Oleh: Dedy Ardiansyah, S.STP
Opini, Kahaba.- Apa yang terjadi di Kabupaten Bima dalam rentan waktu 2 hari terakhir ini, yaitu tanggal 1 dan 2 Oktober 2012 merupakan implikasi dari sistem penegakan hukum yang lemah dan berjalan lambat. Kembali lahirnya primodialisme masyarakat merupakan reaksi dari suatu ketidakpuasan atas penuntasan kasus hukum yang kerap terjadi. Keberadaan aparat penegak hukum bagi sebagian masyarakat hanyalah sebagai simbol negara hukum. Miris memang kalau kepercayaan masyarakat terhadap aspek norma yang mengatur kehidupan masyarakat ini semakin menipis.
Konflik pribadi yang sederhana yang seharusnya bisa diselesaikan secara cepat berubah menjadi konflik horisontal yang melibatkan kelompok-kelompok yang besar. Hal ini wajar dilakukan ketika individu-individu dalam masyarakat merasakan tidak adanya perlindungan terhadap hak-hak mereka sebagai warga oleh pemerintah, dan satu-satunya yang dapat melindungi dan menegakkan aspek keadilan dalam perspektif mereka adalah keluarga atau kelompoknya masing-masing. Sedangkan Perspektif keluarga atau kelompok cenderung egois dan liberal. Akibatnya kelompok masyarakat lain yang lebih besar dirugikan.
Mencermati Kasus Roi vs Roka dan Godo vs Samili/Kalampa di Kec. Woha Kab. Bima dua hari terakhir menunjukkan tidak adanya fungsi intelegen yang di jalankan oleh aparat yang berwenang. Seharusnya sebelum terjadinya konflik, sumbu-sumbu dan potensi konflik sudah harus di antisipasi. Sikap reaktif dari aparat penegak hukum pun terkesan lambat dan tebang pilih padahal setiap pelanggaran hukum apalagi terkait pidana sifatnya adalah aktif.
Tidak ada alternatif lain untuk menyelesaikan masalah ini selain penegakan hukum secara nyata. Semua yang melanggar hukum harus ditindak. Tidak ada tebang pilih dalam hukum. Tidak ada istilah kejahatan berkelompok dibenarkan dalam hukum. Pemerintah harus meletakkan arogansi politiknya dalam norma hukum, dan bersama-sama saling menguatkan penegakan aturan hukum dalam masyarakat.***