Opini

Koperasi Merah Putih Desa Kelurahan, Antara Harapan dan 1001 Tantangannya

112
×

Koperasi Merah Putih Desa Kelurahan, Antara Harapan dan 1001 Tantangannya

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Usman*

Ilustrasi Koperasi Merah Putih. Foto: Ist

Semula rencana peluncuran (launching) Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih tingkat nasional oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto bertepatan dengan Hari Koperasi 12 Juli 2025. Rencana awal ini gagal dilaunching, akhirnya 80.000 Koperasi Merah Putih Desa/Kelurahan resmi diluncurkan secara nasional, Senin 21 Juli 2025, melalui siaran daring yang diikuti serentak di seluruh Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang ditandatangani pada tanggal 27 Maret 2025.

Program Koperasi Desa Merah Putih merupakan inisiatif strategis nasional yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2025. Program ini disampaikan pertama kali dalam Retret Kepala Daerah di Akademi Militer Magelang pada 21-28 Februari 2025 dan diperkuat melalui instruksi dalam Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara tanggal 3 Maret 2025.

Program ini merupakan perwujudan dari Asta Cita kedua tentang kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan Asta Cita keenam tentang pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045. Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, pemerintah menetapkan langkah strategis, terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan optimalisasi dan percepatan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih.

Pembentukan 80.000 koperasi desa di seluruh Indonesia yang akan diluncurkan secara resmi pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi Nasional.

Ada enam instruksi Presiden yang diterbitkan kaitan dengan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ini. Pertama, mengambil langkah-langkah komprehensif yang terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing untuk melaksanakan kebijakan strategis optimalisasi dan percepatan pembentukan melalui pendirian, pengembangan, dan revitalisasi 80 ribu Kopdes Merah Putih. Kedua, membentuk Kopdes Merah Putih untuk melaksanakan kegiatan meliputi namun tidak terbatas kantor koperasi, pengadaan sembilan bahan pokok (sembako), simpan pinjam,  klinik, apotek, cold storage/pergudangan, dan logistik dengan memperhatikan karakteristik, potensi, dan lembaga ekonomi yang telah ada di desa/kelurahan. Ketiga, mengutamakan pengalokasian dan penggunaan anggaran untuk kegiatan percepatan pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keempat, melakukan percepatan pelaksanaan kebijakan strategis optimalisasi dan percepatan pembentukan Kopdes Merah Putih melalui strategi program yang afirmatif, holistik, dan berkesinambungan. Kelima, melakukan strategi percepatan (quick win) dalam rencana kerja kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) untuk mendukung pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih secara terukur, akuntabel, dan efisien dengan tetap memperhatikan capaian sasaran program dan kegiatan. Keenam, melakukan pertukaran, pemanfaatan, serta integrasi data dan informasi antar K/L dan pemda dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih.

Program Koperasi Desa Merah Putih bertujuan untuk : meningkatkan ketahanan pangan nasional (termasuk industri sawit); mempercepat pengentasan kemiskinan di wilayah desa; memperkuat ekonomi kerakyatan di desa; dan membangun kemandirian ekonomi masyarakat desa.

Kehadiran Koperasi Desa Merah Putih akan membawa angin segar bagi home industry. Selama ini home industryseolah “enggan hidup mati tak mau” dan selalu berurusan dengan rentenir dan tengkulak bagi petani. Rentenir adalah orang yang memberikan pinjaman uang secara tunai kepada para nasabahnya dengan menggunakan bunga yang sangat tinggi. Nasabah rentenir terdiri atas orang-orang dengan tingkat perekonomian rendah yang membutuhkan kredit untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk berusaha, dan orang-orang dengan tingkat perekonomian menengah untuk memenuhi terutama kebutuhan ekonomi sekunder dan tersier.

Dalam kajian sosiologi, rentenir memiliki fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi pranata sosial yang tampak, disadari, dan menjadi harapan orang banyak (Tim Mitra Guru dalam Siboro, 2015). Rentenir sebagai individu yang bekerja sebagai pekerja yang meminjamkan modal berupa uang kepada nasabahnya, juga tampak dan disadari keberadaanya oleh masyarakat banyak yang berfungsi sebagai lembaga yang membantu masyarakat untuk mendapatkan peminjaman uang walaupun dengan penambahan bunga di setiap peminjamannya dan juga sangat mudahnya prasyarat-prasyarat yang diberikan rentenir kepada masyarakat yang akan melakukan peminjaman uang kepada rentenir daripada melakukan peminjaman kepada lembaga-lembaga peminjaman uang lainnya yang menggunakan syarat-syarat dan jaminan yang sangat sulit. Dan hal itu menyebabkan rentenir menjadi harapan masyarakat kecil yang membutuhkan peminjaman modal berupa uang dari pada lembaga peminjaman lainnya. Selain syarat-syarat yang mudah dan gampang dan efisien masyarakat juga menyadari bahwa rentenir itu pekerjaan yang dianggap negatif dikalangan masyarakat dan Agama tetapi masyarakat secara sadar membutuhkan dan mengerti akan kebutuhan masyarakat dalam hal peminjaman berupa uang melalui rentenir. Fungsi laten rentenir. Fungsi laten adalah fungsi pranata sosial yang tidak tampak, tidak disadari, dan tidak menjadi harapan orang banyak, namun ada (Tim Mitra Guru dalam Siboro, 2015) selain pekerjaan rentenir yang menguntungkan bagi masyarakat kecil menengah kebawah melalui peminjaman dan sayarat-syarat peminjaman yang sangat mudah, pada kenyataannya pekerjaan rentenir dinilai negative oleh masyarakat maupun lembaga lainnya seperti Agama dan lembaga ekonomi dan sebagian masyarakat serta lembaga-lembaga peminjaman uang lainnya menjadi merasa dirugikan akibat dari pekerjaan rentenir ini. Sehingga menyebabkan status pekerjaan rentenir tidak menjadi harapan orang banyak, namun keberadaanya tetap ada. Pekerjaan rentenir juga secara tidak disadari memiliki nilai yang sudah melanggar nilai seluruh agama dan nilai-nilai adat yang berlaku.

Sementara tengkulak adalah pemodal yang membantu petani. Salah satu model tengkulak yang sering menyusahkan petani yakni tengkulak sebagai kreditor/pemilik modal. Tengkulak memberikan uang atau modal kepada petani yang kemudian petani tersebut harus mengganti uangnya dengan cara dicicil. Jika petani tidak dapat membayar, maka tengkulak akan mengambil kemudian membeli hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan harga yang rendah. Di satu sisi, tengkulak memang dapat membantu petani melalui peminjaman uang yang dapat dibayar pada saat panen, tetapi di lain pihak petani tidak dapat memiliki kebebasan memilih pasar hasil produksi (Azizah, 2016).

Manfaat Utama

Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai pusat produksi dan distribusi memiliki 13 manfaat utama yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Manfaat tersebut meliputi penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani, perluasan inklusi keuangan, modernisasi manajemen koperasi, serta penekanan praktik tengkulak dan inflasi. Selain itu, koperasi ini juga berperan dalam memperpendek rantai pasok, menekan harga barang konsumsi, dan mengurangi kemiskinan ekstrem (AI, 2025).

Pertama, menciptakan lapangan kerja. Koperasi membuka peluang kerja baru bagi masyarakat desa, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan pendapatan keluarga. Kedua, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan berbagai program dan kegiatan ekonomi, koperasi membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Ketiga, mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.

Koperasi melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi, menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab. 

Keempat, meningkatkan harga jual hasil tani dan Nilai Tukar Petani (NTP). Melalui koperasi, petani dapat menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih baik, sehingga meningkatkan pendapatan mereka. Kelima, memperluas inklusi keuangan. Koperasi menyediakan layanan keuangan seperti simpan pinjam, sehingga masyarakat desa memiliki akses ke sumber pembiayaan yang lebih mudah dan terjangkau. Keenam, modernisasi manajemen koperasi. Koperasi didorong untuk menerapkan manajemen modern, transparan, dan profesional untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. 

Ketujuh, menekan praktik tengkulak. Koperasi berperan dalam memutus mata rantai tengkulak yang seringkali merugikan petani, sehingga harga jual produk petani bisa lebih baik. Kedelapan, menjadi akselerator dan agregator UMKM. Koperasi dapat menjadi wadah bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di desa untuk berkembang dan memperluas jangkauan pasar. Kesembilan, menekan laju inflasi. Dengan memperpendek rantai pasok dan menstabilkan harga kebutuhan pokok, koperasi dapat membantu mengendalikan inflasi di tingkat desa. Kesepuluh, memberikan pelayanan sistematis dan cepat. Koperasi menyediakan layanan yang terorganisir dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat desa. 

Kesebelas, menekan harga barang konsumsi. Koperasi dapat menjual barang kebutuhan pokok dengan harga yang lebih terjangkau karena rantai pasok yang lebih pendek. Keduabelas, memperpendek rantai pasok. Koperasi menghubungkan langsung produsen (petani, peternak, dll.) dengan konsumen, mengurangi biaya distribusi dan potensi keuntungan pihak ketiga. Dan ketigasbelas, mengurangi tingkat kemiskinan ekstrem.

Dengan meningkatkan pendapatan masyarakat dan menyediakan akses ke berbagai layanan, koperasi berkontribusi pada pengurangan kemiskinan ekstrem di desa. 

Sejumlah Tantangan

Kendati program Koperasi Desa Merah Putih memiliki potensi besar, akan tetapi ada beberapa tantangan yang perlu diatasi agar dapat benar-benar berjalan efektif di setiap desadan kelurahan. Pertama, kurangnya pemahaman dan literasi keuangan. Tidak semua masyarakat desa/kelurahan memiliki pemahaman yang baik tentang cara menjalankan koperasi. Kedua, potensi penyalahgunaan dana. Transparansi, akuntabilitas, disiplin dan tertib anggaran sangat penting dalam pengelolaan dana koperasi. Ketiga, sumber daya manusia yang terbatas. Koperasi yang sukses membutuhkan pengurus yang kompeten dalam bidang bisnis, pemasaran, dan operasional. Jika tidak ada pelatihan yang cukup, koperasi bisa sulit berkembang dan hanya beroperasi dalam skala kecil.Keempat, keberlanjutan dan pengembangan jangka panjang. Koperasi bukan hanya perlu didirikan, tetapi juga harus mampu bertahan dalam jangka panjang. Diperlukan strategi agar koperasi bisa terus berkembang, mulai dari diversifikasi usaha hingga memanfaatkan teknologi digital untuk pemasaran dan distribusi produk. Kelima, dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena sebelumnya khususnya di desa telah ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang secara regulatif dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Di samping sederet tantangan di atas, ada beberapa tantangan lain yang akan dihadapi Koperasi Desa Merah Putih. Tantangan itu yakni masalah skala ekonomi, kapasitas sumber daya manusia (SDM), potensi penguasaan oleh elit lokal (elite capture), potensi penyalahgunaan dana (fraudulent), dan keberlanjutan jangka panjang. Pertanyaannya, mampukah Koperasi Desa Merah Putih mengatasi tantangan ini dalam lima tahun ke depan? (Firdaus Putra, 2025).

Pertama, skala ekonomi menjadi isu krusial. Operasi pada level desa sering kali terbatas pada sumber daya serta pasar. Kopdes yang mengusahakan layanan agribisnis berorientasi pada pengolahan komoditas, akan menghadapi tantangan pasokan bahan baku. Di mana masing-masing desa, yang bertetangga, akan mengutamakan pasokan bagi Kopdes mereka. Hal yang sama juga terjadi pada sisi pasar, di mana jangkauan pasar menjadi sangat terbatas. Kopdes yang mengusahakan layanan konsumsi akan berkompetisi dengan toko milik masyarakat serta Kopdes lain di sekitarnya. Bila diandaikan Kopdes kuat dan menang, hal itu sama dengan menggerus potensi omset toko masyarakat. Agar tidak terjadi, Kopdes akan cenderung beroperasi dalam kapasitas terkendali (baca: terbatas).

Kedua, kapasitas SDM menjadi faktor penentu. Pengelolaan dana Rp. 3-5 miliar membutuhkan kecakapan manajemen keuangan, bisnis, operasional dan pemasaran yang tidak selalu dimiliki tiap desa. Pengalaman BUMDes menunjukkan bahwa salah satu tantangan utama mereka adalah menemukan pengelola dari warga lokal yang benar-benar piawai.

Melekat dalam kapasitas SDM adalah isu tata kelola. Dipahami bahwa tata kelola mewujud dalam SDM, bukan suatu hal yang terpisah. Tata kelola ibarat software, yang dioperasionalkan oleh para SDM. Minimnya SDM dapat mengurangi kualitas tata kelola organisasi Kopdes. Ditambah koperasi sebagai perusahaan bersama yang memiliki karakter khas daripada perusahaan individu atau keluarga (family business).

Ketiga, elite capture atau penguasaan oleh elit lokal dapat menjadi bottle neck. Di desa-desa dengan tata kelola lemah, tokoh berpengaruh bisa menyalahgunakan wewenang untuk mengendalikan koperasi demi kepentingan pribadi. Hal yang sama sering terjadi pada program hibah Kementerian/Lembaga atau swasta, di mana orang-orang kunci mendominasi serta memanfaatkan sumber daya itu untuk kepentingannya.

Elite capture dapat mengurangi manfaat nyata yang diterima anggota sebab sebagiannya telah “dikunci” oleh individu tertentu. Dalam suatu kasus, misalnya, suatu bantuan sarana prasarana dimanfaatkan hanya oleh segelintir individu. Sedangkan anggota lain tak tahu-menahu dan tak peroleh manfaat dari sarana prasarana itu.

Keempat, risiko kecurangan (fraudulent) akan meningkat seiring besarnya dana yang digelontorkan. Laporan fiktif, markup proposal, proyek hantu, atau tindakan korupsi dapat terjadi di semua level, mulai dari level atas sampai level terbawah. Misalnya, banyak kasus kepala desa yang menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan pribadi. Hal yang sama dapat terjadi misalnya oleh pengurus Kopdes. Pada sisi lain, di mana tata kelola belum matang, anggota belum teredukasi tentang hak-kewajibannya, membuat sense of belongingness rendah. Alhasil mereka abai untuk mengawasi secara seksama bagaimana anggaran diinvestasikan, dibelanjakan, dan dioperasionalkan.

Terakhir, keberlanjutan menjadi isu besar. Dana awal Rp. 3-5 miliar mungkin cukup untuk memulai, tetapi tanpa model bisnis yang jelas, banyak Kopdes bisa kehabisan modal dalam lima tahun. Ketergantungan pada suntikan dana pemerintah tanpa kemampuan menghasilkan profit akan membuat program ini rapuh. Ditambah misalnya bila Kopdes membuka layanan Unit Simpan Pinjam (USP) yang bertujuan untuk mengurangi dampak pinjol, dapat meningkatkan potensi kredit macet di pedesaan. Sebabnya, profil pengguna pinjol beririsan dengan pelaku judi online (judol). Keduanya memiliki demografi sosial-ekonomi yang relatif sama, perilaku yang cenderung instan serta siklus finansial yang mirip.

Lima tantangan tersebut dapat menjadi ancaman nyata bagi Kopdes Merah Putih, yang alih-alih datangkan manfaat, justru dapat timbulkan masalah sistematis-massif, yakni tsunami ketakpercayaan terhadap koperasi. Tentu saja kita berharap yang terbaik, bagaimana pun anggaran Rp. 240-400 triliun (APBN langsung atau penjaminan) itu bersumber dari pajak yang kita bayar.

Mitigasi Risiko

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengungkapkan sedikitnya terdapat delapan tantangan dalam pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Hal ini pernah disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPD, Mei 2025.

Pertama, masyarakat belum melihat pentingnya koperasi. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Hal itu menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat akan pentingnya koperasi. Tantangan kedua adalah persepsi negatif tentang koperasi. Budi Arie menyoroti bagaimana masyarakat menaruh persepsi negatif terhadap koperasi imbas kasus bermasalah dan pinjaman online ilegal berkedok koperasi.  Ketiga, masyarakat yang menganggap koperasi kurang adaptif terhadap kemajuan teknologi. Tantangan keempat adalah skala ekonomi dan potensi setiap desa yang berbeda-beda. Tantangan kelima adalah keterbatasan pengetahuan dan kredibilitas SDM pengelola koperasi. Budi Arie menyoroti keterbatasan pengetahuan pengelola dan juga persoalan kredibilitas jadi penyebab maraknya pelanggaran dalam badan koperasi. Tantangan terberat kita adalah rendahnya SDM.

Keenam, adanya kemungkinan elite capture dalam pembentukan dan kepengurusan koperasi. Tantangan ketujuh adalah adanya risiko terjadinya fraud dalam pengelolaan koperasi. Terakhir, tantangan kedelapan adalah soal keberlanjutan lembaga dan usaha koperasi ke depan.

Meski ada delapan tantangan itu, Budi Arie memastikan telah menyiapkan sejumlah langkah untuk memitigasi risiko, termasuk meminimalkan potensi kegagalan. Ini kita percepat tapi untuk operasional kita harus hati-hati dan tidak menghilangkan aspek prudent termasuk menyiapkan mitigasi risiko. Telah dan akan terus melakukan mitigasi risiko. Adapun mitigasi risiko itu berupa optimalisasi penggunakan teknologi saat monitoring dan evaluasi setelah Koperasi Merah Putih beroperasi. Selain itu, peningkatan kapasitas SDM pengelola koperasi melalui pelatihan dan pendampingan secara integratif dan berkelanjutan terus dilakukan. Saya optimistis kalau sistem diperkuat, masalah fraud bisa diatasi.

Berbagai Skenario

Ada tiga skenario yang mungkin terjadi. Yakni skenario optimis, moderat dan pesimis (Firdaus Putra, 2025). Pertama, skenario optimis, di mana Kopdes benar-benar menjadi mesin pertumbuhan ekonomi desa. Dalam skenario ini saya andaikan sekitar 30–40% Kopdes (24.000–32.000 unit) berhasil menjadi entitas ekonomi yang mandiri dan produktif pada lima tahun mendatang.

Keberhasilan ini didorong oleh beberapa faktor kunci seperti pendampingan intensif dengan melatih Pengurus dan Pengelola Kopdes dalam tata kelola, manajemen bisnis, keuangan, dan sebagainya. Serta adanya pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan dana serta membangun kepercayaan masyarakat dan pihak ketiga. Pada tahun 2030 mendatang, Kopdes sukses dan tidak hanya menghasilkan profit, tetapi juga menciptakan efek domino: lapangan kerja bertambah, pendapatan per kapita desa naik, dan migrasi ke kota menurun.

Kedua, skenario moderat, di mana sekitar 50% Kopdes (40.000 unit) tetap beroperasi, tetapi dengan pertumbuhan terbatas. Karena keterbatasan SDM, banyak dari mereka fokus pada usaha sederhana seperti simpan pinjam atau toko koperasi, menghasilkan pendapatan cukup untuk bertahan namun tidak cukup untuk ekspansi besar. Hasilnya lima tahun mendatang Kopdes tetap hidup tapi tidak berkembang pesat. Sedangkan separohnya gagal total karena kehabisan dana atau manajemen yang buruk. Dalam skenario ini Kopdes tak cukup untuk mengubah lanskap ekonomi desa seperti yang dicitakan.

Ketiga, skenario pesimis. Dalam skenario terburuk, di mana lebih dari 70% Kopdes (56.000 unit atau lebih) gagal pada 2030. Hal itu akan meninggalkan jejak kerugian finansial serta kekecewaan sosial. Penyebab utamanya adalah kombinasi fatal dari tantangan yang tidak terkelola dengan baik. Mulai dari masalah skala, SDM, elite capture dan fraudulent, bersama-sama dapat membuat proyek ini gagal secara massif. Dalam skenario ini desa kembali pada kondisi semula, dengan sebagian bahkan lebih buruk karena utang yang ditinggalkan Kopdes. Kekecewaan masyarakat terjadi dan berujung pada antipati terhadap koperasi untuk dekade berikutnya.

Secara realistis prospek skenario di atas perlu dipertimbangkan Pemerintah, alih-alih berangkat dari asumsi over optimistic yang hanya berangkat dari niat baik belaka. Dengan memperkirakan skenario terburuk, Pemerintah dapat menyiapkan rencana mitigasi serta manajemen risiko yang lebih komprehensif. Studi Hu dkk (2017) pada proyek pembangunan koperasi pertanian oleh Pemerintah China dapat dijadikan refleksi. Pasca dua dekade berjalan, proyek ambisius itu tercatat hasilkan 110 ribu koperasi pertanian (2015).

Hu, dkk (2017) secara acak meninjau langsung 50 koperasi, termasuk yang diklaim sukses oleh pemerintah. Mereka menemukan hanya 4% saja yang tumbuh sebagai koperasi sejati (genuine cooperative). Yakni koperasi tersebut benar-benar memberi manfaat nyata serta anggota terlibat penuh dalam pengendaliannya. Sedangkan sebagian besar lainnya berubah menjadi koperasi cangkang, demutualisasi, disalahgunakan sebagai usaha perorangan dan tutup operasi.

Strategi Mitigasi

Pemerintah perlu benar-benar serius menyusun strategi mitigasi agar Rp. 240-400 triliun APBN tidak sia-sia. Saya melihat ada beberapa strategi yang dapat diadopsi pemerintah (Firdaus Putra, 2025).

Pertama, pemerintah perlu menyusun peta jalan (roadmap) pembangunan dan pengembangan Kopdes. Dimulai dari fase inkubasi, pertumbuhan serta kemandirian. Saat ini yang tersiar di berbagai paparan hanya lini masa (timeline) pembangunan Kopdes, namun kita belum peroleh gambaran besar bagaimana exit strategy dari program ini. Belajar dari program pembangunan KUD, dulu pemerintah tetapkan tiga fase yakni ofisilisasi, deofisialisasi dan otonomi. Pola yang sama perlu dirumuskan oleh Pemerintah sehingga dapat diturunkan menjadi rencana aksi dan intervensi yang terukur. Misalnya, pada fase inkubasi Pemerintah perlu fokus pada peningkatan kapasitas SDM, operasional serta pemasaran. Harus dipahami bahwa organisasi atau perusahaan tumbuh dari satu tahap ke tahap berikutnya. Adalah tidak bijaksana untuk memaksanakan berbagai program bantuan dan peningkatan kapasitas di tahap awal. Hal itu ibarat memberi makan nasi dan semangka kepada bayi. Alih-alih tumbuh, bayi bisa sakit dan mati.

Kedua, selaras dengan roadmap di atas, Kopdes pada tahun-tahun awal perlu fokus pada usaha tertentu saja, misal agribisnis. Sedangkan usaha lainnya bersifat opsional yang dikembangkan seturut kapasitas koperasi. Pemerintah harus memiliki kesabaran dan pemahaman bahwa perusahaan tumbuh mengikuti siklus hidup tertentu. Membebani Kopdes dengan aneka usaha di saat kapasitas, khususnya SDM, mereka belum siap, akan kontra produktif terhadap keberlangsungan usaha. Pada titik ini Pemerintah perlu memberikan kelonggaran atau fleksibilitas terkait usaha yang wajib dan opsional diselenggarakan. Kelonggaran tersebut pada gilirannya akan mendorong prakarsa dan entrepreneurial para pemimpin koperasi di lapangan.

Ketiga, untuk keluar dari tantangan SDM dan jebakan skala ekonomi, boleh jadi Kopdes perlu dikonsolidasi melalui pembentukan koperasi sekunder level kecamatan. Sekunder dapat berperan dalam perencanaan bisnis secara padu dengan cakupan kawasan tertentu. Sedangkan primer dapat menjadi perpanjangan kaki-kaki layanan dan usaha sekunder di masing-masing desa. Pendekatan tersebut memungkinkan Kopdes dapat mengonsolidasi bahan baku, rantai pasok, sarana-pra sarana serta jangkauan pasar. Alhasil, pembangunan Kopdes dapat diarahkan berbasis pendekatan industrialisasi untuk tingkatkan produktivitas. Atau juga dapat didorong kea rah hilirisasi untuk tingkatkan nilai tambah. Sekunder, misalnya, dapat membangun pabrik pengolahan, sedangkan primer berperan memasok komoditas mentah. Pada pemasaran, dapat dikembangkan sekunder level kabupaten misalnya untuk orientasi ekspor.

Keempat, intervensi berbasis asesmen. Suatu sistem asesmen perlu dikembangkan untuk mengukur capaian Kopdes. Alat semacam Development Ladder Assessment (DLA) dan sejenisnya dapat diadopsi dan dikontekstualisasi. Di mana masing-masing Kopdes memiliki rapor DLA yang dirujuk sebagai rencana intervensi tahap berikutnya.Anggaplah di satu kecamatan secara umum Kopdes dikelompokkan menjadi empat jenjang. Masing-masing jenjang menggambarkan capaian dengan kebutuhan intervensi tertentu. Sistem insentif dan disinsentif dapat diterapkan, misalnya bila capaiannya tidak masuk peringkat pada tahun kedua, Kopdes hanya dapat ajukan anggaran dengan batas tertentu. Operasional sistem asesmen ini berhubungan dengan poin berikutnya, yakni kolaborasi pemangku kepentingan.

Kelima, perlunya kolaborasi dengan gerakan koperasi, kampus, lembaga inkubator dan lainnya. Untuk jangkauan seluas Indonesia kita butuh, bukan hanya 10 atau 100, tapi 1.000 resep sukses. Dari pada hanya menggunakan instrumen birokrasi, yang boleh jadi tak kuasai seluk-beluk pengelolaan usaha, kolaborasi dengan stakeholder lain dapat menjadi solusi. Dengan cara demikian, asesmen dan rapor masing-masing Kopdes dapat dipantau dengan seksama. Hasilnya, pemerintah dapat menggunakan banyak pendekatan berbeda yang terbukti sukses untuk diimplementasikan pada Kopdes di wilayah lain. Gerakan koperasi, kampus, lembaga inkubator dan lainnya, dengan berbagai rumus sukses masing-masing dapat mengambil peran untuk mendampingi Kopdes sesuai dengan potensi desa, komoditas serta rencana strategis yang mereka kembangkan.

Keenam, untuk mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran, pengawasan menjadi kunci sukses. Selain menggunakan instrumen negara, seperti dinas, BPKP dan BPK, yang utama dan pertama adalah bagaimana memperkuat sistem pengawasan internal. Pembangunan kapasitas Pengawas masing-masing koperasi adalah mutlak diperlukan.Cara lain adalah dengan membangun transparansi tata kelola. Bayangkan tiap Kopdes diwajibkan untuk menyampaikan laporan kinerja dan keuangan secara berkala, misal catur wulan, melalui kanal tertentu seperti baligo yang dipasang di tempat strategis. Tujuannya agar masyarakat, yang nota bene anggota atau calon anggota, dapat memantau. Selain menjadi lebih akuntabel, cara itu akan meningkatkan rasa pemilikan Kopdes oleh warga setempat.

Penelitian IMF yang dilakukan Norris dkk (2015) menemukan bahwa kenaikan 1 poin persentase kelompok pendapatan 20% teratas mengurangi pertumbuhan PDB sebesar 0,08% dalam 5 tahun. Sedangkan kenaikan serupa pada 20% kelompok terbawah meningkatkan pertumbuhan sebesar 0,38%. Boleh jadi Kopdes dimaksudkan untuk itu, yakni upaya meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat level bawah.

Bila hal itu tercapai, tak hanya anggota serta masyarakat desa sejahtera, namun mengikuti kajian IMF di atas, dapat mengungkit pertumbuhan PDB secara signifikan. Yang mana selaras dengan apa yang dicitakan oleh Presiden, pertumbuhan mencapai 8%. Tentu saja syaratnya sebagian besar Kopdes harus tumbuh, berkembang dan berkelanjutan.

Semoga bermanfaat !!!