Opini

Saat Matahari Menjadi Teman: Bima Menyongsong Energi Terbarukan

288
×

Saat Matahari Menjadi Teman: Bima Menyongsong Energi Terbarukan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Faqih Ashri, ST., M.URP*

Faqih Ashri. Foto: Ist

Setiap kali pagi menyapa, langit Kota Bima jarang memberi kejutan. Hampir selalu cerah, nyaris tanpa gangguan. Sinar matahari menerjang deras, menerpa atap rumah, kantor, toko, kebun, dan jalanan kota. Bagi sebagian orang, terik seperti ini sering dianggap beban—panas menyengat, membuat gerah. Namun di balik rasa itu, sebenarnya Bima tengah disuguhi “emas tak terlihat”: energi surya yang gratis, bersih, dan tersedia setiap hari. Potensi yang masih belum tersentuh secara maksimal, entah karena daerah kita belum sanggup atau memang fokus kita belum ke sana.

Dari Cahaya ke Listrik: Proses Sederhana yang Ajaib

Saya tercengang ketika akhir pekan kemarin menemani anak-anak mandi di salah satu kolam renang sederhana di Kelurahan Kendo.Kolam itu dibangun pada kawasan perbukitan yang belum tersentuhlistrik, agak jauh dari permukiman warga. Selain penataan lahannya yang rapi, mata saya tertuju pada atap kanopi berbahan panel solar sel ukuran sekitar 4x4 meter. Menurut pemiliknya, lempengan panel tersebut bisa menghasilkan tenaga listrik setara 5000 watt. Output listrik itu bisa beliau gunakan untuk menghidupkan pompa air, bola lampu, penanak nasi, kipas angin, dan lain sebagainya. Menurut saya beliau revolusioner. Walaupun dengan biaya investasi awal yang terbilang mahal, tapi jika dikonversi dengan biaya token listrik yang tidak perlu beliau bayarkan selama bertahun-tahun, maka itu bisa saja setara, bahkan cenderung menguntungkan.

Bayangkan atap kanopi sederhana itu dipasangi panel surya. Setiap sinar yang jatuh ke permukaan panel diubah menjadi aliran listrik kecil. Proses ini disebut efek fotovoltaik. Listrik itu awalnya berbentuk arus searah (DC), lalu inverter mengubahnya menjadi arus bolak-balik (AC)—jenis listrik yang kita gunakan untuk kipas, TV, kulkas, dan alat elektronik lainnya.

Secara teknologi, panel-panel hari ini sudah luar biasa. Modul surya komersial mampu mengubah hingga 24,5% cahaya menjadi listrik (Fraunhofer, 2025). Bahkan riset terbaru dengan teknologi tandem perovskit-silicon telah mencapai 33,9% efisiensi (IEA-PVPS, 2024). Artinya, semakin sedikit sinar yang akan terbuang sia-sia. Seorang peneliti energi, Nathan Lewis (Science, 2016), menyebut energi surya sebagai “sumber energi paling demokratis”, karena dapat dipasang di atap rumah sederhana, bukan hanya di fasilitas mewah.

Panas, Debu, dan Tantangan Kota Kecil

Namun, Bima bukan sekadar soal sinar matahari yang melimpah. Sebenarnya suhu yang terlampau tinggi bisa menurunkan performa panel sekitar 0,4–0,5% tiap kenaikan 1°C. Debu juga bisa jadi musuh: akumulasi kotoran dapat mengurangi output hingga 60% di daerah kering. Bima, dengan musim panas panjang dan udara berdebu, perlu adaptasi, misalnya dengan mengadakan program pembersihan panel rutin oleh komunitas warga jika kelak sudah terealisasi. Memang untuk menuju sebuah terobosan baru, maka butuh penyesuaianlifestyle baru. Sama halnya dengan perlakuan masyarakat saat ini terhadap sampah, sanitasi, dan drainase. Letak keberlanjutan infrastruktur fisik sebenarnya terletak pada keseriusan masyarakat(tanpa terkecuali) dalam melakukan pemeliharaan. Tanpa andil dari kita semua, tantangan yang ada dalam setiap kota kecil akan selalu menjelma dilema yang sama,

Menghitung Kebutuhan: Biar Tidak Mubajir Energi

Salah satu keunggulan dalam pengoperasian Solar Sel adalah penggunaan berbasis kebutuhan. Anggap saja salah satu rumah di Kota Bima menggunakan energi sebesar 1.200 Watt per hari untuk lampu, kipas, dan TV. Dengan sinar harian rata-rata 4,5–5,5 kWh/m² (ESMAP Bank Dunia, 2020), maka atap rumah itu cukup dengan 3–4 panel 450 Wp, ditambah baterai kecil untuk malam. Tidak berlebihan, tidak kekurangan. Ibarat memilih ukuran baju: pas sesuai kebutuhan, nyaman, dan efisien.

Membayangkan Bima: Kota Surya di Timur Nusantara

Sekarang bayangkan: Setiap pompa bor air tanah dalam menggunakan sumber listrik dari Panel Surya. Atap sekolah negeri menggunakan panel yang bisa menghidupi kipas angin kelas. Masjid di kampung tidak lagi menunggu PLN untuk menyuarakan TOA, karena pengeras suara dan lampunya menyala dari tenaga surya. Jalan protokol hingga lorong kampung terang berkat lampu jalan mandiri tenaga matahari.

Kota Bima bisa menjadi laboratorium hidup energi terbarukan. Tak perlu menunggu investor besar; cukup langkah kecil, nyata, dan kolektif. Sebuah kampung bisa membangun PLTS komunal, berbagi panel dan baterai dengan sistem gotong royong. Toh, pada kolam pemandian kecil di Kendo saja sudah mampu mempraktekkan itu. Pasti untuk skala yang lebih luas juga bisa diduplikasi lagi.

UN-Habitat (2020) menulis bahwa kota kecil dengan iklim tropis justru punya peluang “melompat langsung” ke energi terbarukan, tanpa harus terjebak dulu dalam ketergantungan panjang pada energi fosil seperti batu bara atau minyak bumi.

Menjemput Masa Depan dengan Gotong Royong

Perubahan besar tidak harus datang dari proyek raksasa. Hal itu bisa dimulai dari cerita kecil: Seorang guru di Bima memasang panel di atap rumah, lalu bercerita ke murid bahwa listrik kipas di kelas bisa saja menggunakan energi yang berasal dari matahari. Sekelompok nelayan di Kolo menggunakan panel untuk mendinginkan ikan hasil tangkapan mereka. Sebuah kelurahan sepakat mengadakan iuran rutin untuk membeli panel dan baterai penyimpanan bersama. Langkah-langkah kecil dan berbasis komunitas seperti itulah yang sebenarnya menjadi angin segar bagi penerapan teknologi. Porsi pemerintah hanya sebagai katalisator, sementara motor penggeraknya tetap berada di pundak swasta dan masyarakat. Itulah yang kemudian dinamakan sebagai ekosistem energi terbarukan berbasis komunitas. Setiappikiran tercerahkan, setiap diri tergerakkan, setiap langkah terayun seirama jalan.

Peneliti energi terkemuka Mark Jacobson (Energy & Environmental Science, 2019) menegaskan: Transisi ke energi terbarukan bukan soal teknologi, melainkan soal kemauan sosial dan politik untuk memulainya. Dan di Bima, kemauan serta inisiatif itu bisa lahir dari warganya sendiri.

Penutup: Cahaya yang Selalu Setia

Matahari di Bima adalah sumber daya yang tak pernah kekurangan. Selama ini kita hanya mengeluh panasnya, padahal dia bisa jadi cahaya masa depan kota. Jika ditangkap dengan benar, terik yang melelehkan bisa berubah menjadi energi yang mencerahkan. Bima bisa menjadi contoh sederhana untuk kota kecil yang berani menjemput masa depan dari langitnya sendiri.

*Penulis Pegawai Negeri Sipil di Dinas PUPR Kota Bima