Oleh: Faisyal*
Nelson Mandela, seorang tokoh revolusioner dan mantan Presiden Afrika Selatan pernah berkata bahwa “education is the most powerful weapon which you can use to change the world”- ungkapan ini menggambarkan betapa penting dan besarnya pengaruh pendidikan untuk merubah sebuah peradaban.
Pendidikan bisa menjadi sebuah investasi dalam penyelesaian masalah kemiskinan. Pendidikan bisa menjadi gerbang utama untuk menyampaikan nilai-nilai toleransi dalam pluralisme kehidupan masyarakat. Pendidikan pula lah yang akan mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa.
Bahkan, sejarah kelam perang dunia ke-2 yang berakhir dengan kekalahan Jepang atas sekutu akibat jatuhnya bom atom yang meluluhlantakkan kota Nagasaki dan Hiroshima, menyisakan keputusan jenius dari Kaisar Hirohito yang lebih mengutamakan untuk menyelamatkan dan mengumpulkan para guru sebagai pelopor keberlangsungan proses pendidikan. Hingga akhirnya, Jepang bangkit dan menjadi salah satu negara maju dengan kekuatan sains dan teknologi.
Indonesia sedikit tertinggal dalam hal pengembangan pendidikan. Halini dibuktikan dengan masih tingginya angka buta aksara yaitu 2.07 persen dari total penduduk Indonesia di tahun 2017 dengan presentase tertinggi terjadi di Provinsi Papua (28.75 persen) dan Nusa Tenggara Barat (7.91 persen), seperti dilansir oleh news.okezone.com. Selain itu, cnnindonesia.com di tahun 2017 pernah memuat bahwa data UNICEF tahun 2016 menunjukkan bahwa 2.5 juta anak Indonesia tidak bisa melanjutkan sekolah yaitu 600 anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1.9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Masih dari media yang sama, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada merilis hasil penelitian mereka yang dilaksanakan di Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Alasan utama anak Indonesia tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya yaitu 47.3 persen, kemudian 31 persen karena ingin bekerja untuk membantu orang tua, dan 9.4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan non-formal seperti pesantren dan kursus keterampilan.
Terlepas dari data-data tersebut, keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sistem dan sarana pendidikan sudah cukup terlihat. Saat ini, alokasi dana untuk pengembangan pendidikan selain gaji dan biaya kedinasan sesuai yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu wajib minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Tidak hanya itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 19 tahun 2016 tentang Program Indonesia Pintar memberikan kesempatan yang luas bagi penduduk yang masih hidup dibawah garis kemiskinan untuk melanjutkan pendidikan setidaknya selama 12 tahun atau sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk pendidikan tingkat tinggi, pemerintah Indonesia juga menyiapkan program Beasiswa Bidikmisi yang dikelola oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) AFIRMASI yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk pelajar yang kurang mampu tetapi berprestasi.
Upaya-upaya pemerintah dalam membangun sumber daya manusia perlu diberikan apresiasi yang seluas-luasnya. Namun, solusi yang telah diterapkan oleh pemerintah masih belum mampu mengatasi masalah pemerataan pendidikan yang sudah ada sejak 72 tahun negara ini merdeka. Infrastruktur dan kualitas pendidikan di daerah-daerah pinggiran dan tertinggalyang jauh dari ibu kota masih sangat inferior dibandingkan dengan di Pulau Jawa.
Berdasarkan data Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015 oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperlihatkan bahwa hampir seluruh provinsi yang berada di pulau jawa berada diatas nilai rata-rata nasional baik kategori kompetensi pedagogik maupun profesional sedangkan daerah-daerah diluar pulau jawa seperti Maluku dan Maluku Utara menempati urutan terakhir. Tentu saja kompetensi guru akan sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa, misalnya pada hasil nilai ujian nasional.
Indikator lain yang bisa dijadikan acuan dalam melihat kualitas sumber daya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di mana Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua menjadi 5 provinsi yang memiliki nilai IPM terendah berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016.
Misi pemerataan pendidikan memang bukan suatu hal yang mudah sehingga membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Dibalik semua keterbatasan di daerah-daerah tertinggal, ternyata muncul gerakan-gerakan sosial dan sukarela yang mencoba hadir sebagai pemecah ketimpangan dan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada.Gerakan ini lebih dikenal dengan Pustaka Bergerak. Gerakan ini mencoba meningkatkan minat baca dan budaya literasi masyarakat, terutama yang masih usia sekolah dengan konsep bahwa perpustakaan harus datang menemui pembaca.
Pustaka Bergerak membantu pelajar di daerah pinggiran dan terpencil untuk mendapatkan akses bahan bacaan yang berkualitas yang tidak bisa didapatkan di sekolah. Para pegiat pustaka bergerak memberikan sentuhan proses belajar yang lebih kreatif dan inovatif dalam menyalurkan pengetahuan kepada anak-anaksehingga membuat anak nyaman dan termotivasi untuk terus belajar.
Berdasarkan datadari pustakabergerak.id, jumlah Pustaka Bergerak di Indonesia adalah 928 lembaga yang tersebar di seluruh provinsi dan jumlah terbanyak berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 146 rumah baca. Kemungkinan besar jumlah ini bisa bertambah mengingat masih banyak Pustaka Bergerak yang belum terdaftar.
Pustaka Bergerak Sebagai Ruang Belajar Tambahan
Kondisi di daerah sangat jauh berbeda dengan perkotaan. Di daerah, anak hanya mendapatkan pelajaran dari bangku sekolah, bahkan itu masih terbatas. Tidak ada yang namanya lembaga bimbingan belajar, jika pun ada, mereka tidak akan mampu untuk membayar biaya untuk layanan tersebut. Kehadiran Pustaka Bergerak menjadi satu-satunya pilihan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan tambahan. Banyak buku yang bisa di baca oleh pelajar yang tidak tersedia di perpustakaan sekolah. Selain itu, pelajar bisa memilih buku yang sesuai dengan kesukaan mereka.
Point penting lainnya, para penggerak Pustaka Bergerak lebih mengedepankan sistem pengajaran yang mengkombinasikan antara materi pelajaran dan permainan. Inovasi ini tentunya akan diminati oleh anak dan tidak membosankan. Kemudian, kegiatan Pustaka Bergerak tidak hanya terpaku di lingkungan sekolah tetapi bisa memberikan suasana baru kepada siswa dengan kegiatan-kegiatan membaca di alam, misalnya di sawah atau di pinggir pantai. Pada akhirnya, anak bisa mengisi waktu kosong mereka setelah pulang sekolah untuk belajar sambil bermain di Pustaka Bergerak. Konsep ini bisa mengimbangi kegiatan belajar murid di perkotaan.
Relawan Pustaka Bergerak Terbukti Mempunyai Passion Mengajar
Tidak ada yang meragukan passion dan kepedulian relawan Pustaka Bergerak pada dunia pendidikan. Mereka yang secara sukarela ingin memajukan pendidikan tanpa mengarapkan imbalan, tentu saja mempunyai passion mengajar dan mendidik. Salah satu kunci pendidikan di Finlandia adalah memiliki guru yang memang mempunyai passion dalam pendidikan yaitu mengajar, mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi murid-muridnya di sekolah.
Menjadi guru di Finlandia bukan persoalan yang mudah karena mereka harus melewati serangkaian tes dan pelatihan yang ketat. Guru di negara dengan kualitas pendidikan terbaik itu adalah profesi yang paling dihormati (dikutip dari The Guardian).Sehingga, keberhasilan pendidikan Finlandia menegaskan bahwa orang yang harus terlibat di lingkungan pendidikan adalah mereka yang benar-benar memilikipassion dalam pendidikan. Bukan menjadi guru yang hanya datang untuk menyampaikan materi, menyuruh murid untuk mencatat, memberikan pekerjaan rumah, dan pulang.
Sebagai contoh betapa vitalnya keberadaan Pustaka Bergerak di daerah tertinggal, penulis mencoba bercermin dari perjuangan relawan Rumah Baca Salahuddin Al Ayyubi di ujung timur Pulau Sumbawa atau tepatnya di Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pustaka Bergerak ini mencoba menjangkau daerah-daerah atau sekolah-sekolah terpencil yang berada jauh dari pusat kota dengan membawa buku bacaan menggunakan sepeda motor. Apapun rintangan yang dihadapi tetapi passion dan kepeduliaan terhadap dunia pendidikan mampu membuat gerakan ini bertahan sampai saat ini dan memberikan warna baru pada sistem pendidikan di daerah tertinggal.
Berharap Dukungan Pemerintah
Pemerintah seharusnya mampu memandang bahwa keberadaan Pustaka Bergerak sebagai peluang dan solusi alternatif untuk mengatasi keterbatasan sarana pendidikan di daerah tertinggal. Untuk itu, pemerintah harus hadir dan memberikan apresiasi yang besar serta tindakan perbaikan untuk mendukung perjuangan para relawan pendidikan. Salah satu cara yang harus dibangun oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah menjadikan gerakan Pustaka Bergerak sebagai gerakan nasional dan terintegrasi.
Pemerintah pada tahun 2016 memang sudah meluncurkan Gerakan Literasi Nasional (GLN), namun gerakan ini masih merupakan kelanjutan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Gerakan nasional yang diharapkan adalah gerakan yang mampu mendorong dan menfasilitasi tumbuh dan berkembangnya Pustaka Bergerak dengan prioritas utama adalah daerah pinggiran dan tertinggal. Sehingga Pustaka Bergerak tidak hanya menjadi gerakan peningkatan minat baca tetapi lebih ke pemenuhan kebutuhan pendidikan pelajar dengan kurikulum yang jelas di daerah pinggiran supaya bisa mengimbangi lingkungan pendidikan di perkotaan. Misalnya, relawan Pustaka Bergerak menjalankan program pengajaran yang berkelanjutan diluar sekolah di desa pengabdian dengan kontrol langsung dari pemerintah pusat atau daerah.
Setelah gerakan nasional dan terintegrasi berjalan, maka solusi selanjunya yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah adalah program sertifikasi terhadap kompetensi relawan Pustaka Bergerak. Harus ada apresiasi dalam bentuk materi atau insentif kepada relawan yang berhasil melewati sertifikasi.
Program ini diharapkan mampu mendorong dan memberikan motivasi tambahan pada relawan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pemerintah bisa melakukan evaluasi secara langsung terhadap kinerja relawan serta melakukan pelatihan intensif bagi relawan yang membutuhkan pendampingan. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa program ini bisa mendorong munculnya benih-benih gerakan Pustaka Bergerak baru di daerah-daerah yang masih membutuhkan atau kualitas pendidikannya masih jauh tertinggal dari rata-rata nasional.Salam Literasi.
*Alumni Statistika Universitas Brawijaya Malang