Oleh : Ahmad Usman*
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar). Foto: Ist
Meminjam akar filosofis utopia yang dikemukakan oleh Thomas More, bahwa manusia akan lebih sehat, lebih tertata, lebih puas, lebih peka terhadap keindahan, apabila lingkungan fisik ditata secara serasi. Bahkan tokoh sekaliber Plato juga pernah mengatakan manusia akan lebih baik, lebih bahagia, lebih produktif, lebih religius, apabila tatanan-tatanan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan diubah (Usman, 2024).
Pernyataan filosofis Thomas More dan Plato di atas, dapat diwujudkan melalui Gerakan Kota Bima “BISA” dan upaya-upaya lain dalam menata kota.
Selain, mewujudkan Kota Bima yang maju sebagai visi pembangunan Kota Bima tahun 2025-2030 di bawah dirigen Walikota Bima H. A. Rahman H. Abidin, SE dan Wakil Walikota Bima Feri Sofiyan, SH yaitu masyarakat yang bermartabat.
Visi-misi “Bermartabat” menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur, budaya, dan moralitas dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan kota.
Penulis akan menggunakan silih berganti istilah bermartabat dan berperadaban dalam artikel ini.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Usman, 2024) pernah mengemukakan ciri masyarakat yang baik (martabat, penulis !) Pertama, masyarakat yang berkeadaban. Ciri kedua, masyarakat yang berpengetahuan luas. Ciri ketiga, masyarakat rukun, harmonis, dan toleran. Ciri keempat, masyarakat yang baik adalah mereka yang terbuka dan bebas mengekspresikan pikiran-pikirannya. Ciri kelima, masyarakat yang tertib serta patuh pada norma dan pranata.
Masyarakat yang maju dan berperadaban tinggi adalah yang mampu mengambil pelajaran dari sejarah, dan menghadirkan pengalaman-pengalaman sejarah di hadapannya, setelah sebelumnya menyadari hukum-hukum sejarah yang akan menuntun masyarakat menuju pembangunan peradaban yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Di samping juga mengetahui sebab-sebab kehancuran dan kemunduran masyarakat-masyarakat terdahulu.
Seyogyanya, pembangunan harus mengarah ke perubahan yang progresif. Perubahan progresif, yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik dan menuju pada kemajuan. Suatu perubahan yang terjadi yang sifatnya maju, meningkat, meluas, berkelanjutan atau bertahap selama periode waktu tertentu baik secara kuantitatif atau kualitatif.
Makna Martabat
Martabat merupakan sinonim dari kata status, tingkat atau nilai suatu kualitas atau great dan kehormatan. Martabat juga berarti harga diri.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2017), martabat adalah bergengsi, berkelas, berpamor, berstatus, prestisius, terhormat. Dalam Bahasa Inggris, martabat diartikan sebagai dignity, grade, prestige, rank, status, danvalue. Dignity atau human dignity artinya pengakuan martabat manusia di mata orang lain ataupun tingkat harkat/harga diri dari manusia itu di mata dirinya sendiri. Atau, rasa harga diri dari seseorang ataupun harga diri kelompok, integritas fisik dan psikologis pada diri seseorang yang tidak dapat dibawa pergi. Setiap orang memiliki nilai, kehormatan dan harus bebas dari perbudakan, manipulasi dan eksploitasi.
Dalam bahasa Yunani, kata martabat diterjemahkan doxa yang memiliki pengertian kemuliaan atau keindahan.
Martabat diartikan juga sebagai tingkat harkat kemanusian, harga diri. Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis. Martabat merupakan konsep yang penting dalam bidang moralitas, etika, hukum, dan politik, dan berakar dari konsep hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat dicabut dari abad pencerahan. Istilah ini juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan tindakan pribadi, contohnya dalam istilah “perilaku bermartabat”.
Selain itu, martabat memiliki pengertian lain. Misalnya beauty (kecantikan), comeliness (memoleskan) keunggulan kemuliaan atau kebaikan kehormatan yang mulia atau yang agung.
Martabat menunjuk pada standar keunggulan, keagungan dan kemuliaan manusia. Martabat umumnya juga dipahami oleh kebanyakan orang sebagai kehormatan seseorang yang menyangkut strata sosial, ekonomi, pendidikan, keturunan dan lain sebagainya.
Martabat ialah harga diri dan hakikat manusia yang masih meliputi Hak Asasi Manusia. Manusia dapat mempertahankan martabatnya sesuai dengan aturan HAM. Selain itu, kebutuhan dasar dari manusia adalah dihargai oleh sesama. Dengan dihargai, manusia merasa memiliki harga diri. Manusia memiliki harkat dan martabat yang berarti membedakannya dengan makhluk hidup yang lain. Ini adalah bukti bahwa manusia memang makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kota yang Bermartabat
Konsep “kota bermartabat” tidak memiliki definisi tunggal dari para ahli, tetapi umumnya merujuk pada kota yang memiliki kualitas hidup tinggi (peradaban penulis !), pelayanan publik yang baik, dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seluruh warganya. Ini mencakup berbagai aspek seperti infrastruktur, ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta partisipasi aktif warga dalam pembangunan kota.
Beberapa poin yang sering dikaitkan dengan kota bermartabat menurut para ahli. Pertama, kualitas hidup.Kota bermartabat menyediakan lingkungan yang layak huni dengan akses ke perumahan, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas umum lainnya. Kedua, pelayanan publik. Pelayanan publik yang prima dan merata, tanpa memandang status sosial ekonomi warga, adalah ciri penting kota bermartabat. Ketiga, keterlibatan warga. Partisipasi aktif warga dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan kota dianggap krusial untuk menciptakan kota yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Keempat, keberlanjutan. Kota bermartabat memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi untuk masa depan yang lebih baik. Kelima, keamanan dan kenyamanan. Lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari konflik juga menjadi ciri kota bermartabat.
Kota bermartabat adalah kota yang berupaya memenuhi kebutuhan dasar warganya, memberikan pelayanan publik yang berkualitas, melibatkan warga dalam pembangunan, serta memperhatikan keberlanjutan dan keamanan lingkungan.
Kota bermartabat dimaknai juga sebagai kota yang mempunyai harga diri yang dapat dibanggakan oleh seluruh warganya, memiliki pelayanan publik prima tanpa membedakan status.
Istilah martabat adalah istilah yang mengacu pada harga diri kemanusiaan yang memiliki arti kemuliaan. Sehingga dengan visi ini diharapkan dapat terwujud suatu kondisi kemuliaan bagi Kota Bima dan seluruh masyarakatnya. Hal ini adalah penerjemahan langsung dari konsep Islam mengenai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur yang diridhoi oleh Allah SWT).
Agar Kota Bima dapat disebut sebagai kota bermartabat, maka akan diwujudkan Kota Bima yang aman, tertib, bersih, dan asri, di mana masyarakatnya adalah masyarakat yang mandiri, makmur, sejahtera, terdidik dan berbudaya, serta memiliki nilai religius yang tinggi dilandasi dengan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan di antara masyarakat.
Kota Bima bermartabat dapat pula dimaknai sebagai kota yang mampu menciptakan suasana luhur, beragam situasi, tantangan, dan karakter bagi kota dan seluruh warganya.
Misi “Kota Bima yang bermartabat”, dapat ditafsirkan beragam. Misi pertama, menjamin akses dan kualitas pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya bagi semua warga. Misi pertama ini mengutamakan pengembangan sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas, aksesibilitas, dan pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan akses terhadap layanan publik dasar bagi seluruh warga Kota Bima. Hal ini akan sesuai dengan pelaksanaan smart city pada dimensi smart economy, smart living, dan smart society.
Misi kedua, mewujudkan kota produktif dan berdaya saing berbasis ekonomi kreatif, keberlanjutan dan keterpaduan. Misi ini mengutamakan daya saing dan kemajuan daerah, kesejahteraan, peningkatan pembangunan infrastruktur, dan daya dukung kota yang terpadu, berkelanjutan, tertib, dan ramah lingkungan. Ini selaras dengan dimensi smart branding, smart economy, smart living, dan smart environment.
Misi ketiga, mewujudkan kota yang rukun dan toleran berdasarkan keragaman dan keberpihakan terhadap masyarakat rentan dan gender. Dengan tujuan tersebut, keharmonisan sosial, kesetaraan gender, dan perlindungan masyarakat menjadi prioritas utama dalam pertumbuhan Kota Bima. Ini sejalan dengan dimensi smart branding, smart economy, smart living, dan smart environment.
Misi keempat, memastikan kepuasan masyarakat atas pelayanan pemerintah yang tertib hukum, profesional dan akuntabel. Dapat melaksanakan perubahan birokrasi dan memberikan pelayanan publik yang berkualitas, profesional, dan akuntabel dengan tetap mengedepankan kebahagiaan masyarakat dalam proses pembangunan. Ini sejalan dengan dimensi smart governance dan smart living.
Dengan demikian, kota yang bermartabat artinya kota mempunyai martabat. Kota yang bermartabat adalah kota yang bisa melindungi anak-anak, perempuan, disabilitas dan lansia.
“Kota Bermartabat” adalah sebuah profil kota yang memiliki masyarakat yang paripurna, terdidik dan berkarakter, lembut dan tegas, aman dan nyaman, serta penuh kesadaran positif. Dalam arti yang lebih luas adalah kota yang aman dari segala bentuk ancaman, senantiasa tertib, terlihat bersih dan asri. Dari sisi lain muncul slogan masyarakat kota yang mandiri, makmur, sejahtera, terdidik dan berbudaya, serta membawa nilai religius yang tinggi, dilandasi dengan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, bersih dari KKN dan sungguh-sungguh melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Sehingga, kota secara umum akan memiliki berbagai keunggulan dan daya saing tinggi untuk dapat menempatkan diri sebagai kota yang terkemuka, dan berprestasi di berbagai bidang.
Bermartabat mengarahkan masyarakat kota ke dalam kondisi masyarakat yang memiliki harga diri, jati diri dan menjadikan kota sebagai kebanggaan bagi seluruh warganya, serta memiliki aparatur pemerintahan yang bersih melalui pelayanan prima tanpa membedakan status.
Makna Peradaban
Makna yang identik dan nyaris sama dengan martabat yakni peradaban. Peradaban berasal dari kata adab yang berarti berakhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Mudjia Rahardjo (2011) memberikan pengertian tentang peradaban yaitu “bila disepadankan dengan civilization, maka peradaban hanya sebatas benda buatan manusia (cultural materials). Namun, jika disepadankan tamaddun, maka tidak hanya sebatas benda buatan manusia, namun juga berbagai gagasan cemerlang, pola perilaku luhur dan bermatabat.” Tamaddun sendiri terdiri dari dua komponen yaitu madaniyah yang merupakan aspek materi dari tamaddun dan kebudayaan (tsaqaafah) yang merupakan aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun.
Koentjaraningrat (2008) memberikan pengertian tentang peradaban, yaitu bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian. Serupa dengan pendapat dengan Koentjaraningrat, Pidarta (Taum,1997) mengungkapkan bahwa peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju.
Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington, 1997). Di samping hal itu, Franz Boas (Usman, 2024) mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa.
S. Czarnowski (Usman, 2017) mengartikan peradaban sebagai suatu taraf tertentu dari kebudayaan, yakni taraf yang tertinggi yang mengandaikan tingkat-tingkat perkembangan secara umum dari umat manusia sebelumnya yang lebih rendah selama prasejarah dan zaman-zaman yang biadab.
Peradaban atau civilization didefinisikan dalam beberapa pengertian. Beberapa ilmuwan Barat seperti Samuel Huntington, Czarnowski, Rene Sedilot dan lain-lain, mengartikan civilization sebagai nilai-nilai, institusi-institusi dan pola pikir, termasuk khasanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang mencapai taraf tertentu dari kebudayaan yang menjadi bagian dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Dalam Islam, ada istilah yang disebut hadharah, yang artinya sekumpulan konsep tentang kehidupan yang berupa peradaban spiritual (diniyah ilahiyyah) maupun hasil berpikir manusia (wadl’iyyah basyariyyah).
Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu. Antropolog Malinowski (Ahmad Usman, 2005:95), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual. Pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum.
Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban. Budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral (Yunani kuno sebagai budaya). Peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material (Romawi kuno sebagai peradaban). Spengler menyebut zivilization(peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur.
Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.
Peradaban berarti segala sesuatu yang dihasilkan manusia/kebudayaan yang bersifat baik atau dapat memajukan kehidupan dan hal semacam ini hanya berlangsung sementara dan dalam kurun waktu tertentu. Jadi dengan kata lain peradaban merupakan hasil/puncak perkembangan dari suatu kebudayaan dan bersifat kompleks.
Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK
Dari beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa peradaban ialah keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku atau agama yang membedakannya dari yang lain. Manusia yang tidak memiliki peradaban adalah manusia yang biadab. Sebab ketika berbicara peradaban jelas bagi kita membicarakan tentang nilai.
Peradaban Perkotaan
Beragam persoalan dalam perencanaan kota menyebabkan munculnya pemikiran baru tentang peradaban perkotaan. Dalam perspektif ini dipandang perlu sebuah kebijakan perencanaan kota yang lebih demokratis, terbuka, mengutamakan pemenuhan kebutuhan yang aktual dan terukur, berlandaskan prinsip kontemporer debate and decide (Saunders, 2006 dalamUsman, 2020). Selama ini kebijakan perencanaan kota cenderung teknokratik, tertutup, dan berlandaskan prinsip konvensional predict and provide.
Manusia dan peradaban merupakan dua hal yang tidak mungkin terpisahkan. Manusia melalui kemampuan cipta dan karya selalu melakukan karya-karya di segala bidang kehidupan. Istilah peradaban mempunyai arti yang erat kaitannya dengan manusia. Istilah peradaban seringkali merujuk pada suatu masyarakat yang kompleks.
Hakikat pembangunan kota yang baik adalah membangun masyarakat. Sebaik apa pun sebuah kota, masyarakatlah yang akan menjadi penentu akan bertahan seberapa lama keutuhan kota tersebut.
Untuk membangun kota yang baik, masyarakat harus berpendidikan dan moral yang baik. Untuk pembangunan kota yang lebih efektif, masyarakat harus melakukan pembelajaran sejarah masyarakat yang telah berhasil membangun kotanya.
Setelah mengetahui sejarah, langkah selanjutnya yang harus dipahami adalah modal, proses, dan tujuan pembangunan yang mengarah pada perekonomian yang baik, masyarakat yang baik, dan proses politik yang baik (Ryan Alfian Noor dalam Usman, 2024).
Pembangunan kota membutuhkan masyarakat dan pemerintah yang sinergis. Pasalnya, ciri kota yang maju adalah meningkatnya partisipasi warga dalam semua aspek, di antaranya pembangunan kewilayahan.
Pilar Modal Pembangunan
Ibnu Khaldun (Usman, 2024) pernah mengatakan bahwa pembangunan sebuah peradaban yang berkesinambungan, seharusnya tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual dan moral bangsa. Sebab makna membangun peradaban mencakup makna umur dan kemakmuran sebagai objek tujuan. Artinya, setiap jiwa yang diberi umur harus membangun. Sebab kerja-kerja pembangunan adalah ibadah yang wajib dilakukan manusia selaku pemimpin (khalifah) di muka bumi demi tercapainya kemakmuran dunia akherat.
Menurut World Bank, ada empat pilar modal yang diperlukan sebuah kota agar dapat melaksanakan sebuah proses pembangunan kota yang baik. Empat modal itu adalah modal alami, modal fisik, modal manusia, dan modal sosial. Semua modal tadi dipadukan dalam satu indikator yang bernama gross domestic product (GDP). Semakin tinggi GDP sebuah kota, maka semakin produktif dan tumbuh ekonomi kota tersebut. Untuk membangun kota madani berperadaban, parameter GDP tidaklah cukup. Pandangan ini terlalu sempit. Pembangunan masyarakat juga harus dipadu dengan peningkatan kualitas hidupnya.
Untuk melakukannya, pemerintah tidak akan bisa melakukannya sendiri. Perlu ada campur tangan masyarakat di dalamnya untuk membantu pemerintah. Berbicara tentang pemerintah, kota peradaban memerlukan pemimpin yang bersih jujur, adil, dan profesional untuk mengambil pilihan-pilihan sulit untuk membuat kota yang lebih baik.
Pemimpin di sini adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Koordinasi dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat adalah vital. Di sinilah mental pemimpin akan diuji, apakah berhasil atau tidak. Masyarakat yang hidup dalam nuansa kota yang demokratis pun harus aktif mengawasi pembangunan kotanya.
Masyarakat harus mengingatkan pemerintahnya dengan cara-cara yang beretika dan bermoral. Hal ini harus didukung dengan peran kaum intelektual, pengusaha, dan media massa yang memberikan informasi yang menunjang kebenaran, kemajuan, dan persatuan. Dalam bukunya, The Theory of Moral Sentiments (1754), Adam Smith memberikan sebuah argumentasi bahwa pemenuhan kepentingan pribadi (pure self interest) setiap warga harus diimbangi dengan pengendalian diri (self restraint) dari ambisi dirinya. Di sinilah fungsi besar pemerintah menjadi pengendalinya.
Bukan hanya dengan hukum dan peradilan, namun juga dengan nilai-nilai religiusitas dan budaya luhur masyarakatnya sendiri. Walaupun pada kenyataannya perekonomian yang baik, masyarakat yang baik, hukum yang baik, dan proses politik yang baik adalah dambaan semua elemen masyarakat yang hidup di kota berperadaban, terkadang semua hal ini sulit tercapai. Ada banyak kasus di lapangan yang membuat satu hal dambaan tadi saling berlawanan dengan hal yang lainnya (trade-off).
Untuk itu perlu ada upaya pemerintah dan masyarakat untuk merealisasikan pemerintahan, sektor swasta,dan masyarakat yang baik (good governance, good private sectors,dan good people).
Makna Pembangunan Berperadaban
Hakikat pembangunan di Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Seiring dengan itu, pembangunan pun menghendaki keikutsertaan dari seluruh warga tanpa terkecuali. Adapun secara spesifik menurut Profesor Goulet dan beberapa tokoh lain mengatakan bahwa paling tidak ada tiga komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami arti pembangunan yang paling hakiki, yaitu: pertama, kecukupan (sustenance); kedua, harga diri (self-esteem); dan ketiga, kebebasan (freedom), yang merupakan tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan.
Kecukupan (sustenance) yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar di sini yaitu segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menghentikan kehidupan seseorang, meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Fungsi dasar dari semua kegiatan ekonomi hakikatnya adalah untuk memenuhi -minimal- kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Maka bisa dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan prasarat bagi membaiknya kualitas kehidupan.
Harga diri (self-esteem) yaitu menjadi manusia seutuhnya. Komponen universal yang kedua dari kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya. Indicator keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari gedung-gedung mewah ataupun teknologi canggih dan modern, mlainkan segala hal yang bersifat internal diri manusianya sendiri harus ikut dibangun.
Kebebasan (freedom) dari sikap menghamba yaitu kemampuan untuk memilih. Artinya makna pembangunan harus memiliki konsep kemerdekaan manusia. Kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Jika kita memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya kita mampu untuk berfikir jernih dan menilai segala sesuatu atas dasar keyakinan, fikiran sehat, dan hati nurani kita sendiri. Kebebasan juga meliputi kemampuan individual atau masyarakat untuk memilih satu atau sebagian dari sekian banyak pilihan yang tersedia.
Indikator Masyarakat Kota Berperadaban
Menurut Nurkholis Majid (Usman, 2024), masyarakat berperadaban lebih kurang sama dengan masyarakat madani atau civil society yang berciri adil, terbuka, dan demokratis dengan landasan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ciri lainnya adalah egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasar prestasi, bukan prestise (seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan bukan berdasarkan keturunan.
Keadilan di negeri ini sering kali masih terbentur dengan kepentingan kelas sosial yang lebih tinggi (pejabat, elit politik, konglomerat, dan para pemimpin). Keadilan sering kali juga masih menjadi sebatas wacana mimpi bagi rakyat yang turun ke jalan-jalan meneriakkan keadilan, atau rakyat yang hanya bisa bersuara lantang karena tidak cukup modal ekonomi atau akses politik.
Keterbukaan yang meniscayakan rakyat ikut berpartisipasi memberikan saran, ide, bahkan kritik, juga sering kali masih menjadi “mitos” yang sengaja diembuskan oleh para penguasa, memanfaatkan momentum transisi demokrasi setelah lama terkungkung sistem otoriter Orde Baru kreasi rezim Soeharto. Para penguasa seringkali menanggapi suara-suara kritis secara emosional karena (mungkin) para penguasa itu merasa kalau mereka adalah penguasa yang maknanya adalah “menguasai” apa pun, termasuk wacana-wacana publik terkait dengan kerja dan kinerja mereka. Terkesan, para penguasa ingin menang dan merasa benar sendiri.
Egalitarianisme sebagai paham yang menempatkan semua manusia sederajat dan setara, juga sering kali masih sebatas wacana dan kebijakan tertulis. Karena, dalam praktiknya, sering kali terjadi diskriminasi di antara masyarakat. Mulai dari diskriminasi sosial, seperti: ideologi, jender, pribumi non pribumi, hingga keyakinan religius (terjadinya pola hubungan mayoritas-minoritas umat beragama yang timpang). Derajat manusia juga masih sering kali dipandang dalam perspektif yang timpang, di mana hanya masyarakat kelas sosial tingkat tinggi yang layak di dengar, sementara kelas sosial rendah selain tidak didengar, malah dijadikan sebagai bahan “permainan.”
Masyarakat demokratis yang diiimpikan, menurut Nurkholis Majid (Usman, 2017), tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, madani, civil society. Di lubuk paling dalam dari masyarakat madani ialah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yakni, sifat kejiwaan pribadi-pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar (kebenaran mutlak) atas suatu masalah. Dari sini lahir sikap tulus untuk menghargai sesama manusia, betapapun seorang individu atau kelompok berbeda (Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 1999).
Ciri-ciri umum sebuah peradaban adalah: pertama, pembangunan kota-kota baru dengan tata ruang yang baik, indah, dan modern; kedua, sistem pemerintahan yang tertib karena terdapat hukum dan peraturan; ketiga, berkembangnya beragam ilmu pengetahuan dan teknologiyang lebih maju seperti astronomi, kesehatan, bentuktulisan, arsitektur, kesenian, ilmu ukur, keagamaan, danlain-lainnya; dan keempat, masyarakat dalam berbagaijenis pekerjaan, keahlian, dan strata sosial yang lebihkompleks.
Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan adalah cerminan salah satu bangsa yang maju. Kemajuan suatu bangsa juga dapat dilihat pada sejauhmana masyarakat mampu hidup secara adil dan makmur serta sejahtera. Faktor lainnya adalah apabila terciptanya stabilitas diberbagai bidang baik politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Namun ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang mau dan mampu menghormati bangsanya sendiri.
Bagaimanakah yang dimaksud menghormati bangsanya sendiri? Kita pada dasarnya sebagai manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya di antara makhluk yang lain. Kemuliaan itu akan tampak jika perilaku atau akhlaknya benar-benar mencerminkan kebaikan atau keihsanan, namun sebaliknya manusia juga bisa disebut hina, jika perilakunya seperti binatang. Ini adalah gambaran dalam sekup kecil tentang pribadi manusia yang maju yaitu yang mampu menghormati bangsanya sendiri.
Dalam sekup yang lebih besar, pada sebuah bangsa juga sama seperti gambaran kehidupan manusianya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu menghormati bangsanya sendiri (Marsaja dalam Usman, 2017).
Apa maknanya? Pertama, apabila masyarakatnya mampu menghormati kepribadian bangsa itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa ideologi bangsa pada dasarnya diambilkan pada nilai-nilai manusia Indonesia secara murni, yang akhirnya mampu dirumuskan oleh para pendiri bangsa / faunding father. Mereka secara musyawarah kekeluargaan dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan atau kerukunan akhirnya mampu menghantarkan bangsa menggali nilai-nilai ideologi sehingga menjadi ciri khas suatu bangsa.
Kedua, apabila masyarakatnya mampu memahami sejarah kehidupan bangsanya. Bangsa Indonesia lahir tidak dengan serta merta, namun melalui lika-liku perjuangan yang panjang. Bangsa Indonesia juga merasakan penderitaan yang lama dan menyakitkan karena telah dijajah oleh bangsa kolonialisme dan imperialisme. 3,5 abad dijajah Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang menandakan bahwa penderitaan rakyat Indonesia sangat panjang. Namun dengan gigih dan pantang menyerah rakyat Indonesia akhirnya mampu meraih kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaanpun cobaan juga terus mendera, yaitu dengan menghadapi agresi Belanda dan juga saudara-saudara kita yang memberontak kewibawaan NKRI. Itu semua harus dipahami sehingga dari sejarah itulah seharusnya kita mampu berkaca bahwa kesewenang-wenangan, perpecahan, perebutan kekuasaan, dan lain-lain adalah dapat menjadikan bangsa kita malah semakin lemah.
Ketiga, apabila masyarakatnya mampu mempertahankan jati diri bangsa. Jati diri bangsa adalah sebuah identitas yang murni dari suatu bangsa. Seperti manusia yang juga mempunyai perbedaan sifat dan sikap. Jati diri suatu bangsa juga mencerminkan kepribadian bangsa itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah termasuk salah satu yang mempunyai jati diri, hendaklah tetap dipupuk, dijaga, dan dipertahankan, sekaligus dikembangkan, sehingga cerminan bangsa yang beradab tetap terjaga. Apabila suatu bangsa kehilangan jati dirinya, maka secara hakikat bangsa itu juga hilang. Salah satu contoh saja, walaupun Jepang maju secara ekonomi, namun tradisi dan budaya tetap dilestarikan baik oleh pejabat negara maupun rakyatnya.
Kita sebagai warga negara Indonesia, seharusnya merasa prihatin dan merasa malu bahwa justru yang muncul adalah sebuah perilaku yang mencerminkan bangsa yang kurang beradab. Banyak sekali peristiwa yang ada sekarang ini yang lebih menonjolkan perilaku bukan manusiawi. Seperti kekerasan merajalela di mana-mana, pengrusakan, pembakaran, pembunuhan, pemerkosaan, penistaan, dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Hal ini adalah cerminan suatu bangsa yang jahiliyah.
Jadi, kalau bangsa ini ingin maju dalam segala bidang, maka mulailah untuk menghormati diri, saudara, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Jangan bilang maju jika kita lupa terhadap jati diri kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, dan bangsa yang berdaulat.
Pembangunan sebagai Fenomena Budaya
Kegiatan pembangunan selalu melibatkan manusia sebagai pelaksana sekaligus tujuan. Manusia adalah subyek, bukan obyek pembangunan. Maka dinamika suatu bangsa sesungguhnya tampak dalam usaha-usaha pembangunannya (nation and character building). Sebagai fenomena budaya, pembangunan merupakan suatu proses humanisasi. Menurut Soerjanto Poespowardojo (Mulyono, 2016), ada empat poros dalam pembangunan nasional sebagai fenomena budaya, yaitu: anthropos, oikos, tekne dan ethnos.
Manusia (anthropos) menempati peranan sentral dalam pembangunan. Manusia (individu) adalah makhluk hidup berdimensi religius, etis dan ilmiah yang memiliki kemampuan kreatif dalam mengolah dunia lingkungannya menjadi manusiawi. Namun ia sendiri bukanlah makhluk rasional yang sudah selesai atau sempurna. Ia selalu berada dalam proses menjadi manusia, karena menjadi manusia itu merupakan panggilan (Jer: aufgabe).
Tempat manusia menjadi manusiawi adalah universum kosmis (lingkungan hidup/ oikos). Lingkungan merupakan medan perjuangan hidup manusia yang memberikan kemungkinan-kemungkinan baginya dalam mengusahakan kemanusiaannya.
Untuk maksud tersebut manusia juga mengambil dari alam, alat-alat (tekne) sebagai perpanjangan tangan untuk mengolah dunianya. Dalam perkembangannya, alat-alat itu bahkan mampu menjadi substitusi manusia, menggantikan peranan manusia dalam mengolah oikos. Sepanjang sejarah kemanusiaan sejak Revolusi Industri, hal itu menimbulkan berbagai masalah.
Manusia tidak hidup sendirian di dunia. Selain sebagai individu, ia pun merupakan makhluk sosial. Ia hidup dan berinteraksi dengan manusia lain dalam komunitas manusiawi (ethnos). Oleh karena itu ada interdependensi antara manusia dengan komunitasnya. Dengan demikian, setiap intuisi, interpretasi, maupun karya individual yang unik dan orisinal akan hilang lenyap kalau tidak dikomunikasikan dengan dan di dalam ethnossebagai warisan bersama.
Berbagai tantangan masa depan bangsa dan negara Indonesia – yang sesungguhnya juga merupakan tantangan internasional – membutuhkan peranan teknologi yang manusiawi. Untuk maksud itu teknologi tidak boleh dilepaskan dari kebudayaan, sebagaimana pernah dikatakan B.J. Habibie (Usman, 2018): “Lompatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, dalam upaya mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain, harus dilakukan tanpa mengorbankan kebudayaan dan tanpa melepaskan kaitan dengan kebudayaan dan identitas kita sebagai bangsa. Karena justru kebudayaan itulah yang melahirkan iptek dan sebaliknya iptek yang memperkaya kebudayaan.”
Kiranya jelas bahwa teknologi dan kebudayaan bukan dua unsur yang berdiri sendiri dalam kehidupan masyarakat dan perilakunya, melainkan merupakan bagian integral dalam peradaban manusia. Josef Banka, seorang filosof berkebangsaan Polandia mengatakan: “Kebudayaan dan teknik adalah dua segi dari pengalaman manusia yang saling melengkapi. Kebudayaan humanis berhubungan erat dengan bidang emosi, dengan dunia penghayatan-penghayatan batin; teknik sebaliknya berkaitan dengan ilmu-ilmu pasti, dengan akal dan sikap yang rasional. Manusia sebagai keseluruhan tidak hanya makhluk yang menggunakan akal, tetapi makhluk yang tersusun oleh kehidupan jiwa yang sangat rumit, namun seperti kita alami sendiri, kedua wilayah itu tidak saling mengucilkan, tetapi saling tindih-menindih dan saling memungkinkan dalam arti komplementer.”
Wajah Kota Berperadaban
Masyarakat berkemajuan yang kita cita-citakan takcukup hanya dibayangkan atau diimpikan, melainkanharus diperjuangkan dan direbut dari—meminjam istilahahli etika politik dari Harvard College, Dennis F Thomson(2005)—”tangan-tangan kotor demokratik”, yakni parapejabat yang melakukan tindakan immoral karena rakus, ingin berkuasa, atau loyal kepada keluarga dan kroninya.
Kota berperadaban akan tampak dalam wajah : jalan dan bangunan tertata rapi, pohon-pohon rindang menaungi para pejalan kaki dan orang-orang yang mengerumuni pengamen jalanan, segalanya elok dipandang mata. Lalu kita akan membandingkan dengan kota-kota kita yang segalanya ‘berantakan’, sampah beterbangan, rumah dan bangunan berjejal saling tumpang tinding ‘tidak karuan’, gang-gang yang rumit tidak terkirakan dan segala macam keburukan lainnya. Ujung-ujungnya kita mendambakan kota-kota kita bisa ‘dirubah’ menjadi kota yang indah seperti yang kita lihat ‘secuil’ lewat televisi atau kartu pos itu dan menghujat para petinggi kota karena ‘ketidakbecusannya’ menciptakan dambaan itu.
Adakah yang salah dengan dambaan seperti itu? ‘Tidak’ jawabnya bila ini didambakan oleh masyarakat kebanyakan. Tetapi bisa jadi ‘ya’ bila ini ada di mulut dan pikiran para ‘pemikir kota’. Siapakah mereka? Mereka adalah para akademisi, arsitek, perencana, perancang kota, pejabat pembangunan daerah, investor, dan termasuk pula politisi yang intinya ada mereka yang ‘berkuasa’ dan penentu kebijakan atas pembangunan kota. Mengapa demikian, hal ini karena mereka sedikit-banyak tercemari dengan apa yang disebut sebagai ‘mitos keindahan kota’.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah berbasis keungggulan lokal, ditempuh dengan pengarusutamaan, yaitu pro rakyat miskin, pro lapangan pekerjaan, pro lingkungan hidup, berwawasan gender, partisipasi masyarakat, pembangunan berkelanjutan, tata pengelolaan yang baik, pengurangan kesenjangan antar wilayah, percepatan pembangunan kelurahan tertinggal, dan tanggap bencana.
Kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mozaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks adalah memahami perkotaan.
Ketika berbagai macam krisis sosial-ekonomi masih belum lepas mencengkeram negeri ini, ketika para penguasa (pejabat, elit politik, dan para pemimpin) lebih suka mementingkan diri sendiri, ketika para ilmuwan dan cendekiawan serta analis menjadi narasumber di media tetapi perubahan ke arah yang lebih baik belum juga terwujud, dan ketika hukum dipermainkan demi kepentingan politis tertentu, impian akan terciptanya suatu masyarakat bermartabat dan berperadaban di masa depan bisa jadi akan terus menjadi mimpi. Tetapi, sebagai manusia yang eksistensinya didaulat oleh Tuhan sebagai makhluk berakal pikir, pesimisme adalah sikap pecundang dan itu pantangan.
Semoga bermanfaat !!!
*Dosen Universitas Mbojo Bima







