Oleh: Delian Lubis*
Memahami demokrasi hanya sebatas ruang yang membenarkan kedudukan hak warga negara untuk dipilih, sesungguhnya pikiran usang yang sama sekali tidak punya sisi keindahan dari sisi etik dan moral kendati didaur ulang dengan kecakapan retorik sekalipun.
Demokrasi komtemporer sejatinya mengalami tingkat perkembangan yang sarat makna, yakni ruang mempertaruhkan gagasan pembaharuan di ruang publik. Publik harus mampu diyakinkan bahwa visi pembaharuan yang ditawarkan bisa dijabarkan secara sederhana berdasarkan tingkat pemahaman publik yang kompleks antara satu dan yang lain.
Di hari-hari ini kita tak menemukan fakta itu. Artinya beralasan bila para Caleg di semua tingkatan dapat dimaknai hanya sekedar memamerkan warna baju tanpa publik tahu dalam baju itu membawa isi apa?. Karenanya para Caleg pantas diintrupsi agar publik tidak dibuat terbuai dengan tampilan palsu dan kesadaran palsu.
Tak satupun para Caleg disemua tingkatan Dapil Pulau Sumbawa menawarkan gagasan pembaharuan yang solutif dan partisipatif, yang berhubungan langsung dengan menawarkan pemecahan problem sosial.
Fakta itu menggambarkan bahwa mereka tuna ide dan miskin gagasan yang bisa memberi harapan. Mereka hanya menjual prestasi palsu yang sarat manipulasi. Keedanan para Caleg harus diintrupsi, sebab publik sudah jauh lebih waras melampaui batak otak para Caleg.
Lantas adakah para Caleg yang berpihak atau menawarkan pada rakyat tentang bagaimana mengakhiri kelangkaan pupuk? Bagaimana mengatasi potensi krisis air? Bagaimana menekan angka kemiskinan? Bagaimana menekan angka pengangguran? Hal itu hanya bagian terkecil problem yang melilit masyarakat Pulau Sumbawa.
Tetapi para Caleg sama sekali tidak pernah menawarkan gagasan pembaharuan yang holistik. Bukti kegagapan para Caleg dapat ditemukan ketika mereka tidak menawarkan semacam buku kecil yang menjelaskan “Apa pentingnya mereka menjadi Caleg bagi pembangunan Pulau Sumbawa?”
Keberanian menempuh pilihan menjadi Caleg berarti punya stok kemampuan yang bisa ditawarkan pada publik, tentang bagaimana membangun sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar menviralkan proyek amalan sosial yang sarat pamrih diberbagai layar publik. Tidak sekedar mempertontonkan jenis silaturahmi yang nyaris tak punya makna bagi kepentingan publik secara makro.
Menjadi seorang politik identik dengan kesadaran moral berpihak pada kepentingan publik. Bukan publik ditarik dalam drama politisi kemudian usai pesta publik dicampakan tanpa penyesalan. Itu sebab para Caleg harus diintrupsi bahkan bila diperlukan, lalukan boikot!
*Penulis adalah Aktivis Bima