Catatan Perjalanan Kunjungan FKUB Kota Bima ke Bali (Bagian V)
Daerah Bali memang telah menyedot perhatian dunia. Keindahan alamnya menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Para tamu yang datang begitu dimanjakan berbagai sajian alam wisata pantai, ombak, taman satwa maupun kuliner khas Bali. Kelebihan itu membuat Bali menjadi daerah maju dan memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang sangat besar untuk kemakmuran masyarakatnya. (Baca. Terdapat Sejumlah Kampung Muslim di Bali)
Namun dibalik hiruk-pikuk glamournya Bali, tersaji sisi lain yang patut menjadi kebanggaan Indonesia. Masyarakat setempat senantiasa mempertahankan tradisi, adat, budaya dan istiadat leluhur mereka secara turun temurun. Kultur itu hingga saat ini tak tergerus arus moderenitas yang dibawa para tamu dari berbagai belahan dunia.
Hal itu pula menurut H Wayan Syamsul Bahri yang menjadi kekayaan Daerah Bali di mata dunia internasional. Tak terkecuali kaum muslim yang telah turun temurun hidup berdampingan dengan umat Hindu Bali, sampai saat ini senantiasa menjunjung tinggi nilai adat setempat.
“Makanya kalau ada riak-riak di Bali, seperti tindak kekerasan dengan label Islam, sesungguhnya mereka tak paham tentang sejarah Bali. Karena selama ini, kita hidup rukun dengan semua agama manapun terlebih Agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat disini,” tutur pria kelahiran Jembrana, Bali ini.
Penegasan itu disampaikan Wayan, karena berasal dari keturunan muslim Bali yang sangat paham bagaimana hubungan antar umat Islam dengan umat Hindu maupun agama lainnya di Bali terbangun selama ini. Wajar saja jika dirinya tidak sepakat dengan tindakan pihak-pihak luar yang mencoba merusak tatanan sosial tersebut dengan membawa label agama.
“Daerah Jembrana, tempat kelahiran saya merupakan kampung muslim yang telah lama ada. Orang-orang luar mungkin akan heran ketika mendengar nama Made, Putu atau Wayan seperti saya ternyata beragama Islam. Karena ini memang warisan para leluhur kami yang menunjukan tradisi dan budaya Bali ikut mempengaruhi kultur keagamaan disini,” akunya.
Pandangan senada juga dikemukakan Tokoh Agama Hindu, I Dewa Gede Ngurah. Menurutnya, riak-riak terjadi disegala aspek kehidupan dan itu tak bisa dihindari sebagai cermin keberagaman suku, budaya, agama dan adat istiadat. Daerah Bali merupakan daerah toleran dan sangat menghargai perbedaan. Itu terlihat dengan tidak pernahnya terjadi kasus kekerasan mengatasnamakan agama.
“Kalau kita orang Bali, sekali berteman selamanya akan bersaudara. Kalau ada permusuhan, harusnya tidak boleh ada di Bumi tetapi hidup saja di Planet Venus. Karena leluhur kita mengajarkan bahwa kita semua bersaudara meski berbeda keyakinan dan budaya,” kata pria yang juga Ketua FKUB Propinsi Bali ini.
Pada kesempatan itu, Ia memaparkan sejarah terbentuknya FKUB Propinsi Bali yang akhirnya menjadi inspirasi Pemerintah Pusat melegalkan forum ini secara nasional. Awalnya, forum ini terbentuk karena muncul keresahan bersama Tokoh Agama menyusul terjadinya kasus kekerasan mengatasnamakan agama di Ambon. Selain itu, sebagai upaya menangkal pengaruh dan hasutan pihak luar untuk merusak kerukunan antar umat beragama di Bali.
Menyikapi hal itu, dirinya menginisiasi mengumpulkan semua Tokoh Agama untuk duduk bersama menyatukan persepsi agar daerah Bali tidak terkontaminasi kasus serupa. “Setelah kita duduk bersama, ternyata semua Tokoh Agama merasakan keresahan yang sama. Kita pun membuka kitab masing-masing, mencari dalil-dalil tentang kerukunan dan luarbiasanya semua agama mengajarkan itu. Semangat itulah sehingga terbentuk Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) yang kini berubah nama menjadi FKUB setelah dilegalkan secara nasional,” paparnya. (Bersambung)
*Erde