Potret Bima, Kahaba.- Jumat pagi (8/6) saya menyempatkan diri menikmati suasana pagi di dusun Oi Bura. Sambil menyeruput segelas kopi Tambora bersama Mas Sugeng, sang tuan rumah, saya lebih banyak memperhatikan aktivitas masyarakat yang hilir mudik di depan rumah yang kebetulan berada dalam komplek SDN Oi Bura, sekolah dasar satu-satunya dalam wilayah kebun kopi ini.
Mas Sugeng banyak bercerita mengenai daerah kebun kopi yang dulu pernah menjadi primadona utama di daerah berhawa dingin ini. Perkebunan kopi hadir di Tambora sejak jaman Belanda, ditandai dengan didirikannya fasilitas perkebunan dan peristirahatan (villa) untuk para londo (orang Belanda .red) di daerah berketinggian 700 mdpl ini. Pada masa itu kopi Tambora menjadi primadona di benua eropa sebagai minuman favorit dengan rasa yang khas sekaligus pengusir hawa dingin.
Tahun 1970an pengelolaan kebun kopi seluas 500 Ha ini diberikan kepada PT. Bayu Aji Bima Sena (PT. BABS) Jakarta dengan mempekerjakan karyawan sebanyak 200 orang. Para pekerja mayoritas didatangkan dari Jawa, selain itu tidak sedikit pula pekerja yang berasal dari NTT, Lombok, dan warga asli Bima/Dompu. Pada masanya daerah kebun kopi menjadi daerah yang terbilang maju di Tambora, Sekolah Dasar yang didirikan perusahaan menjadi salah satu sekolah yang memiliki mutu yang diperhitungkan dalam kawasan lingkar Tambora. Konon akses telepon dan jaringan listrik juga pernah ada di daerah yang terisolir ini.
Seiring perjalanan waktu, khususnya menjelang pergantian millennium laju produksi perkebunan kopi tak bisa dipertahankan. Sejak tahun 2001 PT. BABS tidak aktif lagi mengelola kebun kopi tambora yang ditandai dengan tidak diperpanjangnya Hak Guna Usaha (HGU) serta ditelantarkannya perkebunan kopi beserta aset dan karyawan yang ada di dalam nya. Seiring dengan ditinggalkannya lahan konsesi perkebunan oleh PT. BABS, penyerobotan lahan kopi oleh para pekerja dan warga sekitar kian marak.
Kini bekas-bekas denyut jantung perkebunan yang terwakili oleh ratusan hektar tanaman kopi serta sarana dan prasarana penunjang seperti bangunan pabrik pengolahan biji kopi, gedung perkantoran, masjid, sekolah, dan 31 unit perumahan karyawan yang kian tak terurus. Walaupun pengelolaan sudah sepenuhnya dikembalikan ke Pemda Bima dalam hal ini Dinas Perkebunan Kabupaten Bima, yang berhasil menghentikan aksi penyerobotan lahan dan melakukan peremajaan sebagian kecil tanaman kopi namun hal itu tidak sepenuhnya mengembalikan daerah ini menjadi sentra kopi yang diperhitungkan dalam pasaran regional maupun internasional.
Ratusan pekerja kopi yang dulu didatangkan dari pulau Jawa dan NTT menyusut menjadi tak lebih dari 50 orang, mereka bertahan hidup dari mengolah lahan pertaniannya sendiri sembari menunggu waktu petik kopi tiba. Para pekerja terakhir ini pasrah dengan alur takdir hidup, seraya menjaga sekerat rasa optimis tentang akan adanya investor baru yang kembali datang ke Oi Bura dan mengembalikan kejayaan Kebun Kopi seperti pada masa puluhan tahun yang silam.[BQ]
Data: berbagai sumber
Rangkaian Seri EKSPEDISI TAMBORA:
- Menembus Pagi Menuju Peradaban Multietnis ~EKSPEDISI TAMBORA (1)
- Kebun Kopi Yang Pernah Berjaya ~ EKSPEDISI TAMBORA (2)
- Berjibaku Dengan Pacet Dan Jelatang ~ EKSPEDISI TAMBORA (3)
- Di Puncak Yang Mengubah Sejarah Dunia ~ EKSPEDISI TAMBORA (4)