Opini

Seremoni 67 tahun Indonesia

402
×

Seremoni 67 tahun Indonesia

Sebarkan artikel ini
Oleh: Didit Haryadi

Opini, Kahaba.- Entah kenapa, sejak kemarin siang pikiran terasa cukup gelisah. Sejak pagi rasanya mengawang-ngawang dalam imaji tak menentu setelah malam sebelumnya menamatkan kembali salah satu buku favorit saya, yakni Manusi Indonesia karya Mochtar Loebis. Tapi, kali ini saya tidak akan menuliskan tentang review atau ringkasan tentang buku itu, mungkin akan saya tulis esok. Kali ini, ingin rasanya sedikit menumpahkan ide dan imaji yang tersudut dalam pikiran ini tentang hari kemerdekaan Indonesia.

Seremoni 67 tahun Indonesia - Kabar Harian Bima
Didit Haryadi: Seremoni 67 tahun Indonesia

“Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. (Miriam de la Croix, 212)
Seperti biasa, ritual tahunan untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia diisi dengan seremonial dan juga perayaan yang berbau simbolik dan telah “membudaya” dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Sejak Indonesia memerdekakan diri dari belenggu penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam, bangsa ini memiliki cita-cita luhur yang telah tertuang dengan sangat indah dan rapi dalam konstitusi dan juga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Masih hafal?? saya harap harusnya iya, kita semua masih menghafalnya.

Salah satu pokok pesan yang terkadung dalam pembukaan UUD 1945 adalah menjaga kehormatan bangsa Indonesia dimata dunia lain dan tetap menghargai dan memenuhi hak-hak warga negaranya. Simak petikan isi pembukaan UUD 1945 berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Sejauh mana impelementasi amanat UUD 1945 yang sudah terlanjur dianggap sakral oleh para pendiri bangsa ini. Mungkin juga, saya, anda, kalian, mereka, atau kita yang hanya termangu dan menerima konstruksi sejarah yang sudah tertulis dengan sangat rapi dalam aksara buku-buku sekolah?

Rentetan historis sosial, politik, dan kebudayaan telah mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari rezim orde lama, rezim orde baru, dan yang masih cukup hangat dan mudah-mudahan belum basi adalah rezim reformasi.

Orde lama memberikan warna tersendiri dalam roda pemerintahan politik di Indonesia, mulai dari proses pembentukan Indonesie menjadi negara yang berdaulat, menyatukan papua ke dalam wilayah Indonesia, pembuatan konstitusi untuk menjadi presiden seumur hidup, hingga kudeta politik atas nama kekuasaan.

Orde baru menyisakan luka trauma yang mendalam tentang status bangsa yang ternyata banyak dikebiri atas nama stabilitas keamanan nasional, pembungkaman kebebasa berpendapat, hingga penghilangan nyawa manusia yang bermuara pada penculikan, penembakan, dan pembuangan orang-orang yang tak bersalah, tak pernah diadili secara hukum. Dan itu semua atas nama stabilitas dan hanya dianggap subversif guna mempertahankan status kuasa sang penguasa yakni Soeharto!.

Penjajahan moral selama 32 tahun membuat rakyat tergerak dan bersatu, hingga akhirnya melakukan perlawanan pada 1998 dan kembali memberikan hadiah yang diberi nama Reformasi. Ya, sejauh ini reformasi sudah “mengudara” selama 14 tahun. Apa saja yang berubah? Tidak mungkin saya menulis satu persatu karena begitu kompleksnya permasalahan bangsa ini. Tapi ada satu yang terbesit dalam benak saya, yakni tentang persatuan (unity).

Jebakan Persatuan dan Kesatuan

Masih sangat terngiang dalam ingatan saya, sejak tahun 1994, kala itu guru di Sekolah Dasar saya berujar didepan kelas “Indonesia itu adalah dari Sabang sampai Merauke”. Ini bukanlah tentang geografis yang luas sehingga sang guru berujar demikian, karena memang harus diakui, sadar atau tidak hampir semua anak bangsa terjebak dalam persatuan kedaerahan, tempat ia bermukim, tanah kelahiran atau apapun istilahnya itu, sehingga pada akhirnya melupakan identitas nasional yang bernama Indonesia.

Indonesia bukan negeri yang miskin. Sehingga banyak anekdot tentang negeri ini, mulai dari tanahnya yang subur, lautnya yang luas, dan hamparan kekayaan alam yang tersebar secara merata diribuan pulau. Harusnya kita menjadi peka dan bersatu dalam kebersamaan untuk membangun bangsa yang beradab ini. Budaya primodialisme dan chauvinisme harusnya segera ditanggalkan, karena nenek moyang bangsa ini tidak pernah mengajarkan tentang itu semua, kecuali jika warisan tersebut adalah buah dari Devide Et Impera yang pernah dilakukan oleh bangsa Arya yang pernah “bermukim” di negeri ini.

Banyak orang-orang hebat dan pintar di negeri ini. Tapi mereka semua terbelenggu oleh kultur sosial yang terlalu “menyanjung” bangsa lain dan merasa kerdil dalam hal pembangunan. Entahlah, jika saya harus menulis rentetan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa lain terhadap negeri ini, mungkin akan sangat panjang dan berlembar-lembar. Sesekali tengoklah diri kita di cermin, mellihat dan memaknai identitas kita yang sebenarnya yang semakin hari semakin rapuh dan bahkan luntur oleh kita sendiri.

Sadar atau tidak, itu terjadi pada diri kita sendiri. Kontekstualisasi kehidupan anak muda atau remaja yang semakin terjebak dalam pemahaman hiburan dan kesenangan belaka tanpa mempertimbangkan makna dan perannya dalam kehidupan sosial. Ya,..setidaknya mereka masih memiliki identitas dalam saku dan dompet mereka. Topik Cinta Melulu…

Ok, di akhir tulisan ini banyak harapan yang ingin disampaikan tapi tak semuanya akan ditulis. Yang paling mendasar adalah bangsa Indonesia harus segera meraih kembali identitas nasional dan kebangsaan yang dulu pernah ada tatkala membendung imperialis dengan bambu runcing. Identitas persatuan nasional, bukan identitas kedaerahan yang sangat kolot dan banal yang hanya berlaku dalam kurun waktu tertentu dan segera tergerus oleh etalase modernisasi dan globalisasi. Semoga Indonesia segera bangkit dan lebih mandiri dalam mengelola anugerah yang begitu luhur dari Tuhan Yang Maha Esa dan tentunya tetap *MENJADI INDONESIA!!

ada yang memar, kagum banggaku
malu membelenggu
ada yang mekar, serupa benalu
tak mau temanimu

lekas,
bangun tidur berkepanjangan
menyatakan mimpimu
cuci muka biar terlihat segar

ada yang runtuh, tamah ramahmu
beda teraniaya
ada yang tumbuh, iri dengkimu
cinta pergi kemana?

lekas,
bangun tidur berkepanjangan
menyatakan mimpimu
cuci muka biar terlihat segar
merapikan wajahmu
masih ada cara menjadi besar

lekas,
bangun tidur berkepanjangan
menyatakan mimpimu
cuci muka biar terlihat segar
merapikan wajahmu
masih ada cara menjadi besar
memudakan tuamu
menjelma dan menjadi indonesia
*Menjadi Indonesia-ERK

Dirgahayu Repulik Indonesia. Semoga warnamu tetap merah dan putih!
“Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)

Penulis adalah alumni Universitas Brawijaya,
pegiat di lembaga edukasi dan advokasi.