Oleh: M Dahlan Abubakar*
Hari ini, tepat 205 tahun Gunung Tambora terdapat di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) meletus. Letusan pada 11 April 1815, tersebut, termasuk salah satu dari 100 bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Sekitar 150.000 jiwa menemui ajalnya. Letusan tersebut, membuat gunung setinggi 3.960 m itu menyusut 1.220 m.
Dampak letusannya mengirim embun beku musim panas dan kelaparan di berbagai belahan bumi. Di Swiss, orang yang kelaparan terpaksa menyantap anjing dan kucing yang sesat. Di New York, penduduk terpaksa mencabut tanaman kentang yang baru saja mereka tanam. Konon biang musibah itu, seorang tamu dari orang Bugis yang dihakimi hingga tewas. Berikut catatan komprehensif mengenai musibah dan gunung itu.
Tanggal 8 November 1971 malam. Lambo – perahu tradisional Bugis-Makassar – menjelang tengah malam angkat sauh meninggalkan Pelabuhan Bima. Saya pulas, karena kecapean seharian mengurus keberangkatan ke Makassar . Saya tak lagi melihat tetesan airmata ibu yang baru beberapa bulan mengandung adik saya yang bungsu dan duduk di depan gedung pelabuhan satu-satunya.
Tatkala mata saya terbuka beberapa jam kemudian, di kemudi sebelah kiri perahu tampak air laut berwarna perak. Ini agaknya isyarat perahu “Masyalihul Ahyar” yang saya tumpangi mulai membelah laut – yang kemudian ternyata menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam – ke tujuan, Makassar. Dermaga kian jauh ditelan gelapnya malam.
’’Tak ada lagi yang dapat saya lihat. Kedua orang tua mungkin sudah kembali ke rumah,’’ hati saya berbisik sebelum memutuskan melanjutkan tidur di emperan “lambo” berlayar tujuh tersebut.
Pagi hari, 9 November, saya terbangun. Mata saya ’terhadang’ semua pemandangan yang asing. Daratan dan laut semua menjadi pemandangan yang tak pernah saya kenali. Tidak lama, laut mati. Mirip cermin. Lambo terombang-ambing digiring arus yang tanpa gelombang.
’’Ini musim pancaroba. Angin datang dari segala penjuru tanpa terduga,’’ kata salah seorang awak perahu yang bertubuh subur.
Menjelang siang, angin timur bertiup. Mendorong lambo menyisir pantai utara Pulau Sumbawa hingga sore hari. Makin sore, gelombang dan angin kian kencang. Awak perahu serentak memanjati tiang layar. Mengubah arah layar. Angin barat bertiup. Mata saya terantuk pada sebuah gunung hitam. Tinggi, meski cukup jauh. Pada seorang awak perahu, saya beranikan bertanya. Dia menjawab pendek.
’’Itu Gunung Tambora,’’ jawabnya.
Waktu SMP, saya hafal betul nama gunung itu. Apalagi, gunung itu berada di daerah kabupaten saya sendiri. Pada pelajaran Ilmu Bumi (kini Geografi), para murid diharuskan menghafal seluruh nama gunung berapi, ibu kota provinsi, nama lapangan terbang, dan tempat-tempat penting lainnya di Indonesia dan dunia.
‘’Oh, inilah Tambora, gunung yang saya pelajari di buku itu. Juga, pernah meletus dengan memakan banyak korban jiwa itu,’’ hati saya bergumam.
Setelah puluhan tahun dari pelayaran yang bersejarah itu, dari berbagai referensi dan bahan bacaan, banyak informasi yang saya peroleh mengenai gunung itu. Letusan Tambora, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Tambora (dulu Kecamatan Sanggar) Kabupaten Bima itu termasuk salah satu dari 100 bencana terbesar sepanjang masa.
Berdasarkan ilmu pengetahuan, ini gempa bumi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Al Khalik atas perilaku rakyat Tambora.
Aneh benar, dari puncak gunung setinggi 3.960 m itu muncul tiga gumpalan api yang terpisah memuncak hingga tinggi sekali. Seluruh puncak gunung tampak segera diselimuti lava berpijar. Sebarannya meluas hingga ke jarak yang sangat jauh. Di antaranya, sebesar kepala, jatuh dalam cakupan diameter beberapa kilometer. Pecahan-pecahan yang tersebar di udara telah mengakibatkan kegelapan total.
“Abu yang dikeluarkan begitu banyak, mengakibatan kegelapan total di Jawa yang jaraknya 310 mil (500 km). Abu ini mengakibatkan kegelapan total saat tengah hari. Menutupi tanah dan asap dengan lapisan setebal beberapa sentimeter,” begitu tulis Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa, dikutip Stephen J.Spignesi dalam bukunya yang diterjemahkan Bonifasius Sindyarta, S.Psi, berjudul 100 Bencana Terbesar Sepanjang Masa.
Pembunuhan Said Idrus
HENRI Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut. Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:
Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian Hamba-nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faccal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari. Rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.
Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mulanya meletus Gunung Tambora. Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya (dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen). Chambert-Loir menulis:
‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.
‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.
‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.
Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:
‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.
Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.
Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.
‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haram anjing?’’
‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.
‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?’’ kata Raja Tambora lagi.
‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.
Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.
‘’Bawa olehmu orang Arab ini, bunuh!’’ titah Sang Raja.
Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul Tuan Said. Tuan Said pun kelenger. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.
Di antara negeri dan gunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang-orang yang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah “Subhanahu wa Taala”, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala. *Penulis, Wartawan Senior, Akademisi, Penulis Buku, Putra Bima dan Tinggal di Makassar