Kabar Kota Bima

Menuju Kota Bima yang Berwajah Humanis

176
×

Menuju Kota Bima yang Berwajah Humanis

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Usman*

Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar). Foto: Ist

Visi pembangunan Kota Bima 2025-2029 adalah terwujudnya Kota Bima yang maju, bermartabat dan berkelanjutan. Visi ini menurut Walikota Bima H A Rahman H Abidin, sebagaimana dikutip berbagai media lokal dan nasional memiliki tiga kata kunci yaitu: maju, bermartabat dan berkelanjutan. Maju berarti memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi, pembangunan yang merata, serta tingkat kemajuan ekonomi yang baik. Bermartabat merujuk kepada nilai-nilai yang dianut yang menunjukkan eksistensi atau identitas kita sebagai masyarakat Bima yang “maja labo dahu.” Sedangkan berkelanjutan, bahwa segala aktivitas pembangunan kota ini tetap harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan agar segala keindahan dan manfaatnya masih dapat dirasakan oleh generasi mendatang.

Visi tersebut, selanjutnya diterjemahkan ke dalam 5 misi yaitu: pertama,  mewujudkan kehidupan masyarakat berketahanan sosial yang religius dan berbudaya; kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang maju dan berdaya saing; ketiga, meningkatkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional; keempat, meningkatkan ketahanan ekologi yang terintegrasi dan berkelanjutan; dan kelima, mewujudkan pembangunan ekonomi inklusif yang berkeadilan, merata dan berkelanjutan.

Visi dan misi ini akan diturunkan menjadi tujuan, sasaran dan prioritas pembangunan selama 5 tahun kedepan, yang akan ditetapkan sebagai dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bima 2025-2029

Kota humanis adalah suatu kota yang memiliki keseimbangan di segala bidang kehidupan baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya maupun lingkungan. Kebanyakan kota besar di Indonesia berkembang menjauhi sifat-sifat humanis. Kemacetan lalu-lintas, sampah berserakan di mana-mana, banjir melanda permukiman penduduk, asap dan debu di sepanjang jalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang kesemuanya ini berpotensi menjauhi sifat humanis tersebut.

Kota yang ramah pasti humanis. Indonesia membutuhkan perencanaan kota yang humanis. Keseimbangan faktor ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan menjadi kunci keseimbangan pembangunan kota. Pembangunan saat ini cenderung hanya mementingkan aspek ekonomi, tanpa memperhatikan faktor sosial dan budaya. Bahkan, aspek alam pun seringkali diabaikan (T. Yoyok Wahyu Subroto, 2012).

Pembangunan yang tidak humanis, akan menyebabkan konflik sosial dan krisis lingkungan. Fenomena ini membuat kondisi masyarakat terutama di perkotaan menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi (humanis). Salah satu perencanaan kota yang tidak humanis adalah kecepatan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Contohnya, perubahan lahan menjadi pemukiman.

Fenomena perencanaan kota yang tidak humanis adalah berkurangnya ruang publik yang kini dijadikan ruang privat. Padahal sangat penting melakukan perencanaan kota yang menciptakan ruang nyaman dan efektif dalam mendukung kegiatan penduduknya. Masih sangat diperlukan kajian-kajian atau riset tentang perencanaan kota. Keterlibatan antara pemerintah dan akademisi pun masih perlu ditingkatkan.

Hilangnya Nilai Humanitas

Kota-kota modern saat ini sebagian besar hampir masuk dalam kategori kota yang tidak ideal lagi. Banyak dari kota-kota, semakin dirasa akan kelunturan dan bahkan kehilangan nilai humanitasnya. Dalam pantauan dekade tahun 90an menuju kota dekade berikutnya, banyak kota-kota, seperti melompat dan berorientasi kepada tatanan kota-kota metropolis. Salah satu tandanya adalah, ketika jalan-jalan mulai diperbesar dan kecepatan kendaraan meninggi, suara kendaraan yang bising serta efek pencemaran semakin memperburuk kondisi kota, kemacetan dimana-mana. Konsep tata hijau tropis yang alami tampak tidak diperhitungkan lagi. Sering terjadi intervesi yang mengakibatkan hilangnya lahan terbuka, sehingga kenyamanan kota sebagai wadah habitus manusia yang waras, yang sehat jiwa dan raga menjadi terganggu.

Kota Humanis

Kata humanis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2024) memiliki dua arti, yaitu orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarka asas-asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia.

Shirlu Wunas (2011) mendefinisikian kota humanis sebagai konsep kota yang mempertunjukan faktor kemanusiaan, dengan konsep kota kompak (compact city), merencanakan kota yang terprediksi pertumbuhannya (smart growth), ramah terhadap pejalan kaki dan pesepeda (walkable city), dengan jaringan jalan yang layak, dilengkapi dengan tempat transit (transit oriented development/TOD).

Compact city menurut Burton (2000) menekankan pada dimensi ‘kepadatan yang tinggi’. Pendekatan compact city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenks, 2000).

Menurut Colin Stewart (Usman, 2024) dalam tulisannya yang berjdul “Walking Talking”, kota humanis dapat menyediakan kota yang sehat pada masyarakat melalui kekebebasan memilih, nilai komunitas dan jaringan sosial yang kuat, dan memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk melakukan perpindahan (movement) dan keberlanjutan (sustainability). Hal ini berarti, kota humanis sebisa mungkin tinggal berdekatan dengan tempat kerja, toko-toko, pelayanan pendidikan dan kesehatan, tempat rekreasi dan menyediakan akses untuk ruang terbuka dan perkebunan.

Humanis adalah konsep kota yang mempertimbangkan faktor kemanusiaan, dengan konsep kota kompak, terproyeksi (smart growth) yang mengikuti konsep hemat energi, ekologis, transportasi humanis, ramah lingkungan hidup, dan layak huni. Kota humanis mempunyai visi yang serupa dengan kota berkeIanjutan, kota komprehensif, kota ekologis, kota ramah lingkungan, kota sehat, dan banyak istilah lainnya (Khairah Ummah dalam Ahmad Usman, 2024).

Kota humanis adalah keadaan suatu kota dimana terjadi keseimbangan antara aspek-aspek pembentuk suatu kota, antara lain aspek ekonomi, aspek sosial, aspek budaya dan lain-lain yang menjadi kunci keseimbangan pembangunan kota. Perkotaan yang humanis sangat dekat kaitannya dengan kota hijau, di mana faktor elemen-elemen kota hijau adalah titik tolak sebuah pembangunan kota yang humanis (Diana Putri Wijayanti dalam Ahmad Usman, 2014).

Sedangkan humanisme dapat dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ke-Tuhanan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial (Abdurrahman Mas’ud, 2007). Humanisme menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi dan menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir (Bagus, 1996). Pengertian ini membawa dampak yang kuat pada kebebasan manusia sebagai individu. Humanisme yang meletakkan manusia pada posisi manusia yang tahu diri, manusia yang tahu batas, manusia yang dapat menempatkan dirinya dalam situasi dan kondisi yang baik, tidak merusak, namun menjaga dan melindungi serta bertoleransi dengan semua hal, termasuk dengan alam dan manusia yang lain. Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa humanisme hadir oleh manusia, untuk manusia dan melalui manusia.

Konsep utama dari pemikiran humanistik menurut Mangunwijaya (2001) adalah menghormati harkat dan martabat manusia.

Desain Kota Humanis

Dalam era sains modern dan masyarakat teknologis, ada dua prinsip yang mengarahkan semua usaha dan pemikiran setiap orang dalam rencana kerja, yaitu: kepercayaan manusia pada dua variabel, “produktivitas” dan “efisiensi”. Kedua, prinsip dengan semboyan, “Sesuatu harus dikerjakan karena secara teknis mungkin dikerjakan”. Prinsip tersebut sesungguhnya mengabaikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam tradisi humanis.Tradisi humanis mengajarkan bahwa, “Sesuatu harus dikerjakan karena dibutuhkan manusia.” Demikianlah diungkapkan oleh Erich Fromm dalam The Revolution of Hope-nya.

Dari kutipan di atas, kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan humanis atau humanisme. Secara sederhana, humanis bisa dimaknai sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Karenanya, pendekatan humanis merupakan pendekatan manusiawi atau yang berfokus pada dimensi manusianya. Pada ranah filsafat, humanisme terkadang disebutkan sebagai aliran pemikiran yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya kriteria dalam berbagai hal. Dalam ilmu psikologi, dikenal  aliran psikologi humanistik yang disebut sebagai revolusi ketiga  dalam psikologi, di mana menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, yang tidak dilakukan di era sebelumnya pada aliran psikoanalisis dan psikologi behaviorisme.

Desain humanis mengandung pengertian bagaimana sebuah perancangan kota disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas manusia di dalamnya. Dalam perancangan humanis, diharapkan dapat meningkatkan kualitas humanis yang disarankan dalam berbagai aspek, khususnya visual serta perhatian untuk aktivitas skala kecil, penggambaran orang yang terlibat dalam suatu aktivitas, dan bagaimana suasana perancang ketika sedang berada di kawasan tersebut (Browne Kenneth dalamAhmad Usman, 2024).

Perencanaan humanis berusaha untuk meningkatkan kualitas kawasan yang sudah ada sebelumnya dan biasanya terkait dengan perencanaan struktur sosial. Perancangan desain humanis menganjurkan penggunaan lahan campuran dari lingkungan perkotaan, atau biasa disebut mixed uses yang mengandalkan efektivitas lahan. Pada intinya desain humanis mengutamakan mixed usesaktivitas manusia yang membuat suasana di dalamnya menjadi nyaman, sehingga dapat disebut suatu kompleksitas yang terorganisir.

Paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development paradigm) ini berfokus pada perkembangan manusia (human-growth), kesejahteraan (well-being), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability). Dominasi pemikiran dalam paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), sumber pembangunannya adalah informasi dan prakarsa yang kreatif dengan tujuan utama adalah aktualisasi optimal dari potensi manusia (Korten dalam Tjokrowinoto, 1999). Sedangkan Sulistiyani (2004), mengemukakan bahwa paradigma pembangunan kemanusiaan mencoba mengangkat martabat manusia sebagaimana mestinya sebagai makhluk yang memiliki harga diri, memiliki intelegensi, dan memiliki perasaan, yang dilakukan dengan peningkatan kualitas SDM sehingga akan mengangkat martabat manusia ketempat yang lebih, dengan demikian akan dicapai perubahan sosial yang dicita-citakan.

Indikator Kota Humanis

Contoh pembangunan kota humanis antara lain: pembangunan trotoar yang hijau; rehabilitasi trotoar; pembangunan taman-taman kota; pembangunan ruang terbuka hijau; dan lain-lain.

Namun paradigma pembangunan suatu kota saat ini cenderung hanya mementingkan aspek ekonomi saja, tanpa memperhatikan aspek sosial, budaya bahkan aspek alam pun seringkali diabaikan. Fenomena ini membuat masyarakat terutama di perkotaan menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi (humanis). Perencanaan kota yang tidak humanis antara lain kecepatan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian (pemukiman dan lain-lain), berkurangnya ruang publik merupakan ciri dan karakter sebuah perencanaan kota yang tidak humanis, karena banyak hal masyarakat yang terabaikan. Kondisi yang kurang humanis dalam sebuah kota biasanya akan menciptakan kerawanan terhadap konflik sosial maupun krisis lingkungan, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya ruang terbuka untuk berinteraksi maupun kurangnya ruang terbuka hijau sebagai katalisator lingkungan perkotaan. Tata guna lahan di kawasan perkotaan saat ini sudah cenderung tidak memihak pada manusia sebagai objek pembangunan yang akan merasakan manfaat dari pembangunan itu sendiri.

Tata guna lahan yang humanis adalah penataan guna/fungsi dari ruang-ruang (lahan) dalam suatu wilayah atau kota yang mendukung kegiatan dasar manusia untuk menikmati kehidupannya. Humanis di sini memang menekankan pada pro-manusia untuk dapat dengan mudah dan nyaman melakukan kegiatan-kegiatan dasarnya. Penyediaan taman merupakan suatu langkah untuk menuju tata guna lahan yang humanis. Karena dengan penyediaan ruang untuk berekreasi di taman berarti turut memberikan ruang untuk mengekspresikan diri melepaskan penat dari ruang-ruang yang menjenuhkan. Di taman anak-anak dapat bermain, para orang tua dapat berinteraksi dengan bercengkrama dan sesekali dapat terlibat dalam obrolan santai yang menyenangkan. Ini berarti dengan memberikan/merencanakan ruang-ruang publik seperti taman, telah mendukung apa yang dimaksud dengan penataan guna lahan yang humanis.

Penyediaan pedestrian yang nyaman bagi para pejalan kaki, juga merupakan contoh lain dari penataan guna lahan yang humanis. Tata guna lahan yang humanis juga memiliki beberapa kriteria. Di antaranya adalah: tata guna lahannya harus saling mendukung (proporsional); memberikan kemudahan dalam aksesibilitas bagi manusia yang berada dalam  kawasan tersebut; bersih, ramah lingkungan, dan berwawasan; dalam suatu kawasan memiliki fungsi mixed use yang dapat memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

Kriteria-kriteria di atas merupakan kriteria-kriteria minimal untuk merencanakan penggunaan lahan yang humanis. Semakin detail dan semakin tajam dalam analisis kondisi masyarakat akan memberikan nilai yang lebih bagus dalam menata guna lahan suatu kawasan ataupun wilayah. Karena sesungguhnya kriteria-kriteria humanis itu lebih subjektif, bergantung dengan individu-individu itu sendiri. Akan tetapi, terkadang kriteria humanis juga dipengaruhi oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat di kawasan tertentu

Filsafat Ekologis – Humanis

Filsafat ekologis-humanis dalam pembangunan kota menurut H. Syamsul Bahrum (2013), bahwa kemajuan teknologi idealnya semakin menekan beban ekologis dalam pembangunan, namun berbagai penemuan  misalnya, teknologi transportasi juga menyebabkan menambah beban lingkungan.

Saat ini, sektor transportasi bukan menjadi sisi keinginan tetapi sudah menjadi factor kebutuhan publik. Kemajuan ekonomi  akan meningkatkan  mobilitas penduduk. Semakin tinggi mobilitas penduduk, maka akan memperbesar permintaan akan transportasi baik publik maupun privat. Kecelakaan di sektor ini merupakan malapetaka besar.

Industrialisasi yang membutuhkan bahan baku (proses produksi) dan bahan bakar (menggerakkan mesin produksi) merupakan salah satu penyumbang pemanasan global. Di negara maju saat ini dalam mengimpor produk dari negara berkembang selalu memasukkan persyaratan “eco labelling” bahwa produk yang dihasilkan tidak berasal atau menyebabkan degradasi lingkungan.

Peningkatan penduduk dunia (world population) yang drastis juga membutuhkan penanganan pembangunan yanh semakin humanis. Manusia bisa menjadi tujuan pembangunan tetapi bisa pula menjadi penyebab kehancuran pembangunan.  Peningkatan ini merupakan fenomena kehidupan yang dikenal dengan “good problems” yakni suatu “kondisi perbaikan yang lama” yang menimbulkan “situasi persoalan baru”.  

Contoh,  sebagai akibat dari kemampuan manusia untuk memelihara kesehatan, mengobati berbagai  penyakit dan hasil penemuan aneka macam teknologi kesehatan. Kesemua hasil penemuan teknologi dan ilmu kesehatan ini misalnya dalam menyelamatkan pasien, perbaikan hygin dan sanitasi lingkungan dapat memperpanjang harapan hidup (life expectancy) dan umur (life longevity) umat manusia.

Keadaan ini diperburuk dengan  peningkatan laju pertumbuhan penduduk berlebih (surplus demographic growth) yang ada di kebanyakan negara berkembang (developing countries) dan terbelakang (under-developed countries).  

Jadi  situasi paradoks demografis ini memunculkan  apa yang diterminologikan sebagai  “dual problems on one issues” yakni satu isu pertumbuhan penduduk yang dimunculkan oleh dua persoalan tadi.

Meningkatnya kemajuan hidup manusia juga membawa dampak. Masyarakat saat ini sudah sangat membutuhkan “air-conditioner”, kulkas (refrigerator) yang sesungguhnya kedua alat tersebut menghasilkan gas (CFC, HFC, dan PFC) yang berbahaya bagi lingkungan dan mempercepat pemanasan global. Padahal pemanasan  global dengan naiknya suhu “dijawab” masyarakat dengan membeli AC dan kulkas. Suatu paradoks dari lingkaran setan (vicious circles) muncul dalam jebakan pembangunan (development traps).

Sampah-sampah yang dihasilkan karena kemajuan industri, peningkatan volume perdagangan, naiknya konsumsi masyarakat dan berbagai aktivitas sosio-ekonomi menghasilkan sampah. Sampah yang dikumpulkan dalam TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dalam jangka waktu tertentu akan membusuk dan menghasilkan gas methana (CH4) yang merupakan salah satu penyebab efek rumah kaca. Oleh karenanya negara-negara maju siap membeli gas methana yang diproses/diproduksi dari TPA khususnya di negara berkembang apabila dapat mereka olah yang dikenal dengan Proyek “Land-fill Gas”. Ini salah satu alasan kebijakan swastanisasi sampah.

Kota Humanis secara Ekonomi dan Sosial

Kota adalah organisme hidup, bukan hanya terbatas gemilangnya pembangunan fisik semata. Memang fisik kota mempengaruhi perilaku manusia, sehingga bisa dibayangkan sebuah kota yang padat bangunan, semrawut lalu-lintasnya dan berbagai masalah lingkungan lainnya turut mempengaruhi aktivitas dan perilaku penghuninya, menjadi lebih agresif, egois dan cenderung kasar. Tetapi sesunguhnya manusia penghuni kotanya yang perlu banyak berubah.

Membuat kota menjadi lebih manusia dapat dilakukan dengan menyeimbangkan antara ekonomi, sosial dan budaya. Setiap kota seharusnya berfokus dengan beberapa isu untuk membuat lingkungan kota yang lebih humanis, seperti bangunan sejarah, sistem transportasi, sistem edukasi, olahraga dan rekreasi, serta kota yang berkelanjutan.

Berdasarkan Human Cities Initiative (Jun De Dios dalam Ahmad Usman, 2024), kota humanis harus membangun sistem transportasi yang mumpuni untuk mempermudah pergerakan masyarakat dan barang. Selain itu, sistem pendidikan ikut menjadi perhatian karena inovasi perkotaan dipercaya terjadi atas dasar inovasi pendidikan untuk masyarakat.

Suatu kondisi dimana masyarakat  sebuah kota memiliki kesamaan akses dalam berproduksi, dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan juga dalam berpolitik. Arti terminologi politik di sini adalah mempunyai posisi yang kuat dalam hal akses terhadap proses pembangunan.  Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kaum miskin kota (sebagai korban utama kota yang tidak humanis secara ekonomi dan sosial) tidak mempunyai akses terhadap proses pembangunan. Euforia konsep bottom up planningyang melahirkan participatory planning sebagai anak kandungnya belum meraih kesuksesan di lapangan. Konsep ini belum bisa mencapai tingkat tertinggi dalam partisipasi, yaitu tingkat dimana kemauan masyarakat mampu mempengaruhi kebijakan elite/teknokrat  pembangunan. Saat ini paling banter adalah tingkat sosialisasi atau konsultasi, hanya sedikit di atas tingkat manipulasi.

Cita-cita kota yang humanis ini bukan saja ditujukan demi kepentingan kaum miskin kota, tetapi lebih umum lagi yaitu seluruh lapisan masyarakat. Kaum berpunya pun menjadi korban dari kota yang tidak humanis. Meski lapisan ini telah humanis dari segi ekonomi, tetapi belum humanis dari segi sosial. Contoh kecilnya adalah konsep pembangunan perumahan “regency” yang terisolasi dengan dalih sistem keamanan. Hal ini mempunyai ekses negatif secara sosial. Interaksi layaknya rumah yang bertetangga tidak ditemukan di sini, interaksi sosial penghuni regency dengan masyarakat sekitar menjadi terhambat. Belum lagi masalah sewrawutnya sirkulasi transportasi yang notabene berbanding lurus dengan kesalahan penempatan struktur kota.

Keberhasilan humanisasi segi ekonomi akan berdampak positif pada segi sosial. Bila setiap penduduk mempunyai akses yang sama di bidang ekonomi, maka hal itu akan mendorong sistem sosial yang humanis pula, hal ini dapat terjadi karena tidak ada lagi disparitas akses di setiap lini kebutuhan masyarakat.

Perlu Langkah Politis Menuju Kota Humanis

Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh generasi sekarang adalah makin terbukanya ruang demokrasi bagi seluruh masyarakat. Hal ini berarti bahwa adanya keleluasaan dan penambahan akses politik bagi seluruh masyarakat. Maraknya organisasi-organisasi massa swadaya merupakan konsekuensi positif yang logis sebagai buntut dari fenomena ini. Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai salah satu elemennya, mempunyai posisi strategis. Posisi strategis ini karena LSM dipandang sebagai organisasi penyadaran di tingkat grassroot dalam menguatkan bargaining positition masyarakat bawah. Semua ini dalam rangka memperbesar akses masyarakat bawah terhadap pembangunan.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah “ruang politis” untuk memperkuat akses ini dapat diterima secara cuma-cuma? Dari pihak pemerintah, sebenarnya “ruang politis” ini sudah diberikan. Hal ini seperti yang termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 1998 yang mengatur tentang Tata Cara Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan. Dari peraturan ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa Negara menjamin partisipasi masyarakat. Peluang politis ini harus segera ditindaklanjuti dengan aksi-aksi yang nyata. Aksi-aksi dari masyarakat yang menuntut diterapkannya konsep ini secara riil di lapangan.

Langkah politis dalam bentuk tuntutan keterlibatan masyarakat, terutama kaum miskin kota, dalam proses pembangunan harus segera ditempuh. Perjuangan partisipasi masyarakat dengan pendekatan politis merupakan salah satu cara untuk mendobrak kebuntuan akses masyarakat bawah terhadap proses pembangunan. Langkah awal yang masih realistis untuk mewujudkan langkah politis ini adalah dengan penguatan posisi masyarakat dalam konsolidasi pembangunan yang selama ini hanya didominasi oleh birokrasi dan pengusaha.

Langkah politis yang ditawarkan merupakan salah satu pendekatan alternatif. Langkah ini untuk mendobrak kebuntuan akses terhadap pembangunan yang dialami oleh kaum miskin kota. Pendekatan alternatif dalam konteks pembangunan ini sebagai jalan yang berakar dari bawah untuk mendekati cita-cita filosofis pembangunan kota. Bahwa kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan. Karena telah menjadi keresahan bersama ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri tidak mampu membuka kebuntuan akses masyarakat.

Permasalahan dan Solusi Menuju Kota Humanis

Pada perkembangan pembangunan dan penataan ruang yang terjadi selama ini, pengetahuan mengenai manusia, seringkali tidak menjadi prioritas untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan. Bahasan Manusia kerapkali hanya terdapat dalam angka-angka statistik pada aspek kependudukan. Padahal, pendekatan humanis, adalah sebuah pendekatan yang terkait dengan diri kita sendiri, di mana manusia adalah objek dan sekaligus sebagai subjek perencanaan dan pembangunan. Karenanya, dalam kesempatan lain, Erich Fromm mendakukan bahwa manusia sebagai perencana, harus menyadari peranannya sebagai bagian dari seluruh sistem. Manusia sebagai pembangun dan penganalisis sistem, mesti menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek sistem yang ia analisis. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kodratnya dan kemungkinan-kemungkinan manifestasinya seyogyanya menjadi salah satu data dasar bagi berbagai perencanaan.

Saat ini, kecenderungan pembangunan dan penataan ruang kita, masih mementingkan aspek ekonomi ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial serta budaya. Dan bahkan alam serta lingkungan pun, seringkali diabaikan. Padahal pembangunan dan penataan ruang yang tidak humanis, sangat berpotensi menyebabkan konflik sosial serta krisis lingkungan. Konflik tersebut akan terjadi, manakala pembangunan dan penataan ruang menemui kegagalan dalam menciptakan kehidupan yang manusiawi (humanis). Sebagian kecil dari hal itu, bisa kita temukan di berbagai kota dan daerah, di antaranya: ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang, semakin berkurangnya ruang publik atau ruang terbuka yang dapat digunakan masyarakat berinteraksi secara nyaman, sarana transportasi yang terus bersoal; dari masalah kemacetan, area parkir yang langka serta fungsi pedestrian yang tidak semestinya. Boleh jadi, problematika semacam inilah yang menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan kritis para intelektual dan aktivis perkotaan, seperti Henri Lefebvre, David Harvey dan juga Neil Smith. “Right to the City” atau Hak atas Kota misalnya, merupakan sebuah perspektif gerakan  dalammelawan proses pembangunan perkotaan ala Neoliberalisme, seperti privatisasi dan komersialisasi  ruang perkotaan serta mendominasinya kawasan industri dan perdagangan. Masyarakat akhirnya mengalami krisis ruang publik. Mungkin benar yang diujarkan oleh Yasraf Amir Piliang, bahwa salah satu alasan orang menyenangi cyberspace, karena ia dianggap dapat menggantikan keberadaan ruang publik (public space), yang telah semakin menghilang di dalam masyarakat kita.

Beberapa permasalahan yang timbul seiring dengan pertumbuhan infrastruktur dan sarana kota antara lain: pertama, kecepatan konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Ini dapat kita lihat pada wilayah subur untuk kegiatan pertanian, lahan pertanian semakin berkurang, diganti dengan tumbuhnya perumahan-perumahan penduduk.

Kedua, tidak tersedianya paru-paru kota, sebagai lahan hijau yang akan menyerap air hujan untuk kestabilan permukaan air tanah,dan keseimbangan lingkungan antara lahan hijau dan wilayah permukiman. Ketiga, laju pertumbuhan kendaraan bermotor tidak sebanding dengan pertambahan panjang jalan.

Keempat, drainase kota yang tidak efektif,untuk mengalirkan air dari daerah-daerah rawan banjir. Kelima, pengelolaah sampah yang tidak maksimal dan kesadaran masyarakat yang kurang untuk memanfaatkan tempat penampungan sampah yang sudah dibuat.

Keenam, tumbuhnya pusat-pusat bisnis dan perdagangan seperti ruko, supermarket, mal dan perkantoran yang tidak diimbangi dengan persediaan tempat parkir kendaraan yang cukup, akan menjadikan kemacetan lalu-lintas di sekitar pusat bisnis dan perkantoran tersebut,karena kendaraan akan parkir pada badan jalan. Ketujuh, tidak adanya traffic light pada jalan-jalan yang dibuat zebra cross, rawan terhadap kecelakaan lalu lintas.

Permasalahan lainnya yang menyangkut dengan masyarakat dan pemerintah antara lain:  pertama, masih adanya para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar, walaupun sudah dilakukan penertiban Satpol PP. Kedua, masih banyak kita lihat pengendara kendaraan bermotor yang melanggar traffic light,dengan tidak mengindahkan syarat-syarat lampu tersebut. Ketiga, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempat-tempat penampungan sampah yang sudah dibuat pemerintah, ini juga disebabkan terbatasnya lokasi penampungan sampah. Keempat, tidak adanya ketegasan pemerintah dalam pemberian izin mendirikan bangunan pada tempat-tempat yang dilarang untuk mendirikan bangunan.
Kelima, kurangnya pasar-pasar tradisional yang difasilitasi pemerintah, sehingga banyak para pedagang membangun pasar-pasar kaget yang kadang kala membludak sampai ke jalan-jalan. Keenam, rencana Tata Ruang Kota yang belum sempurna dan sering berubah-ubah.

Dari beberapa permasalahan yang dipaparkan di atas, dapat sebagai gambaran bagi kita untuk mencari solusi yang terbaik menuju kota yang humanis.

Beberapa solusi yang patut dipertimbangkan untuk terciptanya kota yang humanis dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama,  pemerintah sudah harus memikirkan untuk membangun pasar-pasar tradisional, setiap kecamatan minimal memiliki satu pasar tradisional dengan luas kurang lebih 5 hektare. Kedua, pemerintah harus tegas dalam pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB ) baik terhadap pengembang, investor maupun masyarakat agar tidak bertentangan dengan rencana tata ruang kota. Ketiga, pengelolaan persampahan harus diserahkan kepada kelurahan, dikoordinasi oleh pihak kecamatan. Keempat, pada persimpangan yang menggunakan traffic light harus dijaga petugas lalu lintas, baik pada jam-jam sibuk maupun jam sepi. Kelima, pemerintah juga sudah harus memikirkan dibangunnya ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota yang akan berpengaruh terhadap karakter masyarakat kota, yakni terciptanya keseimbangan lingkungan dan kenyamanan bagi masyarakat kota.

Keenam, sistem transportasi kota sudah harus dipikirkan tentang pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi dan arus masuk dari daerah tetangga terutama untuk hari libur, Sabtu dan Ahad,orang-orang dari kabupaten akan datang ke kota untuk berbelanja.

Terakhir ketujuh, perencanaan drainasi kota harus mengacu kepada masterplan drainasi kota yang sudah dibuat sehingga antara saluran primer, sekunder dan tersier berhubungan dalam satu sistem pengaliran dengan ketinggian dasar saluran yang saling menunjang.

Demikian beberapa hal yang menjadi agenda perbaikan kota ke depan. Semoga sebuah kota akan lebih nyaman, bukan sebaliknya semakin gersang, ganas dan semrawut.

Basis Pengembangan Infratruktur Perkotaan yang Humanis

Aspek ruang perkotaan tidak hanya berhubungan dengan ruang terbuka hijau atau lingkungan hidup, tetapi merupakan rencana fisik dan ekologi kota yang sesuai dengan kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya dan masyarakatnya, dengan mempertimbangkan kebutuhan pengembangan politik serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), mewujudkan keberlanjutan dalam bangunan ekologis, penggunaan sumberdaya alam, dan meningkatkan kualitas Iingkungan hidup (Khairah Ummah dalam Ahmad Usman, 2024).

Kota telah dikenal dalam sejarah sebagai simbol peradaban, bahkan untuk peradaban-peradaban tertua di dunia. Fungsi perkotaan telah menembus batas dimensi perekonomian, hingga mencakup pula dimensi sosial budaya, sebagai manifestasi dari hakikat dasar kota. Hakikat dasar kota adalah tempat berkumpulnya manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi dan sosial, dan berkumpulnya manusia menciptakan efek aglomerasi yang selanjutnya mendorong kemajuan peradaban manusia.

Dominasi kota dalam kehidupan manusia dapat dilihat sebagai fenomena global, di mana kota tidak saja tumbuh dari segi jumlah dan populasi masing-masing kota, namun juga meningkatnya peran kota dalam perekononomian negara. Di Jepang, ketiga kota metropolitan yaitu Tokyo, Osaka dan Nagoya, beserta daerah hinterland masing-masing kota tersebut, mencakup hanya 5,2% luas Jepang, namun menyumbang 33% dari populasi Jepang, dan 40% dari PDB Jepang. Begitu pula di Perancis, Greater Paris hanya seluas 2,2% dari luas Perancis, tetapi menyumbang 30% dari PDB Perancis.

Kota muncul dikarenakan adanya surplus pertanian, dan pada saat yang sama, terjadi spesialisasi tenaga kerja. Namun demikian, spesialisasi tenaga kerja menuju bidang usaha non-pertanian dasar, memiliki karakteristik increasing returns to scale, dimana dengan peningkatan skala produksi, maka efisiensi produksi akan meningkat. J.U. Marshall (1989) menekankan bahwa kegiatan ekonomi tertentu muncul di kota dikarenakan adanya efisiensi dalam aspek komersial, manufaktur dan administrasi yang sulit dicapai jika beroperasi di populasi yang tersebar (dispersed).

Selain itu, menurut Marshall (Usman, 2024), eksternalitas sebagai efek aglomerasi, dapat digambarkan sebagai preferensi industri untuk saling berlokasi dekat satu sama lain dikarenakan kelebihan yang sangat signifikan untuk pemain ekonomi dengan keahlian yang sama dari keberadaannya yang dekat dengan lingkungan keahlian yang sama. Proses ini terjadi seperti di luar kesadaran, dimana pekerjaan yang baik diapresiasi dengan tepat, penemuan dan perkembangan dalam peralatan, proses dan pengaturan bisnis dibahas secara intensif, dan ide baru cepat diimplementasikan atau bahkan dikembangkan dengan masukan dari pihak lain. Inilah proses yang menurut Marshall menjelaskan kreativitas insan perkotaan.

Thisse dan Fujita (2002) menyimpulkan adanya empat hal yang menjadi kunci dari kelebihan aglomerasi perkotaan, yaitu produksi massal dalam karakteristik increasing returns to scale, ketersediaan jasa dan bahan baku khusus, terbentuknya tenaga kerja spesialis dan ide-ide baru dari akumulasi human capital dan komunikasi face-to-face, serta adanya infrastruktur modern.  

M. Infrastruktur Perkotaan yang Humanis

Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendukung kegiatan masyarakat, termasuk jaringan telekomunikasi, listrik, air dan sanitasi, serta transportasi. Keberadaan infrastruktur modern menjadi kunci penopang kegiatan masyarakat perkotaan. Penyediaan infrastruktur perkotaan seringkali terkendala meningkatnya populasi kota dari urbanisasi yang bersamaan dengan semakin tuanya infrastruktur yang ada dan keterbatasan kapasitas.

Aglomerasi melibatkan dua macam gaya, yaitu gaya centripetal yang menarik kegiatan ekonomi dan sosial untuk berlokasi secara terpusat dan terkumpul demi mendapatkan manfaat aglomerasi di antaranya economies of scale, dan gaya centrifugal yang mendorong kegiatan ekonomi dan sosial untuk berlokasi di luar dikarenakan adanya inefisiensi dari congestion di perkotaan atau biaya tanah yang mahal. Ketidakmampuan kota meningkatkan pelayanan infrastruktur sesuai tingkat pertumbuhan populasi akan mendorong gaya centrifugal.

Tantangan terbesar yang dihadapi perkotaan adalah penyelarasan pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dikarenakan kuatnya tekanan dari fungsi ekonomi perkotaan dalam menopang perekonomian negara. Penyediaan infrastruktur, bahkan peningkatan efisiensi ruang perkotaan, didominasi oleh pertimbangan ekonomi, dan sifat sosial dan lingkungan menjadi penyeimbang. King (Usman, 2024) mengamati bahwa sejak abad ke-19, masyarakat mulai melihat kota sebagai sebuah kelompok bangunan, fungsi dan infrastruktur kompleks yang bersama-sama memiliki pengaruh penting terhadap kualitas kehidupan masyarakatnya, dan keinginan untuk mewujudkan lingkungan kota yang lebih sehat menimbulkan pemisahan urban planning dari disiplin ilmu arsitektur dan teknik (engineering).

Integrated Territorial and Urban Conservation Program (ITUC) merupakan program dari International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property di bawah naungan UNESCO. Program ini mencoba mengintegrasikan perencanaan untuk situs bersejarah dan daerah kebudayaan penting, ke dalam kerangka perkotaan dan wilayah yang lebih besar. Salah satu kajian penting dari program ini adalah aspek estetika di dalam perencanaan kota. Tekanan populasi dan meningkatnya ekspektasi terhadap fungsi ekonomi perkotaan, menyebabkan dominasi aspek ekonomi dalam perencanaan perkotaan, di mana hal yang menjadi perhatian utama perencana kota adalah dalam menangani kebutuhan akan efisiensi, hygiene, produktivitas dan penyediaan barang umum (social goods). Pertimbangan estetika menjadi suatu variabel yang sulit diintegrasikan ke dalam formula perencanaan kota di tengah tekanan ekonomi yang berat.

Pengembangan sarana transportasi membawa perencanaan kota ke dimensi lain, dimana fokus yang sebelumnya lebih hanya kepada hygiene dan udara bersih, kemudian bertambah bahkan menjadi relatif didominasi aspek lalu lintas. Namun Baumeister sebagaimana dikutip King, menekankan bahwa fungsi estetika tetap memegang peranan dalam perencanaan kota, dimana dikatakan bahwa jalan harus simetris, memiliki aspek visual yang baik dan deret bangunan yang atraktif. Di sisi lain, King mengutip Camillo Sitte yang percaya bahwa perencanaan kota berdasarkan sistem grid yang ketat membuat seni menjadi tidak memegang peranan.

City beautiful adalah perencanaan yang relatif mendominasi perencanaan kota di dunia dan dianggap cukup berhasil memadukan aspek estetika dan aspek sosial ekonomi perkotaan. Karakteristik dari perencanaan beautiful city adalah jalan bulevar yang lebar dengan deretan pepohonan, bangunan publik monumental di beberapa titik penting grid jalan dan taman, serta adanya ruang terbuka. Menurut King, pendekatan ini masih mengundang pertanyaan apakah cukup dengan adanya bulevar diagonal dalam memecahkan grid jalan yang monoton, dapat memenuhi aspek estetika secara memadai. Pendekatan ini cenderung sangat erat dengan upaya mengatasi masalah lalu lintas, pencahayaan dan udara bersih, dikarenakan bulevar lebar dengan deretan pohon tidak hanya indah, tetapi juga mendukung lalu lintas serta memberikan pencahayaan dan aliran udara yang baik untuk gedung-gedung di sekitarnya. Banyak pihak yang melihat aspek estetika sebagai sebuah upaya yang tidak realistis, dimana memaksakan jalan kecil yang berkelok sangat tidak mungkin untuk menampung lalu lintas tinggi, dan kritik keras banyak muncul untuk mencegah infrastruktur perkotaan menjadi kurang fungsional demi sekedar mempertahankan aspek seni (Mohammad Muttaqin Aziskin dalam Usman, 2024).

Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana seharusnya aspek estetika mendapat tempat dalam perencanaan infrastruktur perkotaan, di tengah pentingnya aspek fungsional terkait pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan? Definisi estetika yang begitu luas dan berbeda-beda membuatnya sulit untuk menjadi pertimbangan penentu dalam perencanaan kota, apalagi mengingat estetika relatif subjektif dengan batasan yang kurang jelas sehingga dapat terpengaruh trend dan perubahan selera. Perencana kota relatif melihat bahwa penerapan standar lingkungan, pertimbangan land use, aturan kepadatan, lebar kota, konservasi karakter lokal kota, sebagai upaya yang cukup memadai untuk mengintegrasikan aspek estetika ke dalam perencanaan kota.

Tidak dapat dipungkiri bahwa memadukan seni dan estetika seutuhnya ke dalam perencanaan infrastruktur kota bukan hal yang sederhana, dan kompromi yang dapat dicapai adalah mengutamakan fungsionalitas infrastruktur untuk kemudian diseimbangkan dengan pertimbangan estetika, sebagaimana tercermin dalam gerakan city beautiful.

Departemen Perencanaan Hong Kong pada tahun 2001 hingga 2003 melakukan studi “Urban Design Guidelines for Hong Kong” yang bertujuan menyiapkan acuan desain perkotaan untuk mempromosikan image Hong Kong sebagai world class city dan meningkatkan kualitas built environment dari segi fungsional dan estetika. Dari studi ini terlihat bahwa konsep estetika memiliki adaptability, dan para perencana perlu mempertimbangkan kondisi dasar dari daerah perencanaan. Untuk kasus Hong Kong, studi mengakui bahwa Hong Kong pada dasarnya bukanlah kota dengan karakteristik arsitektur yang berkualitas tinggi, dan memiliki kebutuhan pembangunan dan atribut yang khusus.

Beberapa di antara aspek-aspek yang dipertimbangkan adalah alam, yaitu topografi seperti medan pegunungan, kemudian aspek sejarah yang menentukan perkembangan kota hingga saat ini dimana Hong Kong berawal sebagai fishing villages and market towns yang kemudian di bawah New Town program berkembang ke New Territories dan urbanisasi mendorong perkembangan bangunan-bangunan bertingkat tinggi.

Hong Kong merumuskan urban design attributes kepada tiga level, yaitu makro, intermediate, dan mikro. Pada tingkat makro adalah hubungan antara built environment dengan alam atau natural setting. Atribut termasuk di antaranya pelabuhan, gerbang atau gateways. Pada tingkat intermediate adalah hubungan antara bangunan, bangunan dengan ruang, dan bangunan/ruang dengan jalan. Atribut terkait termasuk di antaranya komposisi bangunan, landmarks, ruang terbuka, jalan pedestrian. Pada tingkat mikro adalah hubungan antara pengguna (masyarakat) dengan built environment, terkait persepsi pengguna. Atribut terkait adalah harmony, street furniture, streetscape, human scale.

Integrasi makro, intermediate, dan mikro menjadi kunci utama pengembangan aspek humanis di dalam perencanaan infrastruktur perkotaan, di mana ketiga aspek dimulai dari keseimbangan dengan kondisi alam, sinkronisasi di antara built environment, dan pada akhirnya, perspektif pengguna atau masyarakat yang ketiganya terwujud melalui atribut yang berbeda-beda yang dapat diformulasikan sebagai acuan perencanaan kota.

Landasan filosofis pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Hal ini berarti bahwa pembangunan kotamemerlukan multidisiplin ilmu. Selanjutnya, tujuan akhir dari pembangunan ialah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berarti bahwa titik sentral pembangunan adalah manusia.

N. Penutup

Desain humanis mengandung pengertian bagaimana sebuah perancangan kota disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas manusia di dalamnya, dan hal ini relevan dengan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia.

Ahli di bidang tata kota Massimiliano Fuksas (Usman, 2024) minta pembangunan kota-kota di Indonesia harus humanis, dalam artian memperhatikan kepentingan manusia atau dikenal sebagai human oriented development. Perbanyak ruang publik serta transportasi publik agar kota menjadi nyaman untuk dihuni warganya.Sejumlah kota di dunia, saat ini berlomba-lomba menyediakan tempat yang nyaman bagi warganya. Persoalan yang dihadapi oleh kota-kota, yakni bagaimana memberikan tempat yang nyaman bagi warganya.

Merujuk pada apa yang telah diuraikan sebelumnya, tampaknya pendekatan humanis, menjadi pilihan yang mesti dijadikan pertimbangan serius dalam semua proses pembangunan dan penataan ruang kita. Sebab, bagi Ali Syariati (Usman, 2024), akan sia-sia saja bila para insinyur, arsitek, atau planner, dengan dasar prinsip teknik dan teknologi yang tinggi serta canggih, berbicara mengenai ruang atau rumah yang paling baik dan cocok, sebelum memahami karakter, kepribadian dan kebutuhan pokok manusia yang akan menghuni. Memahami manusia, memang bukan perkara mudah, bahkan merupakan masalah paling rumit di alam semesta. Karena itu, memerlukan curahan perhatian yang besar.

Pemerintah atau penguasa sebagai penyelenggara pembangunan dan penataan ruang, harus lebih peka dan cermat dalam mengungkap keinginan serta kebutuhan manusia (masyarakat) di daerahnya masing-masing. Tidak mereflikasi kecongkakan Joseph Condrad pada bukunya Nostromo: A Tale of the Seabord, yang dinukil Budayawan D.Zawawi Imron dalam “Gumam-Gumam Dari Dusun-Indonesia di Mata Seorang Santri”. Joseph menulis : “Kita (yakni orang Barat atau penjajah) akan menjalankan urusan dunia, tak peduli apakah dunia suka atau tidak. Kita akan menentukan segala-galanya.”

Pendekatan pembangunan dan penataan ruang, sangat membutuhkan rujukan nilai-nilai transenden dan hati nurani, agar dalam era globalisasi ini, tak ada manusia yang terpinggirkan dan merasa dihina. Dengan demikian, irama pembangunan dan penataan ruang kita akan terasa lebih manusiawi (Mohammad Muttaqin Aziskin dalamUsman, 2024).

Nilai-nilai humanisme religious merupakan nilai agama yang dapat menjawab tantangan jaman yang serba modern sekarang ini. Menurut Jamaris (2010) pendekatan humanisme dan religious merupakan pendekatan yang dibangun berdasarkan teori psikologi humanism yang memberikan penekanan pada pengembangan individu sebagai manusia.

Kata kuncinya: pendekatan humanis sebuah kemestian dan keniscayaan.

Semoga bermanfaat !!!