Opini

Pembukaan Rahasia Medik Pasien Positif Covid-19

456
×

Pembukaan Rahasia Medik Pasien Positif Covid-19

Sebarkan artikel ini

Penulis: Zainal Abidin*

Pembukaan Rahasia Medik Pasien Positif Covid-19 - Kabar Harian Bima
Zainal Abidin. Foto: Ist

Akhir-akhir ini banyak bermunculan komentar dari beberapa aktifis media sosial, terkait statemen dari juru bicara kementerian kesehatan RI  dalam hal pembukaan rahasia medik pasien yang terinfeksi virus Corona (Covid 19). Melalui juru bicara kemenkes, pemerintah berdalih bahwa hal ini merupakan rahasia pasien yang perlu dijaga dan tidak bisa dibuka. Namun demikian hal tersebut bertentangan, ketika pemerintah menyampaikan informasi bahwa Menteri Perhubungan RI tertular infeksi Covid -19 beberapa hari yang lalu.

Sebenarnya hal-hal yang menyangkut tentang kerahasiaan medik, telah diatur dalam UU Lex Spesialis. Tidak tanggung-tanggung pasal-pasal kerahasiaan medik ini diatur dalam 4 Undang-Undang sekaligus, yakni antara lain, Pasal  48 UU No 29/2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 57 UU No 36/2009 tentang Kesehatan,  pasal 38 UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit dan pasal 73 UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.  Secara materil isi pasal–pasal ini  tidak berbeda jauh atau berulang satu sama lain. Dalam kajian Hukum Kesehatan, Rahasia Medik pasien adalah serangkaian informasi yang terdiri dari:

  1. Informasi yang disampaikan pasien pada dokter atau rumah sakit tentang hal-hal yang terkait dengan apa yang dirasakan dan dideritanya sebagai penyakit
  2. Hasil pemeriksaan atau hasil temuan serta seluruh rangkaian tata laksana penyakit yang diderita seseorang termasuk riwayat pengobatannya
  3. Prognosa atau perkiraan masa depan penyakit dan kemungkinan risiko kesehatan pasien kedepan.

Berbeda dengan rahasia pada pidana umum, rahasia medik hanya  berkutat pada 3 hal di atas, ditambah dengan identitas pasien bila penyakit ini mendatangkan risiko stigmatisasi dan diskriminasi dalam kehidupan panjang ke depan. Pemaknaan terhadap kepentingan masyarakat dalam pasal 57 UU Kesehatan dalam perspektif Hukum Kesehatan, yakni kesehatan masyarakat umum, harus menjadi perhatian. Oleh sebab itu maka para ahli hukum di tanah air diharapakan mampu memberikan edukasi agar tidak ada pihak-pihak yang salah mengartikan kerahasiaan medik.

Bila kita lihat penyakit-penyakit yang menyebabkan diskriminasi dan stigmatisasi adalah penyakit yang dianggap diperoleh karena perilaku menyimpang  seperti halnya penyakit AIDS dan penyakit-penyakit infeksi menular seksual atau penyakit-penyakit lama yang sukar diobati dan memberikan gambaran yang ekstrem. Penyakit seperti ini  seringkali  disembunyikan karena dianggap memunculkan diskriminasi, seperti penyakit kusta atau Morbus Hansen.

Stigmatisasi pada contoh-contoh penyakit di atas  tidak seharusnya  terjadi pada seseorang yang terinfeksi CORONA VIRUS (Covid-19). Seperti diketahui salah satu model penularan infeksi Covid-19, melalui  droplet infection yang memberi kemungkinan semua orang bisa berisiko tertular. Pada dasarnya, manifestasi klinis Cobid-19 ialah tergantung pada daya tahan tubuh mereka yang tertular, yakni ketika virus melintas dan masuk ke tubuh seseorang saat dimana daya tahan tubuhnya tidak optimal.

Uraian di atas dapat dimaknai bahwa seseorang yang terinfeksi Virus Corona bukanlah sesuatu yang menimbulkan rasa malu, karena melakukan hal yang tercela.  Bila infeksi Virus Corona tidak menyebabkan seseorang terstigma, maka seharusnya tidak ada alasan formil-materil untuk menutup identitas diri pasien.

Menurut empat undang-undang lex-specialis,  rahasia medik seseorang dapat dibuka bila berhadapan dengan kepentingan kesehatan publik. Menyembunyikan identitas pasien infeksi Virus Corona hanyalah akan mendukung penyebaran rasa takut pada masyarakat. Sebaliknya orang yang sembuh  harus didukung juga untuk bebas dari rasa bersalah dan beban psikologis akibat terinfeksi virus ini.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membuka nama dan alamat penderita infeksi Virus Corona bukanlah termasuk tindakan membuka rahasia medik, apalagi dikaitkan dengan pasal-pasal pidana. Data pasien yang terinfeksi  juga perlu dibuka untuk memudahkan contact-tracing atau dengan kata lain meningkatkan efektifitas dan efisiensi upaya penanggulangan penyebaran virus.

*Penulis Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang