Oleh: Adi Hidayat Argubi, S.Sos, SST.Par, M.Si*
Belajar Pendidikan dari Findlandia
Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Kolumnis Media Pikiran Rakyat tanggal 25 Oktober 2021 yang membahas tentang bagaimana sebuah sistem pendidikan dikelola dan dilaksanakan dan kemudian berhasilm yaitu keberhasilan Finlandia yang telah berhasil mereformasi sistem pendidikannya dari yang dulunya tak dikenal dan tidak efisien kini menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam hal pendidikannya. Kita sadar bahwa pendidikan adalah elemen penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Salah satu faktor yang menjadi fokus perbaikan pendidikan diFinlandia adalah program pendidikan bagi “guru”. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kenapa guru menjadi “aktor” penting. Menariknya Guru adalah profesi paling bergengsi dan paling kompetitif di Finlandia. Guru menjadi profesi nomor satu bagi kalangan orang-orang muda di sana. Dalam artikel yang saya baca menceritakan tentang orang-orang Finlandia yang memandang guru sebagai profesi prestisius dan mulia, sejajar dengan dokter, pengacara dan ekonom. Hal tersebut lebih karena sebab-sebab moral dari pada kepentingan dan imbalan materi atau karir.
Bagaimana dengan Indonesia? Profesi guru di Indonesia juga merupakan mulia. Filosofi yang menggambarkan kemulian ini diapresiasi dalam kalimat“Guru ditiru lan digugu”. Filosofi dalam bahasa Jawa yang berarti guru ditiru dan dicontoh adalah sebuah gambaran betapa profesi guru mempunyai tempat sakral yang menjadi cermin tingkah laku yang selalu menjadi panutan masyarakat terutama peserta didik didik di sekolah. Pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari” merupakan sindiran dan rambu-rambu bagi seorang guru dalam berperilaku di masyarakat, di mana semua tingkah laku dan sikapnya menjadi teladan dan contoh baik masyarakat.
Kembali ke konteks keberhasilan Finlandia dalam pendidikan. Mengapa Finlandia sukses? Ada tiga alasan yang bisa dijadikan, pertama dan yang paling penting adalah tempat guru bekerja memungkinkan mereka memenuhi misi moral mereka, kedua, pendidikan guru yang kompetitif dan menantang (karena syarat untuk menjadi guru SD (Sekolah Dasar) saja harus bergelar master/S2), ketiga, tingkat penghasilan bukan motivasi utama untuk guru Pendidik. Di Finlandia tugas guru tidak hanya mengajar dan berhenti pada tataran S1 saja, akan tetapi menjadi guru pembelajar, dan guru riset. Sederhananya guru-guru Finlandia adalah guru pembelajar, guru riset dan guru pemimpin. Bahkan pemimpin adalah guru. Karena kebanyakan sekolah di Finlandia, kepala sekolah adalah seorang guru berpengalaman yang sudah teruji kompetensi kepemimpinan dan kepribadiannya. Pendidikan seperti di Finlandia ini menuntut guru-guru untuk profesional dan kreatif dalam mengajar peserta didik yang kemampuannya beragam yang akhirnya melahirkan pengetahuan, keterampilan dan karakter baik.
Problem Pendidikan Kita
Bagaimana pendidikan kita? Apakah sudah melahirkan peserta didik yang memiliki pengetahuan, keterampilan serta karakter baik?. Yang nampak adalah semakin rusaknya moralitas dan serta karakter baik pada diri peserta didik didik pada khususnya.Kasus video dan foto porno pelajar, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar, putus sekolah karena berbadan dua serta berbagai kenakalan remaja lainnya menjadi berita dan isu hangat di media dan masyarakat kita khususnya di Bima.
Harus disadari bahwa bukan hanya institusi sekolah dan guru di dalamnya yang bertanggungjawab dalam konteks ini tetapi semua elemen, seperti orang tua, masyarakat serta stakeholders pendidikan lain atau memang ada yang salah dalam pendidikan kita yang harus dibenahi. Tetapi hal ini bukan berarti sekolah dan guru lari dari tanggung jawab karena masyarakat begitu percaya bahwa sekolah dan guru adalah sandaran mereka dalam memperbaiki berbagai persoalan yang terjadi pada anak-anak mereka.
Kita bisa melihat kembali ke masa jaman dulu di mana masyarakat atau orang tua peserta didik dalam konteks ini sangat percaya dalam menitipkan anaknya di sekolah, apapun yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah termasuk memberikan pembinaan dengan cara keras melalui pemukulan tidak pernah mendapat protes dari orang tua peserta didik karena masyarakat percaya apa yang dilakukan oleh guru adalah upaya memberikan pendidikan, pengajaran dan pembinaan agar anaknya kelak menjadi lebih baik.
“Guru ditiru lan digugu” benar-benar menjadi sebuah bentuk filosofi kepercayaan masyarakat terhadap sebuah profesi guru. Tetapi hal ini bukan berarti saya melegalkan carakekerasan dalam upaya pemberian pendidikan dan pembinaan kepada peserta didik. Kita perlu belajar kembali, belajar dari Finlandia yang telah berhasil dalam pendidikannya atau perlu kita kembali pada pada filosofi“Guru ditiru lan digugu”.
Pertanyaan menarik yang ingin saya sampaikan menyikapi persoalan ini adalah apakah saat ini semboyan “guru ditiru lan digugu” masih berlaku di masyarakat?, Bukankah ada yang salah dalam cara guru saat ini dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik didik?, sudahkah guru pada umumnya dan guru yang sudah menyandang predikat professional atau tersertifikasi sudah memenuhi kewajibannya sebagai guru yang baik sesuai dengan amanat undang-undang?, seberapa besar kepedulian guru dalam membantu peserta didik dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh peserta didik?, sudah benarkan kita dalam mengajar dan mendidik peserta didik?, sudahkan kita mengupgrade diri kita sehingga menjadi layak mengajari peserta didik kita saat ini dengan masa dan jaman mereka serta sudahkah guru menjadi tauladan yang baik bagi peserta didik didiknya?.
Masalah fundamental dalam pendidikan saat ini adalah bagaimana membangun kembali tatanan pendidikan kita yang mengarahkan pada upaya-upaya untuk menanamkan nilai-nilai atau atribut karakter baik dalam diri peserta didik termasuk di dalamnya dimensi moralitas dan etika. Karena saya berpikir untuk pengetahuan dan keterampilan bukankah Google sudah menyediakan berbagai fasilitas penunjang kompetensi peserta didik?. Pendidikan yang berbasis pada pembinaan karakter seharusnya menjadi konsen kita bersama saat ini.
Menghadapi era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat serta semakin terbukanya komunikasi antar bangsa dan menuntut sumber daya manusia yang memiliki karakter kuat. Pembinaan karakter yang sayadimaksudkan disini adalah untuk membangun dan mengembangkan pola berpikir kritis, positif, analitis, dan dinamis dalam menumbuhkembangkan sikap kerjasama, bersikap hormat, toleransi dalam kebihinekaan, disiplin, tanggung jawab, mandiri dan nilai-nilai moral lainnya sehingga bangsa dan negara ini akan tumbuh berkembang menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya dalam dunia pendidikan layaknya Finlandia.
Salah satu poin penting dari tugas pendidikan termasuk guru di dalamnya adalah membangun karakter (character building) anak didik. Hal ini adalah tugas dan fungsi guru. Karakter merupakan standar- standar batin yang terimplementasikan dalam berbagai kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara berbeda. Pada intinya bentuk karakter apapun yang dirumuskan tetap harus berlandaskan pada nilai-nilai universal. Oleh karena itu, pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih saying kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus.
Hal itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah, masyarakat dan negara untuk mengisi pola pikir dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas dan disiplin diri. Hal itu memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika, dan akademis yang merupakan concern dan sekaligus kekhawatiran yang terus meningkat di dalam masyarakat.
Guru memerankan peran penting dalam konteks ini. Karakter baik yang diajar dan tanamkan oleh guru akan membekas dalam pada diri peserta didik yang melahirkan pola hubungan yang dalam dan erat antar guru dan peserta didik jika berhasil guru tersebut menanamkannya pada diri peserta didik.
Saya masih ingat sekali ketika sekolah dulu, hubungan antara seorang guru dengan peserta didik seperti layaknya hubungan antara orang tua dengan anaknya. Peserta didik pada jaman dulu terkadang sampai membantu mengolah sawah gurunya, membantu gurunya yang sedang membangun rumah, membawakan gurunya hasil pertanian yang diolah orang tuanya, membantu membawakan sayur mayur dan lauk pauk yang dibeli guru di sekolah ke rumah sang guru dan masih banyak hal positif yang dilakukan oleh peserta didik terhadap sosok gurunya.
Jaman dulu rasa hormat kepada guru begitu sangat tinggi, seorang peserta didik tidak berani membantah apa yang dikatakan gurunya, mengangkat wajah di depan gurunya apalagi sampai berani melawan gurunya adalah sebuah bentuk “keharaman” pada jaman itu. Apapun yang dikatakan oleh guru adalah merupakan fatwa yang harus dijalankan karena karena semboyan “guru ditiru lan digugu” masih sangat kuat melekat pada waktu itu. Kondisi ini bukanlah romantisme masa lalu saya tetapi kenyataan.
Solusi dan Pekerjaan Rumah Guru
Kenapa moralitas peserta didik saat ini seperti berada pada titik nadir? Mari kita evaluasi kembali di mana letak kesalahannya? Pendidikan kita sudah melupakan upaya-upaya untuk menanamkan karakter, moralitas dan etika kepada diri peserta didik sehingga nilai-nilai atribut tersebut tidak ada lagi dalam diri peserta didik didik sekarang ini. Peserta didik sudah berani melawan gurunya, tidak lagi taat dan patuh pada perintah guru.
Kondisi ini diperparah lagi dengan mentalitas guru yang tidak peduli, hanya sekedar gugur kewajiban, kurang ikhlas memberikan pendidikan, pengajaran dan pembinaan kepada peserta didik, pasrah dengan keadaan tanpa mau merubah dan mengembangkan diri, kurang memiliki kreatifitas dan inovatif menjadi pekerjaan rumah bagi guru saat ini. Jangan sampai kita guru menggali lubang untuk kuburan kita sendiri, tidak lagi menjadi cermin baik bagi peserta didik didiknya. Ini potret yang harus kita terima sebagai bahan untuk intropeksi diri untuk menuju “Finlandia” baru.
Matti Koskenniemi menggunakan istilah “cinta pedagogis” yang juga menjadi landasan teori tindakan bagi Veera Salonen (mahapeserta didik pendidikan guru Universitas Helsinki) dalam mengungkapkan alasannya menjadi guru. “Mengajar, barangkali lebih daripada pekerjaan lain adalah profesi yang berhasil kau jalani hanya ketika engkau berhasil memberikan hati dan kepribadianmu, ungkapnya. Mari kita guru memberikan hati dan kepribadian kita bagi peserta didik yang menjadi kewajiban kita mendidik, membimbing dan membina mereka sehingga kelak guru akan dikenang oleh peserta didiknya dengan profesi mulianya seperti layaknya profesi mulia guru di Finlandia.
Bagaimana dengan guru di Indonesia, apakah profesi guru dapat menjadi profesi yang paling membanggakan dan prestisius di kalangan generasi muda penerus bangsa?. Kita berharap banyak dengan adanya program guru penggerak, sekolah penggerak dan konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Semoga semua upaya menjadikan mutu pendidikan kita tidak kalah dengan Filandia. Ayo semangat dan berubah karena “Guru ditiru lan digugu”. Selamat Hari Guru Nasional!.
*Guru UPW SMK Negeri 1 Kota Bima, Guru Inspirasi Literasi Nasional GSMB 2021 dan Kepala Badan Penjaminan Mutu STISIP Mbojo Bima