Kota Bima, Kahaba.- Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Al-Ittihad Bima mengadakan bedah buku karya Muhammad Mutawali, selaku ketua STIS Al-Ittihad Bima berjudul Peradilan Dou Donggo: Kontestasi Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Nasional, di Gedung Aula STIS Al-Ittihad Bima, Jumat (9/4).
Buku ini merupakan konversi dari disertasi Mutawali berjudul Hukum Baja dalam Masyarakat Adat Donggo Bima (Studi Penyelesaian Kasus-kasus Perdata dan Pidana dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam), yang telah melaui proses panjang, kajian mendalam, ilmiah dan terukur di bawah bimbingan dua guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Atho Muzhar, MSPD dan Abdul Gani Abdullah.
Bedah buku mengundang para pakar dibidangnya untuk memberikan komentar atas karya monumental tersebut. Hadir dalam kegiatan tersebut Alan Malingi, sejarawan dan budayawan Bima sekaligus Kepala ASI Mbojo, Ketua STIH Muhammadiyah Bima Ridwan sekaligus penulis buku Hukum Adat Bima dan Syech Fathurahman, wakil Ketua I STIS Al-Ittihad Bima sekaligus praktisi hukum di kementerian agama Kabupaten Bima.
Dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Fajrin Hardinandar, koordinator Bidang Publikasi STIS Al-Ittihad Bima, hadir juga sebagai tamu undangan Lembaga Adat dan Syariat Donggo (LASDO), Perwakilan komunitas La Rimpu, Majelis Kebudayaan Mbojo, Ketua Dewan Kesenian Kota Bima, BEM dan perwakilan kampus dari kota dan Kabupaten Bima, pegiat budaya dan praktisi hukum islam di Kota Bima.
Kepala LPPM STIS Al-Ittihad Bima, Rahmah Murtadha menyampaikan kebanggaan yang teramat besar, karena untuk kesekian kalianya ketua STIS Al-Ittihad Bima kembali melahirkan satu buku. Sebelumnya juga telah menerbitkan beberapa buku seperti Implementasi Hukum Islam terbit tahun 2013, Mahar dalam Perspektif Hukum Islam terbit tahun 2018, Dakwah menembus batas: Jejak Intelektual dan Pemikiran Tuan Guru H.M Said Amin (1936-2015) terbit tahun 2018 dan Dinamika Islam Kontemporer terbit tahun 2018.
“Kegiatan bedah buku ini adalah selain sebagai program kerja Koordinator Bidang Publikasi LPPM STIS Al-Ittihad Bima juga sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan, yaitu kebudayaan literasi yang hampir punah ditengah asimilasi westernism. Mahasiswa dan seluruh civitas akademika STIS Al-Ittihad Bima harus berbangga memiliki bapak Mutawali,“ ungkapnya.
Dalam bukunya, Mutawali menjabarkan bahwa Donggo adalah satu etnis yang unik baik dari segi penerapan hukum adat, kebudayaan dan historiografi sejarah peradabannya. Inilah yang mengundang banyak peneliti, budayawan dan sejarawan baik nasional maupun mancanegara.
Ia juga memaparkan bahwa studi komparasi tiga sistem hukum ini menjadi menarik untuk diteliti lebih spesifik mengingat Donggo adalah satu-satunya etnis di pulau Sumbawa khususnya yang masih menerapkan hukum adat dalam kehidupan demokrasi seperti hukum baja (arak keliling), hukum cambuk dan sanksi dua kali waru.
“Penerapan hukum adat di donggo mudah diterima karena tidak bertentangan dengan hukum islam,” tuturnya.
Mendukung pengantar Mutawali, Ridwan menyambung bahwa kontekstual dalam buku tersebut lebih dekat pada Teori yang dikemukakan oleh Hazairin bahwa hukum adat hidup karena tidak bertentangan dengan hukum syariat.
“Hukum adat harusnya menjadi alternatif dari distorsi hukum positif dalam praktek hukum nasional dan juga sebagai refleksi untuk menyelamatkan lingkungan dari faham antroposentris,” katanya.
Menurut Ridwan, di tengah antroposentrisme yang banyak menyebabkan petaka bagi kehidupan manusia seperti bencana alam, hukum adat berperan penting dalam mengisi kekosongan hukum atau ketidakmampuan hukum positif untuk tunduk terhadap birahi memeras alam, dan hal tersebut sangat potensial bagi Donggo untuk diterapkan secara kolektif.
Sedangkan Fathurrahman dalam kesempatannya mengungkapkan, meskipun kesimpulan yang diberikan oleh Mutawali dalam buku tersebut menyatakan bahwa ketiga sistem hukum tersebut saling mendukung dan menguatkan, terdapat sedikit kekurangan yaitu perspektif hukum waris yang tidak dibahas cara spesifik.
“Bila dilihat dari kacamata hukum waris, maka sudah jelas akan terdapat perbedaan di ketiga sistem hukum tersebut. Hukum Islam khususnya memberi porsi yang lebih banyak kepada ahli waris pria ketimbang wanita, sedangkan hukum nasional berupaya untuk memberikan pemerataan dan menghindari bias gender,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Alan malingi menceritakan historiografi dou Donggo, peradilannya hingga sampai kepada penerapan system hukum oleh kerajaan/kesultanan Bima.
Menurut Alan Malingi, Hukum adat merupakan eksistensi kerajaan/kesultanan Bima, yang sampai hari ini masih hidup di tengah-tengah masyarakat Donggo. Penerapannya seolah ada di tengah-tengah antara hukum islam dan hukum nasional.
Ketiga pembedah, penulis dan perwakilan dari LASDO sepakat bahwa penerapan hukum adat harus diformalkan minimal dalam bentuk peraturan desa karena birokrasi legislasinya jauh lebih mudah dari pada harus membuat peraturan daerah.
*Kahaba-01