Oleh: Eka Ilham, M.Si*
Kisah guru yang dianiaya dan dipermainkan kewibawaannya oleh murid-muridnya yang kita baca di berbagai media massa sangat miris. Dari berbagai macam rentetan tindak kekerasan terhadap guru dari tahun ke tahun bukannya berkurang, namun semakin bertambah. Guru menjadi korban tindak kekerasan dari siswa ataupun keluarga dari siswa.
Kali ini yang terjadi sungguh sangat memprihatinkan. Seorang siswa yang ditegur oleh gurunya karena merokok di lingkungan sekolah, dan seorang siswa yang menghina gurunya karena tidak di izinkan masuk di pagar sekolahnya menimbulkan reaksi kemarahan para guru, sehingga mengejar siswa didiknya sampai keluar sekolah. Dua insiden itu terjadi di salah satu sekolah SMP dan SMA di Kecamatan Bolo Kabupaten Bima NTB. Peristiwa itu menghiasi pemberitaan media massa on line dan menjadi catatan buruk di bulan Februari tahun 2019.
Siswa tersebut melaporkan kepada ibunya, oleh pihak keluarga siswa melakukan penganiayaan terhadap sang guru. Sang guru pun menjadi korban tindak kekerasan dari keluarga siswa didiknya. Pihak guru yang teraniaya melaporkan tindak kekerasan oleh keluarga siswa ke kepolisian. Upaya hukum yang dilakukan oleh guru tersebut paling tidak akan memberikan rasa keadilan dan efek jera bagi oknum pelaku tindak kekerasan.
Namun, selama ini tindak kekerasan terhadap guru dari tahun ke tahun selalu berujung pada upaya mediasi perdamaian kedua belah pihak. Upaya mediasi tersebut oleh pihak sekolah, guru, keluarga dari kedua belah pihak, bahkan penegak hukum itu sendiri menghasilkan sebuah mediasi perdamaian. Akhirnya guru selalu menjadi korban sekaligus pihak penerima ketidakadilan.
Akibat proses perlindungan guru yang tidak maksimal, tindak kekerasan terhadap guru terulang kembali. Kasus penganiayaan guru di dunia pendidikan bahkan berujung pada kematian dan membuat kita sangat prihatin, betapa payung hukum perlindungan guru sangat lemah. Perlindungan guru berdasarkan data empiris, perlindungan hukum terhadap guru masih lemah. Ketika guru terkena masalah hukum, khususnya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru, seolah harus berjuang sendiri.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 7 ayat (1) huruf h, mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Setneg RI, 2005). Selanjutnya, pada pasal 39 dalam Undang-Undang tersebut, secara rinci dinyatakan: Pertama, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas.
Kedua Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketiga, Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Keempat, Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
Kelima, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain. Ditambah lagi dengan payung hukum Permendikbud Nomor 10 tahun 2017 tentang perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan tidak memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi para guru.
Beberapa kasus di daerah memberikan kita sebuah fakta bahwa payung hukum perlindungan bagi guru lebih sakti dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sehingga guru selalu jadi korban. Banyaknya payung hukum bagi para guru, faktanya di lapangan tidak dapat dijadikan acuan untuk melindungi guru. Kasus penganiayaan yang dilakukan siswa ataupun pihak keluarga siswa terhadap guru bukan saja mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pengembangan etika dan tata krama belajar di sekolah ataupun lingkungan keluarga.
Kenyataan ini sekaligus juga menunjukkan belum mengenanya program pendidikan karakter bagi siswa. Pendidikan karakter pada sekolah dan keluarga seharusnya meminimalisir tindak kekerasan pada guru, karena pendidikan karakter berbicara tentang adab, etika, sopan santun dan moral yang seharusnya siswa bersikap dan menghormati guru sebagai orang tua disekolah. Namun faktanya kejadian-kejadian yang menimpa guru seperti tindak kekerasan, penghinaan terhadap guru menjadi catatan buram dari dunia pendidikan di Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang menjadi faktor para siswa didik kita menjadi lebih brutal baik terhadap gurunya dan teman-temannya. Faktor-Faktor penyebab siswa kita brutal: Pertama, kondisi kepribadian implusif dan emosi yang tidak seimbang mengakibatkan kultur kekerasan terjadi dilingkungan sosialnya merupakan faktor siswa itu berprilaku keras. Kedua, harga diri yang terlalu tinggi dan ditambah kondisi kejiwaan yang tidak matang sering menyebabkan siswa tiba-tiba terpicu untuk melakukan tindak kekerasan dengan menganiayai guru yang seharusnya dihormati. Siswa yang memiliki kepribadian keras dan biasa tumbuh dalam lingkungan sosial yang terbiasa dengan kekerasan lebih berpeluang untuk melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga, iklim pembelajaran sekolah yang lebih mengedepankan sisi kognitif (ilmu pengetahuan) daripada afektif (moral) dan psikomotorik (ketrampilan). Sekolah lebih mementingkan prestasi dalam angka-angka seperti sukses menempuh ujian nasional dengan nilai tertinggi, banyaknya siswa yang masuk perguruan tinggi negeri, polisi dan tentara merupakan representasi reputasi sekolah. Keempat, kehadiran guru-guru yang tidak mampu berkreasi dan mengembangkan metode pembelajaran guru yang menyenangkan bagi siswa pada akhirnya menyebabkan aktivitas belajar di kelas menjadi kering dan tidak menarik bagi siswa.
Tidak heran untuk menghilangkan rasa bosan dengan berulah macam-macam seperti merokok di dalam kelas ataupun lingkungan sekolah, membully teman-temannya, menghina gurunya yang keluar dari batas-batas etika. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Jikalau kita tidak peduli dengan persoalan-persoalan dunia pendidikan maka dengan sendirinya peradaban suatu bangsa itu musnah dengan sendirinya. Ajarkan anak-anak didikmu dengan adab terlebih dahulu dari pada ilmu pengetahuan.
*Ketua Umum Serikat Guru Indonesia (SGI) Kabupaten Bima