencana bisa dilakukan dengan lebih cepat dan efisien. Ketiga, denganmelibatkan berbagai pihak, pendekatan pentahelix mampu meningkatkan ketahanan jangka panjang. Tidak hanya berfokus pada penanganan bencana setelah terjadi, pentahelix juga mendorong pencegahan dan mitigasi yang lebih baik melalui riset, inovasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur yang tangguh.

Bagaimana wujud kontribusi pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media dalam penanganan bencana? Lestari (2024) menjelaskan kontribusi masing-masing pentahelix.

Pertama, pemerintah: penggerak kebijakan dankoordinasi. Pemerintah memainkan peran sentral dalam kerangka kolaborasi pentahelix. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan peraturan dan regulasi yang mendukung upaya mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan rehabilitasi pascabencana. Badan-badan seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjadi tulang punggung dalam merencanakan strategi penanggulangan bencana, menyiapkan anggaran, serta membentuk tim tanggap darurat. Selain itu, pemerintah berperan dalam membangun infrastruktur yang tahan terhadap bencana, seperti pusat evakuasi dan sistem peringatan dini. Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga internasional juga menjadi kunci keberhasilan dalam penanganan bencana di berbagai wilayah.

Kedua, masyarakat : aktor utama di garis depan. Masyarakat adalah pihak yang paling terdampak oleh bencana, tetapi mereka juga merupakan aktor penting dalam upaya penanggulangan. Dalam konsep pentahelix, peran masyarakat sangat krusial, terutama dalam kesiapsiagaan, mitigasi, dan tanggap darurat. Kesiapsiagaan ini mencakup pelatihan tanggap bencana, pembentukan komunitas tangguh bencana, dan partisipasi dalam kegiatan simulasi. Dalammenghadapi bencana, peran masyarakat lokal yang paham kondisi lingkungan sekitar sangat penting. Mereka dapat memberikan informasi langsung terkait kebutuhan darurat dan menjadi relawan yang membantu proses evakuasi dan distribusi bantuan. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahap penanggulangan bencana menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif, yang pada akhirnya memperkuat ketangguhan komunitas.

Ketiga, akademisi: penyedia riset dan inovasi. Sektorakademisi berperan dalam menyediakan riset dan inovasi berbasis ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem penanggulangan bencana. Penelitian yang dilakukan oleh universitas dan lembaga riset memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai risiko bencana, pola-pola kejadian, serta solusi yang lebih efektif untuk menghadapinya. Akademisi juga berkontribusidalam mengembangkan teknologi mitigasi bencana, seperti sistem peringatan dini yang lebih canggih, pemetaan risiko bencana, serta evaluasi kebijakan yang sudah diterapkan.Selain itu, melalui pendidikan, akademisi membantu menyiapkan generasi muda yang lebih sadar akan pentingnya mitigasi bencana dan mampu mengembangkan inovasi di masa depan.

Keempat, dunia usaha: pendukung logistik danpendanaan. Dunia usaha berperan dalam memberikan dukungan logistik, pendanaan, dan sumber daya untuk proses tanggap darurat. Perusahaan-perusahaan sering kali memiliki jaringan distribusi dan sumber daya yang memungkinkan penyaluran bantuan berjalan lebih cepat dan efektif. Selain itu, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), dunia usaha dapat mendukung berbagai kegiatan terkait mitigasi bencana, seperti pembangunan fasilitas umum yang tahan bencana, penyediaan alat peringatan dini, atau pemberian pelatihan bagi masyarakat. Tidak hanya itu, dunia usaha juga dapat berkolaborasi dengan pemerintah dan lembaga lain untuk menyusun strategi jangka panjang dalam memperkuat ketahanan terhadap bencana. Misalnya, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi dapat berpartisipasi dalam mendesain bangunan yang lebih tahan gempa atau banjir.

Kelima, media: pembentuk kesadaran dan penyebarinformasi. Media memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi terkait bencana, baik sebelum, selama, maupun setelah bencana terjadi. Media massa dan media sosial menjadi saluran informasi yang vital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi risiko bencana, langkah-langkah mitigasi, serta prosedur evakuasi yang aman. Dalam situasi darurat, media berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat, menyampaikan informasi mengenai perkembangan bencana, kondisi terkini, dan instruksi dari pihak berwenang. Selain itu, media jugamemiliki kekuatan dalam membentuk opini publik, sehinggadapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dan pihak-pihaklain dalam upaya penanggulangan bencana. Melaluipemberitaan yang tepat dan akurat, media dapat meningkatkankepedulian serta mendorong solidaritas untuk membantukorban bencana.

Kolaborasi Pentahelix Tidak Mudah

Kolaborasi pentahelix bencana merupakan suatu kolaborasi atau kondisi saling berkoordinasi antara limakomponen strategis penting yaitu pemerintah, dunia usaha, komunitas, akademisi, dan media massa pada setiap program kebencanaan (Muhyi, 2017).

Menerapkan kolaborasi pentahelix bukanlah strategi pemecahan masalah yang mudah. Telah ditemukan bahwa ada penilaian yang berbeda mengenai persepsi di antara para pemangku kepentingan dan bagaimana berbagai faktor dapat dipertimbangkan untuk mendukung kerjasama (Prabantarikso, et al., 2018). Pertimbangan melibatkan faktor lain seperti kondisi dan kapasitas negara yang berbeda dalam menanggapi risiko bencana, yang kemudian mempengaruhi bagaimana masing-masing negara akan menggunakan kerangka tersebut (Zainab, 2020). Selain itu, harus memperkuat modal sosial yang menghubungkan (bridging social capital) (Upe, et al., 2021).

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam kolaborasi pentahelix, di antaranya : saling ketergantungan; penyatuan pemikiran secara konstruktif untuk mencapai solusi; keputusan bersama semua aktor; dan tanggung jawab bersama. Selain itu, kurangnya koordinasi di antara masing-masing aktor pentahelik dalam kesiapsiagaan bencana. Kesulitan koordinasi saat kejadian bencana yang memerlukan penanganan segera dan kurangnya kapasitas aparatur serta masyarakat tentang penanggulangan bencana juga masih terjadi. Masing-masing aktor pentahelik yang terkait kurang memahami keahliannya, program-program yang dijalankan belum sepenuhnya berjalan dengan sinergis. Komunikasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan koordinasi karena komunikasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya koordinasi.

Beberapa Strategi

Di antara berbagai bentuk komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah telah menyusun strategi prioritas melalui Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020-2044. Kebijakan ini didasarkan pada Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, Paris Agreement, Sustainable Development Goals, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

Pada Perpres No. 87 Tahun 2020 Tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044 disebutkan bahwa tata kelola penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan beberapa strategi, di antaranya: a) meningkatkan kapasitas dan profesionalisme para penyelenggara penanggulangan bencana, b) optimalisasi standar pelayanan minimal, c) peningkatan keterbukaan informasi dan komunikasi, kualitas perencanaan serta pemantauan dan evaluasi, d) mendorong pelibatan pemangku kepentingan, e) mewujudkan kabupaten/kota, desa/kelurahan, dan masyarakat tangguh bencana, e) mewujudkan sarana dan prasarana yang tangguh terhadap bencana dan g) meningkatkan edukasi kebencanaan dan pengelolaan pengetahuan penanggulangan bencana kepada masyarakat dan pemangku kepentingan(Kasus & Wisata, 2023).

Dimensi baru dalam rangkaian peraturan mengenai bencana menurut Muhammad dan Aziz (2020) adalah: pertama, penanggulangan bencana sebagai upaya proaktif dimulai dari pra bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), tanggap darurat dengan pelaksanaan (pemenuhan kebutuhan pangan, layanan kesehatan, dan evakuasi penduduk), kegiatan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Kedua, penanggulangan bencana sebagai upaya bersama para pemangku kepentingan dengan fungsi dan peran yang saling melengkapi. Dan ketiga, penanggulangan bencana bagian dari proses pembangunan, sehingga terwujud resiliensi (ketahanan bencana).

Bencana dianggap sebagai “force majore” atau sesuatu yang berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu, perlu analisis secara komprehensif mengenai elemen-elemen kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana (Ersad dan Hidayat, 2012). Lebih lanjut menurut Chambers (Ruchban, et al., 2024) 6 elemen yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut; (1) tujuan dan sasaran, (2) bentuk manfaat atau layanan yang diberikan, (3) aturan hak (kelayakan), (4) struktur administrasi atau organisasi untuk pemberian layanan, (5) metode pembiayaan, (6) interaksi antara elemen-elemen sebelumnya. Elemen-elemen tersebut dapat dikaji lebih komprehensif untuk menyusun regulasi-regulasi kebijakan pemerintah agar dapat digunakan lebih efektif dalam penanggulangan bencana.

Sebuah Keniscayaan

Bersahabat dengan alam sebagai sebuah keniscayaan. Sebuah kejadian, betapa pun tidak kita kehendaki, selalu memberikan pelajaran dan hikmah apabila kita memberi ruang untuk merenungkan kejadian tersebut dalam perspektif yang jernih (Usman, 2024).

Bencana datang dan “menerkam” siapa saja, tak peduli pejabat pemerintah, pelajar, orang tua, anak-anak, menantu kepala desa, dan lain-lain. Semuanya sama saja di mata bencana sehingga bencana bisa disebut sebagai kejadian yang sangat “demokrasi”. Karena korban bencana bisa datang dari berbagai kalangan, maka urusan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana menjadi kewajiban bersama.

Pelaku penanggulangan bencana sangat setuju dengan filosofi ketiga sebagaimana dibahas sebelumnya: hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana. Makanya ada slogan ”hidup nyaman bersama ancaman”. Yang penting adalah masyarakat memahami risiko yang dihadapinya dan mampu mengelola risiko bencana tersebut. Kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki harus terus disesuaikan dengan perubahan karakteristik ancaman/bahaya. Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal adalah produk masa lalu yang terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Walaupun lokal namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal (Gobyah, 2003).

Semoga !!!

*Dosen Universitas Mbojo Bima