Kota Bima, Kahaba.- Kebijakan Walikota Bima, H. M. Qurais H. Abidin, memutasi sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus disorot. Tidak saja para korban mutasi, tetapi sejumlah elemen termasuk akademisi memandang jika implementasi hak prerogratif itu, tak ubahnya sikap otoriter Kepala Daerah.
Walikota dinilai semena-mena. Hak prerogratif hanya dijadikan sebagai alasan untuk ‘menendang’ PNS yang diduga tidak loyal, karena mengabaikan jalur mengenyampingkan mekanisme dan aturan normatif. Akademisi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, DR. Amran, mengatakan, penolakan Surat Keputusan (SK) Mutasi oleh sejumlah PNS korban mutasi adalah hal yang wajar, karena dilakukan tanpa dasar dan pertimbangan yang jelas. Jika saja pemerintah menempuh mekanisme dan aturan normatif, maka mutasi tak akan menuai kontroversi seperti diprotes dan dikecam.
Menurutnya, pemerintah melakukan mutasi karena ada dasar, namun dasar itu tidak berorientasi pada kinerja. Yang mengemuka lebih pada persoalan politik. “PNS yang dimutasi dan diturunkan jabatan juga memprotes, karena ada dasar,” kata Amran, di Kelurahan Sadia, Sabtu (26/10/13) lalu. Amran berpandangan, perpolitikan di Kota Bima belum sehat, karena Kepala Daerah kerap mengambil kebijakan atau memberikan hukuman kepada PNS yang berseberangan pandangan politik. Sesungguhnya, itu bukan pembelajaran politik yang mesti diadopsi.
“Yang penting dalam mutasi dan rotasi, Pemerintah Daerah harus melihat pada orientasi kinerja PNS yang bersangkutan. Bukan pada orientasi politik atau yang lain,” terangnya.
Jika kinerja para PNS sebagai abdi masyarakat baik, katanya, maka perlu dilakukan promosi untuk posisi yang lebih baik. Begitu pun sebaliknya, jika kinerjanya tidak baik maka mutasi dan rotasi wajar dan harus dilakukan. “Substansi dalam mutasi itu adalah menata dan menempatkan PNS sesuai kemampuan bidang ilmu yang dimiliki. Atau bisa diartikan untuk penyegaran,” tutur Amran.
Mutasi yang dilakukan beberapa pekan lalu, menurut Amran, tentu tidak wajar. Karena PNS yang bergelar magister pertambangan harus ditempatkan di kelurahan. Kemudian bidan di tempatkan bekerja di Dinas Perhubungan, tentu juga tidaklah wajar karena tidak sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki. “Apa yang dikerjakan di kantor kelurahan itu, dan apa yang bisa dilakukan seorang bidan di Dinas Perhubungan. Akhirnya potensi PNS tersebut tidak berkembang,” sorotnya.
Dikatakannya, setiap kebijakan Kepala Daerah patut didukung, hanya saja harus mempertimbangkan kepentingan umum. Karena jika tidak melalui pertimbangan yang positif dan konkrit, maka Bangsa Indonesia akan dirugikan hanya karena egosentrik seorang Kepala Daerah. “Kami mendukung masalah ini di PTUN-kan jika SK mutasi dinilai cacat hukum. Agar nantinya kepala daerah juga tidak seenaknya mengambil kebijakan,” ujar Amran.
Jika mutasi tanpa pertimbangan kinerja dan tidak proporsional terus dilakukan, dikuatirkan aparat pemerintah tidak berlomba-lomba meningkatkan kinerja nantinya. Mereka hanya berlomba membuat Walikota senang. Kebijakan mutasi diakui memang hak prerogatif Walikota Bima.
“Tapi ingat, prerogatif itu identik dengan otoriter,” tandas Amran. Amran menambahkan, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Bapperjakat) Kota Bima, harus diberi ruang untuk mempertimbangkan setiap kebijakan Kepala Daerah. Karena Walikota tidak mampu melihat semua kemampuan PNS dalam bekerja. “Kami harap Walikota mengevaluasi hal ini, agar asas proporsional tidak hanya menjadi lagu sumbang,” imbuhnya.
Pandangan dan pernyataan akademisi STKIP Bima itu, tak menyentuh Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bima, Drs. Muhtar Landa, MH. Saat dimintai tanggapan sebagai salah satu Tim Bapperjakat, Mukhtar tak ingin menanggapinya.
*BIN