Potret Bima, Kahaba.- Beranjak dari pos terakhir, hanya butuh waktu 30-60 menit untuk mencapai bibir kawah Gunung Tambora. Puncak dari jauh terlihat menjulang kokoh berwarna kecoklatan, menggoda siapapun agar segera menuntaskan hajat pendakian, untuk berdiri di titik tertinggi Pulau Sumbawa yang pernah sekali merubah sejarah dunia. Setelah tanjakan menggila menguras tenaga dan kewarasan, hamparan pasir dan kerikil yang labil akan mengantarkan kita menuju tempat itu.
Memulai perjalanan pagi dari pos 3, Sabtu (9/6) siang kami berhasil menjejakkan kaki di puncak gunung Tambora. Belasan jam jaraknya berjalan dari hingar-bingar manusia membuat kita saat berada di puncak betul-betul menghayati momen dimana kita merasa sangat kecil dibandingkan keagungan ciptaan Yang Maha Kuasa. Di ketinggian 2.800 mdpl ini kami tak hentinya mengucap syukur atas kesempatan dan kekuatan sehingga masih bisa menyaksikan bentang alam yang luar biasa dari atas puncak Pulau Sumbawa.
Meskipun cuaca terbilang cerah, namun hamparan awan yang mendominasi pandangan di ufuk barat membuat puncak Gunung Rinjani yang dikabarkan bisa terlihat dari puncak Tambora terhalang. Di sekitar kaki gunung terlihat beberapa titik yang menandakan adanya aktivitas pemukiman manusia pada beberapa desa di Tambora, memanfaatkan hasil alam Tambora yang subur. Hamparan hijau hutan perawan juga memikat mata, berpadu dengan rona kecoklatan yang menandakan hamparan vegetasi sabana diatas tanah berpasir bekas letusan. Pulau Satonda juga terlihat jelas dari sini, letusan besar tambora menciptakan danau besar di pulau yang memiliki keanekaragaman hayati yang unik itu. Pendek kata, berdiri diatas puncak Tambora seperti sedang berada diatas awan yang berserakan tipis seperti lapangan maha luas dengan sajian pemandangan yang memukau dibawahnya. Begitu indah, guman ku dalam hati.
Kawah Gunung Tambora tentunya tak kalah menariknya. Dengan diameter kawah sekitar 8 km, yang menjadikan gunung berapi ini sebagai salah satu gunung api aktif yang memiliki kawah terbesar di dunia. Luasnya kawah menjadi saksi bisu kedahsyatan letusan gunung ini 200 tahun yang lalu. Sebelum meletus pada April 1815, Gunung Tambora (Tomboro) adalah gunung api aktif tertinggi kedua setelah Puncak Jaya/Carstensz Piramid (4.884 mdpl) di Papua. Sebelum meletus, Gunung Tambora memiliki ketinggian 4.300 m dpl tetapi setelah letusan dahsyat, separuh puncaknya gunungnya ambruk dan menyisakan ketinggian 2.851 mdpl. Ditengah cekungan kawah, 1200 meter dibawah sana terlihat Doro Afi Toi, anak gunung baru yang muncul beberapa tahun terakhir dan tak henti mengeluarkan asap belerang. Krisis pemberitaan mengenai Tambora yang mulai ‘batuk-batuk’ tahun lalu kabarnya terkait aktivitas vulkanik di gunung baru itu.
Tahun tanpa musim panas, begitu orang eropa menyebutnya. Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 begitu banyak terekam dalam sejarah dunia sebagai letusan gunung stratovulcanik yang berpengaruh terhadap perubahan cuaca dunia. Lebih dari 300 hari lamanya belahan benua eropa dibuat gulita akibat semburan abu letusan Tambora yang beredar di atmosfer bumi. Tiga kerajaan besar yang berada di kaki gunung ini juga hilang bersama penduduknya, meninggalkan catatan sejarah berupa puing-puing reruntuhan bangunan dan mayat manusia dalam tumpukan pasir sedalam lebih dari tiga meter. Sisa-sisa peradaban Tambora yang mirip dengan situs bekas kota Pompeii di Eropa kini menjadi objek eksavasi para arkeolog yang ingin mengungkap misteri peradaban sebelum Tambora Murka.
Selain para pendaki lokal maupun mancanegara, Tambora tak henti menarik perhatian banyak ilmuwan untuk berkunjung. Mulai dari para geologis, ahli gempa, ahli botani, arkeolog, juga para peneliti sejarah berdatangan untuk menjelajahi harta karun keilmuan Tambora mulai dari kaki sampai puncak gunung. Juga belum lekang dari ingatan kita, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo meninggal dunia saat tengah mendaki Gunung Tambora beberapa bulan yang lalu. Wamen nyentrik ini konon begitu antusias dan penasaran untuk menginjakkan kaki di puncak tambora hingga akhir hayatnya menjemput.
Mas Sugeng, pendaki lokal yang ikut bersama kami mengungkapkan gencarnya pemberitaan mengenai aktivitas vulkanik Tambora tahun lalu dan yang terhangat mengenai pendakian terakhir Wamen ESDM pada awal tahun ini sedikit banyak telah mengangkat promosi dan informasi mengenai gunung Tambora. Walaupun dalam bungkusan ‘berita buruk’, namun ajaibnya semakin banyak saja para pengunjung yang berdatangan dengan terangkatnya berita tersebut. Ia memprediksi kunjungan ke gunung Tambora akan lebih meningkat lagi beberapa tahun ke depan, bertepatan dengan momen 200 tahun letusan gunung tambora yang rencananya akan diperingati dengan banyak agenda pariwisata pada tahun 2015 mendatang.
Tentunya, pesona gunung Tambora baik dari sisi keindahan alam maupun kekayaan sejarah dan budaya masyarakatnya harus kita jaga agar terus berkilau menjadi kebanggaan kita semua. Pembangunan daerah terpencil ini khususnya infrastruktur jalan, energi, komunikasi, pendidikan, dan fasilitas ekonomi masyarakat harus terus digiatkan namun tetap menjaga keselarasan dengan alam. Dan tugas seluruh pecinta Tambora untuk terus mempromosikan wilayah ini ke seluruh dunia, dengan terlebih dahulu menjajal sendiri sensasi mendaki Tambora tentunya. Siapkah anda mendaki gunung Tambora? [BQ]
Rangkaian Seri EKSPEDISI TAMBORA:
- Menembus Pagi Menuju Peradaban Multietnis ~EKSPEDISI TAMBORA (1)
- Kebun Kopi Yang Pernah Berjaya ~ EKSPEDISI TAMBORA (2)
- Berjibaku Dengan Pacet Dan Jelatang ~ EKSPEDISI TAMBORA (3)
- Di Puncak Yang Mengubah Sejarah Dunia ~ EKSPEDISI TAMBORA (4)