Opini

Kemandirian Advokat Adalah Harga Mati

536
×

Kemandirian Advokat Adalah Harga Mati

Sebarkan artikel ini
Oleh : Syarifuddin, S.H*

Opini, Kahaba.- Bagaikan ‘petir disiang hari’, itulah yang pantas untuk mengibaratkan RUU Avokat yang saat ini sedang digodok oleh DPR-RI, RUU tersebut juga ibarat Lonceng Kematian bagi Kemandirian Profesi Advokat yang selama ini kita kenal dan digadang-gadang sebagai suatu Profesi yang Mulia (Officium Nobile). “ADVOKAT itu tidak pernah makan dari uang Pemerintah/DPR alias tidak pernah mendapatkan Gaji dari APBN, lalu bagaimana mungkin nasib kami sebagai Advokat secara tiba-tiba mau diatur oleh Pemerintah/DPR?.”

Syarifuddin, SH
Syarifuddin, SH: “Tolak RUU advokat yang hanya akan melahirkan advokat pecundang”

Pertanyaan diatas sedikit menggambarkan bahwa sama sekali tidak ada korelasi yang dapat kita temui sejak Pendidikan Khusus profesi Advokat (PKPA) lalu mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA), melaksanakan Magang selama 2 (Dua) tahun sampai akhirnya diverifikasi untuk bisa diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi, apakah ada campur tangan Pemerintah dan/atau DPR dalam Proses itu? TIDAK ADA!

Selanjutnya kami memiliki Lisensi Profesi Advokat, kini nasib kami hendak diatur oleh pemerintah dan/atau DPR sedangkan gaji saja tidak pernah ada, kalau kami sakit-pun tidak pernah ada bantuan Pemerintah dan/atau DPR yang mau membantu kita, lalu bagaimana korelasinya kalau tiba-tiba Advokat mau diatur oleh Pemerintah dan/atau DPR melalui Dewan Advokat Nasional?

DPR RI yang tengah menggodok RUU Advokat sebagai langkah untuk menggantikan UU Advokat No. 18/2003 menimbulkan Pro dan Kontra, RUU ini di TOLAK keras kalangan Advokat (PERADI, APSI, IKADIN, AAI, HKHPM, SPI, HAPI dll) Akademisi dan LSM. RUU Advokat justru hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dan Perpecahan diantara kalangan Advokat. Suatu hal yang cukup aneh dimana RUU Advokat tiba-tiba muncul dalam Program Legislasi Nasional (Pro-legnas) pada tahun 2012, padahal RUU yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) ini telah ditolak oleh mayoritas Anggota dewan karena tidak pernah dibahas di Komisi III serta tidak ada usulan revisi kepada Baleg DPR RI.

RUU Advokat ini dapat kami analogikan sebagai ‘RUU Siluman’ yang secara begitu saja dan simsallabim muncul, entah demi memenuhi kepentingan siapa dibalik semua ini dan/atau atas pesanan siapa dan bukan itu saja RUU Advokat a quo juga tidak dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diisyaratkan oleh UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Padahal seperti yang kita ketahui bersama masih banyak RUU-RUU yang berkaitan erat dengan penegakan hukum yang harus diprioritaskan seperti RUU KUHAP, RUU KUHP dan RUU lain.

Apabila kita membaca dan selanjutnya dikomparasikan antara RUU Advokat dan UU Advokat No. 18 Tahun 2003 ttg Advokat maka akan didapati fakta bahwa keberadaan UU No. 18/2003 jauh lebih menjamin kepastian hukum terkait dengan pengaturan Hak dan Kewajiban, Kewenangan, Pengawasan, Honorarium, Bantuan Hukum cuma-Cuma, struktur keorganisasian, kepemimpinan dan juga pengawasan terhadap berjalannya profesi advokat tersebut baik hubungan dengan klien, sesama rekan sejawat, ataupun hubungan dengan penegak hukum lainnya.

Hal tersebut sangat berbanding terbalik jika kita membaca dan menelaah RUU Advokat yang saat ini sedang di bahas oleh DPR-RI, dimana dalam RUU tersebut telah dihilangkan hal yang sangat penting seperti kedudukan organisasi induk semacam “Indonesian Bar Association” yang mewakili kekuasaan tunggal Organisasi Advokat. Keadaan seperti ini telah membawa kita kembali seperti pada era Orde Baru (setback) dimana lahir berbagai Organisasi advokat dengan standart dan kualitas yang berbeda, administrasi sendiri-sendiri, sehingga kode etik sulit untuk ditegakkan. Akan muncul kekhawatiran dimana seorang Advokat nakal dan melanggar kode etik pada suatu Organisasi kemudian dipecat maka dia akan dengan mudahnya pindah dan masuk pada organisasi lainnya guna membersihkan nama dan status kedudukannya sebagai Advokat, akhirnya Para Pencari Keadilanlah yang menjadi Korban akibat dari “Advokat Kutu Loncat” tersebut.

Selain itu RUU ini juga menghilangkan pengaturan tentang Bantuan Hukum Cuma-Cuma atau pro-bono yang selama ini selalu selalu menjadi kewajiban tersendiri bagi Advokat sebagai wujud nilai-nilai universalitas dimana Advokat dikatakan sebagai Profesi Mulia (Officium Nobile). Dengan dihilangkannya Bantuan Hukum Cuma-Cuma membuat Advokat tidak akan memiliki tingkat kepekaan sosial yang sangat tinggi dalam mencapai tujuan hukum itu sendiri.

Etika dan standart profesi men-syaratkan Advokat mempunyai kompetensi khusus, kode etik profesi dan standart profesi, berhimpun dalam suatu organisasi profesi, serta memiliki lembaga yang menegakkan etik dan standart profesi apabila diduga ada pelanggaran terhadap kode etik profesinya.

Selanjutnya muncul rumusan pasal yang menyatakan bahwa Advokat adalah Mitra penegak hukum juga merupakan bencana bagi profesi Advokat. Dimana akibat pasal ini maka lepaslah status Advokat sebagai salah satu aparatur penegak hukum sebagaimana diatur dalam dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang ADVOKAT yang mejadi pedoman hingga saat ini. Sehingga jika RUU ini sampai disahkan maka posisi Advokat tidak lebih baik dari HANSIP atau SATPAM yang juga Mitra Penegak Hukum. Hal itu pulalah yang membuat Pengacara nyentrik, Hotman Paris Hutapea ikut serta melakukan aksi demonstrasi menolak RUU Advokat di Bundaran HI, Jakarta. Sambil mengenakan toga dan dasi putih, sesekali dia melakukan orasi. “Enggak masuk akal. Tolak RUU Advokat!,” kata Hotman, Kamis (11/9/2014).

TOLAK RUU ADVOKAT yang menjadi alat Kepentingan Penguasa!!!
TOLAK RUU ADVOKAT yang memberangus HAK ADVOKAT Muda!!!
TOLAK RUU ADVOKAT yang mencabik-cabik Kemandirian dan Melemahkan kedudukan Profesi Advokat!!!

*Penulis merupakan Managing Partners Law Office SYARIF BIMA & REKAN, Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) BIMA, Advocate, member Of Indonesian Advocates Association, dan Eks. Ketua BEM STIH Muhammdiyah Bima.