Kota Bima, Kahaba.- Hajnah, wanita yang sudah renta asal Lingkungan Kadole Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima itu hidup memperihatinkan. Di gubuknya yang tak layak ditempati, ia menghabiskan masa tuanya. Sembari menunggu kesembuhan yang tak pernah kunjung tiba.
Wanita berusia sekitar 60 tahun itu rupanya hidup dengan rasa sakit yang harus terus diobati setiap sekali dalam 2 bulan. Hajnah sehari-hari hanya bisa menunggu kekurangan darah. Jika kebutuhan vital itu habis, maka berdampak pada kehidupannya.
Sebab, wanita itu harus kekurangan HB. Darah selalu berkurang setiap waktu. Jika sudah waktunya transfusi darah, dirinya harus merogoh kocek mulai Rp 1,5 juta – 2 juta dalam 2 bulan.
Saat media ini menemui Hajnah di gubuk reotnya, Rabu (12/6), ia menyambut dengan senyuman manis. Turun dari tempat duduknya, sesekali rambut yang penuh uban diperbaiki, kemudian mengenakan jilbab yang tak lepas dari tangan kanannya.
Ia pun mulai bercerita, sekitar 7 tahun lalu sakit itu mulai menderanya. Setelah diperiksa di rumah sakit, ia divonis kekurangan HB dan harus membeli darah setiap 2 bulan. Jika tidak, maka banyak sakit yang harus dirasakannya. Tidak bisa jalan, tidak ada nafsu makan dan tidak bisa melihat.
“Kalau tidak beli darah, seperti orang yang tidak hidup, tidak bisa apa – apa. Hanya tidur di gubuk ini,” ungkapnya,
Usai membeli darah dan transfusi di rumah sakit, kata wanita yang ditinggal mati suaminya 10 tahun lalu itu, ia beraktivitas seperti biasa. Tapi jika mendekati waktu 2 bulan, dirinya kelimpungan untuk memikirkan biaya membeli darah, agar darah tidak berkurang di badan.
Jika sebelumnya masih ada anak-anaknya 7 orang yang harus urunan membantu. Seiring berjalannya waktu, tanah dan lahan pun terpaksa dijual untuk mencukupi kebutuhan darah. Setelah itu habis, maka uang tabungannya untuk berangkat ke tanah suci juga harus dikeluarkan kembali.
“Tabungan haji saya sebanyak Rp 25 juta. Sudah dikeluarkan beberapa tahun lalu untuk kebutuhan membeli darah,” tuturnya.
Kata Hajnah, kendati sudah ada BPJS namun itu tidak bisa berbuat banyak. Sebab, jika sudah darah harus dibeli, maka tetap harus menggunakan uang. Setiap kali transfusi, darah yang dibutuhkan mulai 5 sampai 6 kantong. Sementara rumah sakit hanya bisa membantu gratis 1 kantong darah. Bahkan untuk beberapa obat dan vitamin, dirinya juga mengeluarkan biaya ratusan ribu.
Sebenarnya, Hajnah baru 5 bulan hidup kembali di Lingkungan Kadole. Sebelumnya, saat ada Tambang Marmer di Oi Fo’o, ia dan anak anaknya harus terima direlokasi oleh pemerintah. Hidup seadanya tanpa tempat tinggal layak yang disediakan pemerintah.
Tapi karena tidak ada kejelasan tentang pertambangan dimaksud, dirinya memilih untuk kembali ke lahannya semula. Hanya saja rumah panggung 6 tiang yang sebelumnya, telah dijual untuk menikahkan salah satu buah hatinya. Dan saat ini, dia tetap merasa bersyukur bisa berteduh dan tidur di gubuk yang sekarang. Kendati panas dan bocor karena hujan yang tak bisa dihindari.
Ia mengungkapkan, sejak alami sakit ini. Dirinya belum pernah mendapat perhatian pemerintah. Jangankan untuk membantu sakit yang dideritanya, bantuan jenis lain yang biasa turun di kelurahan, selalu luput dari perhatian.
Meski hidup dengan sakit yang menempel di badan. Raut Hajnah mengisyaratkan tetap ikhlas menerima keadaan ini. Senyum tetap muncul setiap kali mengakhiri kalimat-kalimatnya. Semoga saja, Hajnah tak pernah lelah dan selalu bersabar. Karena jika Tuhan berkehendak untuk memberikan kesembuhan untuknya, maka itu bukanlah perkara sulit.
*Kahaba-01